Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musim dingin belum berakhir. Puluhan tenda masih mengembang di salah satu kamp pengungsi di Desa Idomeni, tak jauh dari tapal batas Yunani dan Makedonia, Rabu pekan lalu. Ratusan pengungsi dari Suriah, Irak, dan Afganistan berjubel di dalamnya. Sudah sepekan lebih mereka berusaha menuju Eropa Barat. Namun langkah mereka terhenti di Idomeni, tatkala dingin masih menggigit.
Di antara mereka ada seorang perempuan hamil, Hiba Junaid. Pengungsi asal Damaskus, Suriah, ini bertekad melintas batas, menyusul suaminya yang lebih dulu menjejakkan kaki di Berlin, Jerman. "Saya lelah dan lapar," kata Junaid, seperti diberitakan The Guardian. "Di sini sangat dingin. Tolong, minta mereka mengizinkan saya melintas."
Ali Barkel, seorang Kurdi Suriah dari Kobani, juga mengutarakan asa. Menggandeng putrinya yang berumur satu tahun, Barkel berharap polisi dan petugas keamanan segera membukakan perbatasan. Dengan begitu, ia dan para pencari suaka lain dapat segera angkat kaki dari Idomeni. "Kami tidak ingin tinggal di sini, kami ingin melanjutkan perjalanan," ujarnya.
Namun mereka terbentur penjagaan ketat petugas. Beberapa kali mereka bentrok. Kerusuhan meletus saat sejumlah pengungsi nekat menerobos deretan pagar kawat berduri. Dalam kesempatan lain, mereka memakai tiang untuk mendobrak gerbang perbatasan. "Petugas menembakkan peluru karet dan gas air mata untuk membubarkan kerumunan," demikian dilaporkan CNN.
Antonis Rigas, koordinator lapangan untuk lembaga kemanusiaan Dokter tanpa Batas (MSF) di Idomeni, mengatakan sedikitnya 23 pengungsi, termasuk 10 anak-anak, terluka akibat bentrokan dengan petugas pada Senin pekan lalu. Lima belas lainnya terkena masalah pernapasan karena gas air mata dan tujuh orang terlilit kawat berduri. "Satu orang terserempet peluru karet," katanya.
Dua pekan lalu, kerumunan pengungsi belum memadati Idomeni. Kini lebih dari 10 ribu pencari suaka terdampar di desa kecil di Yunani utara itu. Bagi Yunani—negara Uni Eropa yang nyaris bangkrut—situasi ini merupakan malapetaka. Para pejabat di Athena, ibu kota negara itu, kelimpungan. Dengan bantuan tentara, mereka bekerja siang-malam mengurusi pengungsi.
Pemerintah memasok kebutuhan logistik pengungsi di kamp-kamp sementara di empat lokasi di provinsi utara Yunani. Salah satu yang terpadat adalah di Idomeni. Mereka antara lain menyediakan makanan, tenda, selimut, kantong tidur, sarana transportasi, dan ambulans.
"Kami dilanda krisis pengungsi terbesar setelah Perang Dunia II," kata Perdana Menteri Yunani Alexis Tsipras. Menurut dia, skala krisis pengungsi di Yunani dan negara-negara Eropa lainnya saat ini sangat besar. "Melampaui kekuasaan negara, kekuatan pemerintah, dan kelemahan di lingkup internal Uni Eropa."
Wajar bila para pengungsi di Idomeni "memberontak". Tempat singgah utama bagi pencari suaka yang bepergian ke Eropa Barat itu sebenarnya hanya mampu menampung 3.000 orang. Athena pun berteriak. Mereka meminta bantuan anggota Uni Eropa lain untuk merawat pengungsi, yang kini berjumlah 22 ribu orang. "Bulan depan gelombang pengungsi mencapai 70 ribu orang," kata Menteri Imigrasi Yunani Yiannis Mouzalas.
Gayung bersambut. Rabu pekan lalu, Uni Eropa menawarkan bantuan senilai 700 juta euro (sekitar Rp 10 triliun) kepada Yunani. Dana jumbo itu diberikan agar Athena sebisa mungkin menampung aliran pengungsi dari Timur Tengah dan sebagian Afrika. Bagi 28 negara Uni Eropa, krisis pengungsi semakin parah. Satu per satu dari mereka memperketat gerbang perbatasan karena kewalahan menampung pengungsi.
Seperti Turki, Yunani kini terkena getah krisis pengungsi. "Kami benar-benar khawatir," kata Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker. Pada November 2015, Uni Eropa sepakat menggelontorkan 3 miliar euro (sekitar Rp 43 triliun) kepada Turki untuk mengerem laju pengungsi. Belakangan, Ankara tetap keteteran karena telah menampung 3 juta orang. Sebanyak 2,5 juta di antaranya dari Suriah—negara yang lima tahun dikoyak konflik.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah nasib Yunani—negara paling melarat di Benua Biru. Belum lepas dari jerat utang, negeri para filsuf itu kini terimpit krisis pengungsi. Padahal baru Agustus tahun lalu Yunani menerima dana talangan ketiga dari Uni Eropa sebesar 86 miliar euro (sekitar Rp 1.230 triliun).
Meski mendapat dana talangan pada 2010, Yunani masih belum pulih dari krisis keuangan. Athena sibuk mengencangkan ikat pinggang, menghemat duit negara. Dengan kebijakan seperti itu, tingkat pengangguran di Yunani masih 25 persen—tertinggi di Uni Eropa. "Kekuatan ekonomi masih seperempat dari tahun 2009," demikian laporan Bank Sentral Yunani.
Gubernur Bank Sentral Yunani Yannis Stournaras, seperti dikutip Huffington Post, mengatakan krisis pengungsi turut memperparah kondisi keuangan negaranya. "Memburuknya krisis pengungsi telah menghambat prospek ekonomi Yunani," katanya. Menteri keuangan 2012-2014 ini menuturkan, arus besar pengungsi, terutama dari Suriah, telah mengganggu industri pariwisata di pulau-pulau di Laut Aegea. Perdagangan internasional, yang bergantung pada akses terbatas di jalur laut Yunani, juga terhambat karena lalu lintas pencari suaka.
Yunani telah menjadi titik masuk utama bagi 1,13 juta pengungsi yang tiba di Eropa sejak awak 2015. Dari Turki, mereka bertaruh nyawa melintasi Laut Aegea. Menurut catatan International Organization for Migration, puluhan ribu pengungsi tewas saat menempuh rute berbahaya itu. Tahun ini 129.455 pengungsi tiba di Yunani lewat laut. Sebanyak 418 dilaporkan tewas atau hilang.
Ulah Austria membuat Yunani berang. Dua pekan lalu, Austria dan sembilan negara Balkan membahas krisis pengungsi. Mereka bersepakat memperketat kontrol perbatasan. Austria memangkas drastis kuota penerimaan pencari suaka, dari 3.200 ke 80 orang per hari. Adapun Albania, Bosnia, Bulgaria, Slovenia, Kroasia, Kosovo, Serbia, Montenegro, dan Makedonia menutup akses bagi pengungsi selain dari Suriah dan Irak.
Bak efek domino, keputusan di Wina itu merembet ke selatan hingga Athena. Pengungsi yang tahun lalu bisa melintasi Balkan menuju Eropa Barat kini tertahan di Yunani. Menteri Luar Negeri Yunani Nikos Kotzias merespons manuver Austria dengan menarik duta besar dari Wina. "Tindakan Austria telah merusak fondasi dan proses penyatuan Eropa," ucapnya.
Yunani marah karena tak dilibatkan dalam perundingan. Negara ini merasa ditinggalkan oleh rekan-rekannya di utara. Padahal Yunani menjadi titik pertama kedatangan mayoritas pengungsi ke Eropa. "Langkah sepihak ini berpengaruh langsung terhadap Yunani dan perbatasan Yunani," Kotzias menuturkan.
Jerman, yang juga tak diundang oleh Austria, tak kalah meradang. Jerman adalah negara utama yang menjadi tujuan akhir para pengungsi. Negara ini telah menampung 1,1 juta pencari suaka sepanjang 2015. Sebanyak 450 ribu di antaranya dari Suriah. "Kami tidak akan meninggalkan Yunani dalam kesulitan seperti itu," kata Kanselir Jerman Angela Merkel, dalam wawancara dengan stasiun televisi nasional Jerman.
Merkel, seperti dilaporkan Deutsche Welle dan The Local, memastikan Jerman akan tetap menerima pengungsi. Perempuan yang menggagas kebijakan pintu terbuka untuk pengungsi Suriah ini mengecam negara lain yang berubah sikap. "Siapa pun yang menutup perbatasan tidak menyelesaikan masalah pengungsi," ujarnya.
Austria tak kalah galak terhadap Jerman dan Yunani. Kanselir Austria Werner Faymann mengatakan negaranya tidak bisa terus-menerus menjadi jalur penghubung bagi pengungsi. "Jerman harus menerapkan kuota harian dan mengambil para pengungsi langsung dari Yunani, Turki, atau Yordania," kata Faymann kepada surat kabar Kurier.
Sementara itu, di Athena, Hassan Mohamadi menatap harapan baru. Pria ceking asal Afganistan ini "buta" perihal kekacauan di Yunani saat tiba di pelabuhan Piraeus pada Kamis pagi dua pekan lalu. Bersama 1.300 pengungsi lain, Mohamadi mengajak istri dan putrinya yang baru lima bulan. Mereka datang dari Pulau Lesbos dan Chios di Turki menunggang feri Blue Star 1. "Sebuah keajaiban bisa sampai di sini," ujarnya, seperti diberitakan Der Spiegel.
Tak jauh dari pelabuhan, tepatnya di Victoria Square di jantung Kota Athena, ratusan pengungsi berkemah di alun-alun, tidur di lapangan, dan berkeliaran di jalan-jalan. Mohamadi, 26 tahun, yang kabur dari desanya di Qur karena kemiskinan dan serangan milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), berencana menempuh hidup baru di Jerman. Namun entah sampai kapan ia dan keluarganya terjebak di Athena.
MAHARDIKA SATRIA HADI (THE GUARDIAN, DER SPIEGEL, THE LOCAL, HUFFINGTON POST, DW, CNN, IB TIMES)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo