Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada tahun-tahun belakangan, ruang gerak dan ragam kegiatan Mohammad Khatami seperti terbelenggu. Media di Iran dilarang menyebut namanya atau mempublikasikan fotonya. Tapi Internet menyediakan peluang untuk melawan pembungkaman: pada awal ingar-bingar kampanye pemilihan umum yang berlangsung pada Jumat pekan lalu, mantan presiden ini merilis sebuah video secara online; di dalamnya dia menyeru agar para aktivis politik bersatu di belakang "daftar harapan".
Rekaman pesannya kemudian juga diperdengarkan dalam kampanye, misalnya di satu tempat di Teheran. Suaranya membuat hadirin terdiam. "Kita semua harus pergi ke kotak suara dan memilih demi Iran yang lebih baik," kata Khatami dalam pesannya.
Ajakan dari seorang tokoh yang belakangan lebih banyak bekerja di balik layar itu rupanya kuat bergema dan mampu menimbulkan momentum. Sejumlah politikus terkemuka yang sedang dalam tahanan menggaungkannya dengan mengirimkan pesan agar rakyat memberikan suara untuk para kandidat dalam daftar itu.
Yang disebut sebagai "daftar harapan" oleh Khatami adalah nama-nama kandidat yang mewakili atau bersimpati pada kubu reformis, atau sekurang-kurangnya moderat, dalam lanskap politik Iran. Khatami sendiri selama ini dianggap sebagai pemimpin tertinggi kaum reformis.
Momentum itu dinilai penting mengingat apa yang terjadi sebelum pemungutan suara berlangsung. Sejak pendaftaran calon dibuka, kaum reformis sebenarnya mengalami perlakuan yang bisa berujung pada kekalahan telak. Banyak calon prospektif mereka, baik untuk parlemen maupun Majelis Ahli, yang dicoret Majelis Wali—lembaga penjaga konstitusi. Di antara mereka yang kandas adalah Hassan Khomeini, cucu pendiri Republik Islam Iran, Ayatullah Ruhollah Khomeini, yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota Majelis Ahli.
Bagi kaum reformis, kekalahan bakal berarti agenda Presiden Hassan Rouhani tak bisa berjalan mulus. Media internasional melihat ancaman ini nyata. Bagaimana tidak, hingga sebelum pemungutan suara berlangsung, Rouhani dianggap tak sepenuhnya mampu memanfaatkan keberhasilannya membebaskan Iran dari sanksi ekonomi yang kian mencekik—setelah menyepakati perjanjian nuklir dengan Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, Cina, dan Uni Eropa.
Lawatannya ke Eropa pada Januari lalu, yang membuahkan sejumlah perjanjian kerja sama dan kontrak ekonomi dengan perusahaan-perusahaan Prancis dan Italia, malah menjadi sasaran kecaman kaum garis keras. Selain dinilai terlalu muluk dengan proyeksi ekonominya, dia dianggap cenderung condong ke Barat.
Ditambah lagi tak terbendungnya upaya kaum garis keras untuk menjegal sejak awal kandidat reformis, wajar bila timbul keyakinan di kalangan pengamat bahwa politik di Iran sebenarnya sudah mati.
Pesimisme terhadap pemilu Iran pada Jumat dua pekan lalu itu terbukti berlebihan. Memang, hingga sepekan kemudian, hasil pemungutan suara belum resmi diumumkan. Tapi dari penghitungan di Teheran, yang sudah diketahui lebih dulu, dan hasil sementara yang belum dipublikasikan, bisa diperkirakan sekutu-sekutu Rouhani bakal menguasai sedikitnya 100 dari 290 kursi di parlemen.
Jumlah kursi itu belum mayoritas, hanya 30-an persen. Dengan kenyataan bahwa kubu garis keras masih mampu menguasai 40-an persen kursi, posisi kaum reformis sangat bergantung pada kelompok independen, yang menguasai sekitar 17 persen kursi.
Ada yang skeptis melihat hal itu. "Perlu beberapa bulan sebelum wujud utuh parlemen baru menjadi jelas. Kaum independen bakal memainkan peran kunci dalam keputusan-keputusan parlemen selanjutnya," kata Hamid Farahvashian, analis politik. "Banyak anggota parlemen baru yang kita tak tahu, juga kecenderungan politiknya."
Tak sedikit pula yang berpendapat bahwa perolehan ini cukup mengejutkan dan menimbulkan optimisme akan ada perubahan berarti di Iran. "Dalam urusan ekonomi, parlemen baru bakal lebih bagus ketimbang parlemen yang sekarang," kata Saeed Leylaz, ekonom yang pernah menjadi penasihat Presiden Khatami.
Yang tak kalah penting bagi kaum reformis adalah keberhasilan menguasai posisi mayoritas di Majelis Ahli. Lembaga beranggotakan 88 ulama ini bertugas antara lain memilih pemimpin spiritual tertinggi, yang saat ini dijabat Ayatullah Ali Khamenei. Selain Rouhani sendiri, di antara yang berhasil memperoleh kursi adalah Ali Akbar Hashemi Rafsanjani, mantan presiden yang gigih berkhotbah agar Iran menghentikan pekik "Matilah Amerika!" Dominasi kaum reformis di sini bakal mengakhiri upaya tanpa henti kaum garis keras untuk membungkam suara-suara yang berbeda.
Selain peran para pemimpin reformis atau moderat, seperti Khatami dan Rafsanjani, hasil pemilu yang menguntungkan kubu reformis itu terwujud berkat tingkat partisipasi yang tinggi dari kalangan menengah. Mereka inilah sesungguhnya basis dukungan bagi Rouhani.
Dari segi jumlah, tingkat partisipasi keseluruhan kali ini sebenarnya lebih rendah (62 persen) dibanding pemilu empat tahun lalu (64 persen). Tapi suara untuk kaum reformis datang dari beragam kelompok masyarakat kelas menengah—kaum penggemar Gucci, mahasiswa filsafat, pria yang menggandeng anak-anaknya yang mengenakan kaus oblong Frozen. Mereka seperti sengaja ke luar rumah untuk menyalurkan kejengkelan terhadap kaum garis keras.
"Saya tak berpolitik," kata Reza Sharji, desainer grafis berusia 35 tahun, saat menunggu giliran memberikan suara di Shahrak-e Ghrab, Teheran barat. "Tapi ada sesuatu yang tidak saya inginkan, yakni bertambah banyaknya kaum garis keras."
Mewakili sisi yang paling tajam dari ideologi revolusioner Islam Iran, kaum garis keras sebenarnya sudah lama keteteran meningkatkan basis dukungannya. Dalam 15 tahun terakhir, masyarakat Iran mengalami perubahan sangat cepat. Kelompok masyarakat kelas menengah cenderung semakin merasa terasing di tengah ingar-bingar pembicaraan politik bernada anti-asing, anti-Amerika, anti-peradaban Barat, dan anti-pelonggaran kehidupan sosial.
Perkembangan lain yang juga menguntungkan kaum reformis adalah diskusi politik di kalangan elite cenderung menjauh dari polarisasi antara kaum reformis dan kaum garis keras. Mereka yang memilih menjadi pendukung Rouhani lebih suka dijuluki sebagai kaum pragmatis, tengah, dan moderat.
Pilihan julukan itu sebenarnya merupakan isyarat bakal sulitnya proses perubahan sosial yang diharapkan bisa segera terjadi. Mereka yang akhirnya duduk di parlemen sesungguhnya bukan para penganjur perubahan radikal di bidang hukum dan ideologi; kaum reformis tulen ini kebanyakan sedang mendekam di penjara atau dilarang ikut serta dalam proses politik. "Para legislator baru bakal segera menghadapi perpecahan di antara mereka sendiri," kata Hamidreza Taraghi, analis politik yang dekat dengan kepemimpinan Iran.
Meski demikian, semakin jelas pula bahwa Khamenei cenderung mendukung angin yang lebih moderat, khususnya di bidang kebijakan luar negeri dan ekonomi. Dia memang masih menyeru agar berhati-hati terhadap Amerika. Tapi dia, misalnya, membiarkan berlanjutnya kontak antara Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zarif dan Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry, sampai kemudian tercapai kesepakatan mengenai program nuklir Iran.
Dengan sikap Khamenei yang seperti itu, perubahan ekonomi dan upaya membuka diri bagi dunia luar, fokus utama pemerintahan Rouhani, berpeluang menggelinding tanpa rintangan. "Parlemen baru nanti jelas bakal mendukung kebijakan ekonomi baru," kata Mosayyeb Naemi, pemimpin redaksi sebuah mingguan pro-pemerintah.
Yang bakal tetap menjadi isu pelik adalah perubahan sosial. Upaya untuk mewujudkannya masih berpotensi menimbulkan benturan-benturan, dan menuntut lebih dari sekadar kampanye seperti yang dilakukan Khatami.
Purwanto Setiadi (Foreign Policy, The Guardian, The New York Times, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo