Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jejaring Suap Komisi Mata Air

Komisi antikorupsi terus membongkar jaringan suap di Komisi Infrastruktur DPR. Proyek yang jadi bancakan lebih dari Rp 2 triliun.

7 Maret 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada perdebatan dalam gelar perkara yang melibatkan penyidik dan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi pada Senin sore pekan lalu. Keputusan mereka bulat: menetapkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Budi Supriyanto, sebagai tersangka penerima suap. Keesokan harinya, KPK mengumumkan bahwa politikus Partai Golkar itu menerima besel dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir.

Penetapan status tersangka Budi relatif cepat karena Komisi telah mengantongi bukti kuat. Penyidik KPK memiliki rekaman penyerahan uang—yang diduga suap—kepada Budi. Transaksi itu berlangsung di restoran Soto Kudus Blok M di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, pukul 18.00, 11 Januari 2016. Kamera video merekam Budi menerima uang dari Julia Prasetyarini, asisten anggota Komisi V DPR, Damayanti Wisnu Putranti. Anggota Fraksi PDI Perjuangan ini lebih dulu ditangkap KPK, juga karena menerima suap dari Abdul Khoir.

Di gedung KPK, bisik-bisik bahwa Budi menjadi calon tersangka sebenarnya sudah terdengar sejak tiga pekan lalu. Kala itu pemimpin Komisi meneken surat perintah penyelidikan atas nama Budi. "Itu hanya soal waktu dan strategi," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.

Pada 1 Februari lalu, Budi berupaya menyerahkan uang Sin$ 305 ribu kepada Direktorat Gratifikasi KPK. Namun bagian pelaporan hadiah untuk pejabat negara itu tak mau menerima duit dari Budi. Soalnya nama Budi sudah masuk radar penyidik kasus suap Damayanti. Sepuluh hari kemudian, penyidik baru menyita duit tersebut.

Pengacara Budi, Iwan Gunawan, mengatakan kliennya hendak mengembalikan duit dari Abdul kepada komisi antirasuah supaya tak melanggar hukum. "Uang yang diterima Pak Budi dikembalikan ke KPK sesuai dengan undang-undang," ucap Iwan.

Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, Budi menerima besel karena jasa dia memuluskan perusahaan Abdul mendapat proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Budi berperan sebagai pengusul paket proyek pembangunan jalan di kawasan Maluku II, yang di antaranya terdapat di Pulau Seram. Ketika mengusulkan proyek tersebut, Budi adalah anggota Komisi V Bidang Infrastruktur DPR. Komisi ini merupakan mitra Kementerian Pekerjaan Umum. "Budi perannya besar," ujar Agus. Sejak kasus ini mencuat, Budi dipindahkan ke Komisi X Bidang Olahraga.

Kuasa hukum Julia, Muhammad Syafri Noer, mengatakan kliennya menemui Budi atas perintah Damayanti. Budi dan Damayanti lebih dulu berkomunikasi ihwal bagi-bagi uang komisi itu. "Bu Julia sebatas menyerahkan," katanya. Meski demikian, Syafri membenarkan bahwa Julia pun tahu duit yang dia antar merupakan jatah proyek berlabel "dana aspirasi" itu.

PENYIDIK mengendus keterlibatan Budi setelah menangkap Damayanti pada 14 Januari 2016. Pada operasi tangkap tangan tersebut, tim KPK lebih dulu menyergap Abdul, Julia, dan Dessy A. Edwin—anggota staf Damayanti lainnya. Tim komisi antikorupsi mencokok ketiganya di tempat terpisah, setelah bertransaksi suap di kantor PT Windhu, di kawasan Blok M Square, Jakarta Selatan. Dalam operasi itu, petugas KPK menyita duit dari Dessy dan Julia, masing-masing Sin$ 33 ribu. Sedangkan dari rumah Damayanti, penyidik menyita fulus Sin$ 33 ribu.

Menurut Agus, Damayanti diduga menerima suap berkaitan dengan proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada tahun anggaran 2016. Berdasarkan pemantauan KPK, paling tidak ada empat kali transaksi suap antara Abdul dan Damayanti, dengan total uang di atas Rp 1 miliar. Adapun komisi proyek yang dijanjikan untuk Damayanti Sin$ 404 ribu (sekitar Rp 3,9 miliar). Sebagian dari duit itu dibagi-bagikan Damayanti kepada beberapa kolega satu partainya yang menjadi calon dalam pemilihan kepala daerah pada Desember tahun lalu.

Menurut penelusuran KPK, Damayanti bukan satu-satunya anggota Dewan yang memainkan proyek di wilayah Maluku Utara. Radar KPK pun mengarah ke anggota DPR lainnya. Sehari setelah menangkap Damayanti, penyidik KPK menggeledah ruang kerja Budi dan Yudi Widiana, Wakil Ketua Komisi Infrastruktur dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Tak lama kemudian, KPK melayangkan surat pencegahan bepergian ke luar negeri untuk Budi dan So Kok Seng alias Aseng. Nama terakhir adalah pengusaha kontraktor asal Maluku, Direktur Utama PT Cahaya Mas Perkasa.

Menurut seorang penegak hukum, Damayanti, Budi, dan Yudi bekerja dalam satu jaringan. Kelompok mereka beranggotakan sembilan anggota Komisi V. Mereka memainkan proyek dengan menggandeng Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) IX Kementerian Pekerjaan Umum Amran H.I. Mustary. Modusnya, Amran yang merekomendasikan pengusaha yang ingin mendapat proyek untuk menghadap anggota Komisi V. Di luar jaringan ini, masih ada kelompok legislator yang aktif memburu proyek di BPJN IX wilayah Maluku dan Maluku Utara.

Yudi Widiana menolak namanya dikaitkan dengan kasus korupsi yang melibatkan Budi dan Damayanti. "Saya enggak dekat sama Damayanti. Seumur hidup enggak pernah kontak dia," ujar Yudi di kompleks DPR, Rabu pekan lalu. "Di Komisi V, saya pribadi enggak dekat sama Pak Budi."

Damayanti dan Amran, menurut si penegak hukum, sudah lama saling mengenal. Damayanti, kini mewakili daerah pemilihan Jawa Tengah IX, sebelumnya pengusaha kontraktor yang melebarkan sayapnya hingga Maluku. "Damayanti bisa disebut rekanan lama Amran," ucapnya.

Amran tak menyangkal ataupun membenarkan. "Kata siapa?" Amran balik bertanya ketika dimintai konfirmasi soal ini, setelah diperiksa KPK pada Rabu pekan lalu. Adapun Damayanti selalu bungkam ketika dimintai konfirmasi soal ini.

Tiap anggota Komisi V, menurut sumber di KPK, mendapat jatah paket proyek sekitar Rp 60 miliar. Sedangkan pimpinan komisi bisa mendapat jatah paket bernilai sampai Rp 300 miliar. Mereka mendapat fee rata-rata 8 persen dari nilai proyek. Saking banyaknya paket proyek yang dibagi-bagi, Komisi V sampai mendapat julukan khusus. "Komisi ini disebut Komisi Mata Air," ujar si penegak hukum.

Bukan cuma Damayanti yang aktif mencari proyek. Menurut penegak hukum itu, anggota Komisi Infrastruktur dari Fraksi Hanura, Fauzih Amro, juga sigap "bergerilya". Sedangkan Wakil Ketua Komisi V dari Fraksi Golkar, Muhidin Mohamad Said, hanya menitipkan proyek. "Kolektor besarnya Aseng juga," katanya. Setelah diperiksa KPK pada Selasa pekan lalu, Aseng bungkam ketika dimintai konfirmasi.

Muhidin membenarkan bahwa sebagian anggota Komisi V DPR aktif memperjuangkan program daerah. Hal itu, dia beralasan, sesuai dengan amanat undang-undang. Namun Muhidin membantah ada pembagian paket proyek di komisinya. "Nilai proyeknya saja kami tidak tahu, karena tidak ikut membahas sampai satuan tiga," ujar legislator dari daerah pemilihan Sulawesi Tengah itu.

Fauzih mengiyakan pernyataan Muhidin. Dia pun membantah disebut aktif mencari proyek. "Tidak ada itu," ujar anggota DPR dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I ini.

Di jejaring bagi-bagi proyek Senayan, Damayanti dkk bisa disebut pemain baru. Anggota staf ahli salah satu anggota Komisi V, Jaelani Paranddy, mengatakan Abdul Khoir juga menebar duit kepada Andi Taufan Tiro dan Musa Zainuddin, yang dia sebut pemain lama. Jaelani mengaku menjadi perantara pemberian uang suap itu. Menurut dia, Abdul memberikan duit itu beberapa kali dengan jumlah yang bervariasi. Pemberian uang berlangsung jauh sebelum penangkapan Damayanti. "Jumlahnya gede," kata Jaelani, yang masih merahasiakan angka persisnya.

Kuasa hukum Jaelani, Made Rahman, mengatakan kliennya sewaktu pemeriksaan pertama kali membantah mengantarkan titipan dari Abdul. Bahkan Jaelani sempat berbohong kepada penyidik. Setelah penyidik enam kali menanyakan pemberian uang itu, "Baru dia akui," ujar Made. Kini Jaelani berada dalam perlindungan KPK.

Penyidik KPK memanggil Taufan pada 12 Februari lalu. Setelah pemeriksaan, Taufan mengatakan tidak mengenal Abdul. Dia juga mengaku tak tahu ihwal pemberian duit. "Wah, enggak bener itu, saya enggak paham," ucap politikus Partai Amanat Nasional daerah pemilihan Sulawesi Selatan II itu.

Adapun Musa belum memenuhi panggilan KPK. Padahal penyidik sudah tiga kali menjadwalkan pemeriksaan politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu. Komisi antikorupsi melayangkan panggilan terakhir pada Kamis pekan lalu. "Tadi dia menghubungi penyidik, katanya ada kegiatan," ujar Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha, Kamis pekan lalu. Menurut Priharsa, Musa meminta pemeriksaan atas dirinya dijadwal ulang menjadi pekan ini.

Meski banyak anggota Komisi V yang membantah, Amran Mustary mengakui mengarahkan sejumlah pengusaha yang ingin mendapatkan proyek untuk "sowan" ke anggota Komisi Infrastruktur itu. Alasannya, proyek tersebut berawal dari aspirasi masyarakat. Pemerintah daerah dan BPJN juga mengusulkan proyek tersebut ke DPR. Usul itu, kata Amran, disampaikan ketika anggota DPR berkunjung ke daerah. "Namanya menangkap aspirasi," ujarnya.

Amran menerangkan, pada 2016, BPJN IX mendapat jatah proyek sebanyak 140 paket dengan nilai di atas Rp 2 triliun. Nilai paket proyek bervariasi, dari Rp 30 miliar hingga Rp 60 miliar.

Kuasa hukum Abdul Khoir, Haeruddin Massaro, mengatakan kliennya hanya mengincar 24 paket proyek. Sisanya menjadi buruan kontraktor lain. Haeruddin juga membenarkan kabar bahwa Abdul telah menebar duit kepada Komisi V, Amran, dan pegawai BPJN lainnya. Namun dia tak mau menyebutkan angkanya. "Kita tunggu penyidik saja," kata Haeruddin.

Berdasarkan informasi yang diperoleh KPK, pemberian duit kepada Amran tak langsung dalam jumlah besar. Amran biasa meminta dibelikan tiket pesawat. Terkadang Amran tiba-tiba meminta ditransfer sampai puluhan juta. "Bukti-bukti tran­saksi diamankan penyidik saat penangkapan Abdul," ujar seorang penegak hukum. Amran membantah tuduhan menerima duit dari Abdul.

Karena banyaknya pelaku yang terlibat, Agus Rahardjo memastikan Budi bukan tersangka terakhir. Pimpinan KPK juga telah menandatangani surat perintah penyidikan terhadap seorang pengusaha. "Ya, dibuka sedikit-sedikit. Jangan semualah," kata mantan Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ini.

Linda Trianita, Anton Aprianto, Muhamad Rizki, Ghoida Rahmah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus