Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SATU per satu demonstran penentang pemerintah Republik Islam Iran berjatuhan. Kamis pagi, 8 Desember lalu, Mohsen Shekari dihukum gantung setelah Pengadilan Revolusi Iran menetapkan dia bersalah karena melakukan perbuatan yang bermusuhan dengan Tuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Shekari memblokade Jalan Sattar Khan di Teheran ketika berunjuk rasa pada 25 September lalu. Pengadilan menyatakan dia menggunakan parang untuk menyerang personel Basij, pasukan paramiliter sukarela yang sering dikerahkan untuk memadamkan protes. Tindakannya dinilai menyebabkan teror dan mengganggu ketertiban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amnesty International mengecam hukuman tersebut. Organisasi ini telah mengidentifikasi 18 orang lain yang terancam dihukum mati karena terlibat dalam demonstrasi dan menilai pemerintah menggunakan hukuman mati sebagai senjata represi politik. “Tujuan yang jelas adalah untuk menanamkan rasa takut di masyarakat dalam upaya putus asa buat mempertahankan kekuasaan dan mengakhiri pemberontakan rakyat,” kata Diana Eltahawy, Wakil Direktur Amnesty International untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, dalam pernyataan lembaga itu.
Shekari menjadi korban eksekusi pertama dari protes masif dan luas sejak September lalu. Demonstrasi itu dipicu kematian Mahsa Amini. Perempuan Kurdi itu meninggal saat ditahan polisi moral karena menggunakan hijab “secara tidak benar” pada 16 September lalu. Demonstran menuding Amini meninggal karena disiksa. Para perempuan Iran dan sejumlah negara lain turun ke jalan dan melepas hijab sebagai simbol protes.
Pemerintah membentuk tim penyelidik independen atas kasus ini. Kesimpulan awal menyatakan bahwa Amini meninggal karena serangan jantung dan tak ada tanda-tanda kekerasan. Pemerintah juga menyatakan akan mengurangi jumlah polisi moral.
Namun unjuk rasa berlanjut dan meluas menjadi bentuk perlawanan terhadap pemerintah, yang dinilai mengekang kebebasan dan tak dapat memberikan kesejahteraan. Perekonomian Negeri Para Mullah sudah lama berada dalam tekanan karena sanksi negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, karena mengembangkan senjata nuklir.
Nilai mata uang rial Iran terus melemah. Kini nilainya 41.797 per dolar Amerika Serikat atau seperempat dari nilai rupiah. Tingkat pengangguran juga tinggi, mencapai 11,46 persen pada 2021, dua kali lipat dari tingkat pengangguran di Indonesia.
Mahmood Amiry-Moghaddam, neurologis dan aktivis hak asasi manusia Iran yang bermukim di Norwegia, menyebut demonstrasi ini sebagai protes terbesar dan paling luas di Iran sejak 1979. “Protes terjadi di seluruh negeri, seluruh provinsi. Seluruh kelompok etnis, seluruh lapisan masyarakat—kelas menengah, kelas pekerja, semuanya—terlibat,” ucapnya kepada Tempo dalam wawancara virtual pada Kamis, 8 Desember lalu.
Amiry-Moghaddam adalah pendiri dan juru bicara Iran Human Rights, organisasi nirlaba hak asasi manusia Iran berbasis di Norwegia. Organisasi ini mencatat sedikitnya 458 orang, termasuk 63 anak-anak dan 29 perempuan, telah terbunuh selama unjuk rasa hingga Rabu, 7 Desember lalu. Akhir November lalu, misalnya, aparat keamanan menembak mati Mehran Samak, pemuda yang membunyikan klakson mobilnya sebagai bagian perayaan kekalahan tim nasional sepak bola Iran dari tim Amerika Serikat dalam Piala Dunia Qatar.
Amnesty International mengidentifikasi 34 anak yang tewas ditembak pada jantung, kepala, dan organ vital lain. Empat anak ditembak dalam jarak dekat oleh pasukan keamanan. Anak-anak itu berusia 2-17 tahun.
Menurut Amiry-Moghaddam, pemerintah mengancam para demonstran dan keluarga korban. “Kami punya bukti bahwa, misalnya, pemerintah memaksa mereka menandatangani sertifikat kematian para korban, seperti menyebut itu karena bunuh diri, keracunan makanan, atau semacamnya,” ujarnya. “Jadi ancaman terhadap keluarga para demonstran yang ditahan dan terbunuh ini sistemik.”
Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa telah membentuk misi pencari fakta kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Iran. Pemerintah Iran dengan tegas menolak bekerja sama dengan tim pencari fakta ini.
Ketika demonstrasi pecah, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei, yang diharapkan para pendukungnya memberikan tanggapan publik, tidak muncul karena kesehatan yang buruk setelah operasi usus. Dalam beberapa tahun terakhir, ulama 83 tahun itu telah terserang berbagai penyakit serius, termasuk kanker prostat. Mengingat usianya yang sudah sepuh, cepat atau lambat Iran tampaknya akan membutuhkan pemimpin baru.
Selain dari massa demonstran, tekanan terhadap Khamenei datang dari keluarga dekatnya. Badri Hosseini Khamenei, adik perempuannya yang bermukim di Iran, menulis surat terbuka yang menentang sang kakak. “Saya pikir adalah bijak untuk mengumumkan bahwa saya menentang tindakan kakak saya dan saya menyatakan simpati kepada semua ibu yang berduka atas kejahatan rezim Republik Islam,” tulisnya dalam sepucuk surat yang dipublikasikan di Twitter oleh Mahmoud Moradkhani, putranya yang tinggal di Prancis.
Toko-toko ditutup setelah kerusuha dan seruan pengunjuk rasa untuk menutup pasar, di Tehran Bazaar, di Teheran, Iran 16 November 2022. WANA (Kantor Berita Asia Barat) via REUTERS
Khamenei menuding pihak luar sebagai penyebab kerusuhan belakangan ini. Menurut dia, reaksi hebat atas meninggalnya Mahsa Amini tidaklah normal. “Kerusuhan ini direncanakan. Jika insiden terhadap gadis muda (Amini) itu tidak terjadi, mereka akan menemukan alasan lain untuk menciptakan ketidakamanan dan kerusuhan di negara ini pada awal bulan Mehr (September) tahun ini. Siapa yang merancang ini? Saya secara terbuka menyatakan bahwa skema ini dirancang oleh Amerika Serikat, rezim Zionis yang palsu dan memaksa, dan tentara bayaran mereka,” tuturnya dalam pidato di acara wisuda taruna dari akademi-akademi Angkatan Bersenjata Iran pada 3 Oktober lalu.
Alasannya, kata Khamenei, adalah pemerintah asing itu tidak dapat menerima bahwa Iran mengalami kemajuan. “Meskipun negara ini memiliki banyak masalah, beberapa bahkan telah dimulai bertahun-tahun lalu, pekerjaan serius sedang dilakukan untuk menyelesaikannya. Mereka dapat melihat gerakan menuju kemajuan yang makin cepat di negeri ini. Ini adalah fakta,” ujarnya.
Mahmood Amiry-Moghaddam memaparkan bahwa pemerintah sekarang adalah rezim totaliter yang opresif yang menggunakan agama untuk mengendalikan masyarakat. “Mereka ingin memutuskan segala hal tentang rakyat: apa yang rakyat katakan, apa yang mereka makan, bagaimana mereka berpakaian, dan apa yang mereka pikirkan,” ucapnya. “Kami tidak punya lembaga kehakiman yang independen. Parlemen bukanlah parlemen sesungguhnya karena anggotanya disetujui dulu oleh Pemimpin Tertinggi.”
Gerakan massa ini sangat mungkin menggulingkan rezim Khamenei yang disokong Garda Revolusi. “Masalahnya adalah berapa lama (protes) ini berlangsung, berapa banyak nyawa manusia melayang. Karena kita juga tahu bahwa rezim ini akan melakukan apa pun untuk mempertahankan kekuasaan. Tapi, saya pikir, protes ini memiliki semacam ciri yang dapat membuat segalanya berubah,” ujarnya.
Amiry-Moghaddam melihat bahwa rezim sekarang mulai rapuh. Pada 1980-an, kata dia, banyak orang percaya terhadap rezim ini. Kini banyak yang bekerja bersama rezim karena mendapat sejumlah keuntungan. “Namun, bila mereka melihat rezim ini tidak dapat berlanjut, saya pikir mereka tak akan mau mempertaruhkan hidupnya untuk rezim.”
Dia mengaku sulit memprediksi kapan perubahan terjadi. Namun ia mengetahui dari sejumlah dokumen rahasia bahwa, 40 hari setelah unjuk rasa besar dimulai, ada delegasi pemerintah Iran ke Venezuela berbicara mengenai kemungkinan mendapat suaka. “Jadi mereka menyadari, rezim Iran menyadari bahwa protes ini dapat menuju sebuah perubahan, pergantian rezim,” tutur Amiry-Moghaddam.
Gerakan ini terjadi di berbagai tempat, tapi tak tampak pemimpinnya. Namun, menurut Amiry-Moghaddam, banyak pemimpin yang menggalang gerakan ini, termasuk dari kampus-kampus. Universitas termasuk garda terdepan dalam gerakan ini. Bila perubahan rezim terjadi, ada banyak kandidat dari dalam dan luar Iran bagi mereka. “Gerakan ini akan menemukan pemimpinnya sendiri bila saatnya tiba,” ujarnya.
IWAN KURNIAWAN, TARA REYSA AYU PASYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo