BERHAKKAH Amerika Serikat mengganggu-gugat tamu PBB, sebuah lembaga internasional yang berdiri di atas semua bangsa? Hampir semua negara anggota lembaga itu berkata "tidak". Yakni, untuk kasus penolakan AS memberikan visa buat Yasser Arafat untuk menghadiri Sidang Umum PBB vang sedianya akan membicarakan soal Palestina, awal Desember lalu. "Sikap AS bertentangan dengan peranannya sebagai negara tuan rumah," kata Javier Perez de Cuellar, Sekjen lembaga dunia itu. Memang, ketika markas PBB disepakati didirikan di New York, Amerika Serikat -- antara lain karena desakan Paman Sam sendiri pada 1947, sejumlah kesepakatan dibuat. Antara lain, bahwa Amerika, sebagai negara yang ketempatan PBB, tidak akan mengutik-utik tamu PBB sedikit pun. Ini tentu saja perlu guna menjaga agar AS tak seenaknya memanfaatkan PBB -- lahir pada 1942 guna menandingi sindikat Jerman-Italia-Jepang -- untuk kepentingan sendiri. Dalam Pasal 11 Bab 4 perjanjian AS-PBB, antara lain tertulis bahwa pemerintah AS atau pemerintah negara bagiannya "tak diperkenankan menjatuhkan kesukaran apa pun terhadap para wakil negara anggota atau petugas PBB, atau agen khusus atau wakil organisasi-organisasi yang diakui PBB" bila mereka memerlukan singgah di wilayah AS guna keperluan konsultasi. Juga, AS dilarang mempersulit mereka bila mereka meninggalkan AS dikarenakan urusan dengan PBB telah selesai. Pasal tersebut diperkuat oleh Pasal 13. Pasal ini menegaskan bahwa hukum dan ketentuan yang berlaku di Amerika Serikat berkenaan dengan masuknya orang asing harus tidak diterapkan bagi mereka yang bertugas atau diundang PBB, yang hak-hak istimewanya disebutkan dalam Pasal 11. "Jika visa diperlukan untuk orang-orang yang disebutkan dalam pasal itu, visa harus diberikan selekas mungkin dan tanpa biaya." AS bukan tak tahu ketentuan itu, atau sengaja melupakannya tentunya. Dalam keterangan resmi penolakan visa buat Arafat, Departemen Luar Negeri AS pun menyebutkan kesepakatan tersebut, dan sekaligus menyatakan alasan mereka menolak kehadiran Arafat di tanah Amerika, yakni "demi menjaga keamanan sendiri". Dengan alasan itulah, menurut mereka, AS sah membuat perkecualian bagi seorang pimpinan PLO. Jelasnya, di mata AS, Yasser Arafat tak berhak menikmati perjanjian AS-PBB. Padahal, dunia tahu, tak sedikit pun ada perkecualian (baik bagi PLO ataupun yang lain) dalam prjanjian 21 tahun lalu itu. Tapi, menurut Amerika, perkecualian itu ada. Departemen Luar Negeri AS menyebutkan adanya undang-undang AS nomor 80-357, yang menyebutkan bahwa negara berhak "mencegah masuk mereka yang membawa ancaman pada keamanan kami". Sampai di sini bisa diperdebatkan, adakah Yasser Arafat, yang hendak berpidato di mimbar Sidang Umum, mengancam AS? Bila saja Menlu George Shultz bersedia mempertimbangkan bahwa Arafat, dekat setelah membacakan proklamasi Negara Palestina, telah memerintahkan agar PLO menghentikan semua aksi kekerasan. Bukankah itu sebuah perubahan sikap luar biasa dari seorang yang disebut "teroris"? Sebenarnya, ini bukan pertikaian baru antara PBB dan AS. Sejak lima belasan tahun lalu, sang superkuat memang memperlihatkan sewotnya kepada lembaga bangsa-bangsa itu. Tahun 1974, misalnya, Majelis Umum PBB mengundang Arafat. AS tak menyetujuinya, meski akhirnya untuk pertama kalinya (dan terakhir kalinya sampai kasus sekarang) Arafat muncul juga di mimbar PBB. Lalu, waktu itu juga, Majelis melarang Afrika Selatan ikut dalam sidang. AS menentang keputusan ini. Tahun 185 Amerika membatasi gerak warga negara Soviet, Afghanistan, Kuba, Vietnam, Libya, dan Iran yang bekerja di PBB. Sekjen PBB Javier Perez de Cuellar mengecam keras hal ini. Konflik paling tajam terjadi saat AS menyatakan keluar dari UNESCO. Badan PBB yang bergerak dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan itu oleh AS dianggap terlalu banyak dipakai buat politik. "Kita memberi sumbangan cukup besar pada organisasi dunia itu, kita juga menyediakan tempat, tetapi kita terus-menerus kalah suara. Karena itu, menurut saya pribadi, kita menarik diri saja," kata Senator Robert Byrd. AS tak menarik diri, memang, tapi beberapa tahun nunggak iuran kepada PBB sampai berjumlah US$ 467 juta. Dan belum lama ini Presiden Ronald Reagan mengatakan bahwa AS tak akan membayar tunggakan sebelum PBB berubah. Reagan tak menjelaskan perubahan seperti apa yang dia maksudkan. Seorang pengamat India, M.V. Kamath, mengatakan mengapa AS kini tak bersemangat mendukung PBB. "Karena negara itu sekarang tidak lagi bisa mendominasi badan dunia ini," tulisnya. Tampaknya, usul agar badan internasional yang di dalamnya bekerja 40 ribu diplomat dan 5 ribu karyawan itu dipindahkan markasnya, bukan asal-usul. ZU dan PN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini