Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Partai Rakyat Kamboja (CPP) menang mutlak dalam pemilu Kamboja.
PM Hun Sen akan menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Hun Manet.
Amerika Serikat dan Uni Eropa menilai pemilu berlangsung tidak bebas dan tidak adil.
TIGA hari setelah Komisi Pemilihan Umum Nasional Kamboja (NEC) menyatakan Partai Rakyat Kamboja (CPP) menang mutlak dalam pemilihan umum parlemen tahun ini, Perdana Menteri Hun Sen membuat pengumuman yang mengejutkan. Orang terkuat Kamboja itu menyatakan akan lengser setelah berkuasa selama 38 tahun dan menyerahkan wewenang kepada putranya, Hun Manet, untuk membentuk pemerintahan baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya ingin meminta pengertian dari masyarakat saat saya mengumumkan bahwa saya tidak akan terus menjadi perdana menteri,” kata Hun Sen, pemimpin CPP, melalui siaran khusus stasiun televisi pemerintah pada Rabu, 26 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NEC merilis hasil penghitungan sementara pada Senin, 23 Juli lalu, sehari setelah hari pencoblosan. Menurut Khmer Times, Komisi menyatakan CPP telah mengumpulkan hampir 6,4 juta suara atau 82,3 persen. Adapun Funcinpec, partai politik pimpinan Norodom Chakravuth, cucu mantan perdana menteri Norodom Sihanouk, menduduki posisi kedua dengan 716,4 ribu suara lebih atau 9,22 persen. NEC juga mencatat pemilih yang ikut tahun ini mencapai 8,2 juta lebih atau 84,59 persen pemilih terdaftar. Dengan demikian, CPP dipastikan berhak membentuk pemerintahan baru.
Sebanyak 18 partai ikut serta dalam pemilihan tahun ini, termasuk CPP. Namun tak satu pun dari 17 partai kecil lain punya dukungan publik yang dapat menjadi pesaing CPP. Satu-satunya yang diperkirakan menjadi oposisi kuat, Partai Cahaya Lilin, didiskualifikasi NEC karena ketidaklengkapan dokumen, yang dinilai kelompok oposisi sebagai upaya Hun Sen mengendalikan secara penuh politik negeri itu.
Menjelang pemilihan, International Federation for Human Rights (FIDH), federasi organisasi nonpemerintah di bidang hak asasi manusia yang berbasis di Prancis, menyatakan hasil pemilihan umum dari “proses yang tak sah” ini sudah dapat diperkirakan. Pemilu ini, menurut mereka, mencerminkan pemilu 2018. Saat itu partai oposisi terkuat, Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP), dibubarkan dan memuluskan jalan Hun Sen untuk menguasai hampir semua kursi parlemen.
Dinna Prapto Raharjo, pengajar hubungan internasional di Universitas Bina Nusantara yang turut memantau pelaksanaan pemilu di Kamboja, melihat pemilihan kali ini berlangsung sesuai dengan aturan negeri itu. “Pada saat kampanye dan pemungutan suara (berlangsung) damai. Ada saksi partai dan organisasi masyarakat. Hasilnya juga diumumkan apa adanya. Jadi secara prosedur terpenuhi,” ucap pendiri wadah pemikiran independen Synergy Policies itu pada Rabu, 26 Juli lalu.
Sebagai anggota pengurus Centrist Asia Pacific Democrats International (CAPDI), Dinna turut memantau pemilu Kamboja. Ada 22 anggota CAPDI yang berangkat ke sana atas undangan NEC.
Menurut Dinna, spektrum demokrasi itu luas, dari yang kuat dalam pemenuhan prosedur hingga yang kuat dalam program pembangunan atau yang menekankan pelembagaan hak asasi manusia atau keteraturan tata kelola pemerintahan. “Kamboja ada di spektrum yang mengutamakan penguatan prosedur pemilu, seperti Thailand, Singapura, dan Cina,” ujarnya. “Negara-negara jenis ini punya kondisi internal dan geopolitik yang khas, yang membuat mereka merasa sangat rentan jika tidak mengendalikan prosedur kontestasi politik.”
Dalam perspektif tersebut, Dinna menilai pemilu Kamboja berjalan baik. “Ini relatif lebih baik daripada pemilu Thailand, yang sudah jelas pemenangnya siapa tapi sampai hari ini tidak bisa disahkan; atau Myanmar, yang ada pemenangnya tapi rusuh berkepanjangan.”
Beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, menilai pemilu ini tidak bebas dan tidak adil. Amerika menghentikan beberapa program bantuan di Kamboja dan memberlakukan larangan visa kepada sejumlah individu yang dinilai merusak demokrasi di sana. Dalam pernyataannya, juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika, Matthew Miller, meminta Kamboja memulihkan demokrasi multipartai yang sejati, mengakhiri pengadilan bermotif politik, mencabut hukuman terhadap para pengkritik pemerintah, dan mengizinkan media independen beroperasi tanpa campur tangan negara.
Uni Eropa menilai pemilu ini membatasi ruang politik dan sipil serta oposisi, masyarakat sipil, dan media tidak dapat berfungsi secara efektif. “Kami menyesalkan bahwa pemilihan ini mengecualikan sektor-sektor penting oposisi, karena hukuman pidana terhadap para pemimpin politik dan diskualifikasi partai oposisi utama, Partai Cahaya Lilin, yang tidak diizinkan mendaftar untuk ikut serta dalam pemungutan suara,” kata Nabila Massrali, Juru Bicara Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, dalam pernyataannya.
Hun Sen, yang pada 5 Agustus nanti berusia 71 tahun, telah menyatakan akan mundur dan menyerahkan kekuasaannya kepada Hun Manet sejak setahun lalu. Phay Siphan, juru bicara pemerintah, mengatakan belum ada jadwal pasti untuk suksesi dan pemerintahan baru memerlukan persetujuan Raja Kamboja dulu. Namun, “Saya memperkirakan transisi ini berjalan lancar,” tuturnya kepada Bloomberg News.
Kemenangan besar dalam pemilu akan memuluskan suksesi Hun Sen, yang menghadapi berbagai tuduhan korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia. Dinna Prapto Raharjo tak melihat motif tuduhan pelanggaran hak asasi sebagai alasan transisi kekuasaan melalui pemilu. “Dia lebih peduli terhadap masalah stabilitas pembangunan di Kamboja, jangan sampai Kamboja jatuh ke tangan asing. Dia bermanuver macam-macam untuk menyeimbangkan kehadiran investasi dan bantuan Cina, Rusia, dan Jepang di negerinya,” ujarnya.
Letnan Jenderal Hun Manet sudah lama disiapkan Hun Sen untuk menjadi penggantinya. Manet lahir pada 1977 dan mengalami masa kekuasaan Khmer Merah yang berdarah. Pada usia 18 tahun, dia dikirim ke West Point—sebutan bagi Akademi Militer Amerika Serikat—dan lulus pada 1999. Dia kemudian meraih gelar master dan doktor filsafat di bidang ekonomi di New York University, Amerika, dan University of Bristol, Inggris. Manet sempat menjalani magang di Bank Dunia, kesempatan baginya untuk mempelajari cara meningkatkan kesejahteraan rakyat Kamboja.
Hun Manet menyapa pendukungnya di Phnom Penh, Kamboja, 21 Juli 2023. Reuters/Cindy Liu
Pada mulanya Hun Sen melarang anak-anaknya terjun ke politik. Namun sikapnya berubah setelah mereka menamatkan perguruan tinggi. Pada pemilu 2008, CPP menang besar. Hun Sen mulai mendorong anak-anaknya masuk ke lingkaran kekuasaan. Manet diangkat sebagai wakil komando pasukan khusus pengawal Hun Sen pada September 2010, yang digambarkan Bangkok Post sebagai langkah pertama sebagai penerus ayahnya. Putra bungsunya, Hun Mani, maju sebagai kandidat CPP pada pemilu 2013 dan hingga kini menjadi anggota parlemen.
Hun Sen juga menunjuk putrinya, Hun Mana, sebagai asistennya pada September 2008. Penunjukan ini menuai kritik. Namun Khieu Kanharith, juru bicara pemerintah saat itu, beralasan bahwa Mana adalah pemimpin stasiun televisi lokal Bayon TV dan akan membantu Hun Sen dalam menulis “berita yang benar”.
Anak kedua Hun Sen, Letnan Jenderal Hun Manith, pada mulanya menjadi wakil deputi di kabinet. Kini Manith menjabat Kepala Departemen Intelijen Kementerian Pertahanan.
Namun, di antara anak-anak Hun Sen yang lain, Hun Manet-lah yang dianggap paling cemerlang. Hun Sen juga beberapa kali menyebut Manet sebagai penggantinya. Dalam pemilu kali ini, Manet untuk pertama kalinya terjun ke politik dengan maju sebagai calon anggota parlemen dari CPP untuk Phnom Penh, ibu kota negeri itu. Dia terpilih dan akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat selama lima tahun.
Dinna Prapto Raharjo menilai Hun Manet punya posisi kuat untuk memimpin Kamboja, tapi ia tetap akan berada di bawah bayang-bayang Hun Sen. “Hun Manet sejauh ini didukung kuat oleh CPP. Dia juga figur yang dihormati para petinggi militer dan dipuji keluwesannya dalam berpolitik oleh kolega-koleganya,” katanya. “Namun belum tahu seberapa lama ini akan bertahan. Tapi, selama Hun Sen masih hidup, (keadaan) masih baik-baik saja.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Suksesi di Trah Hun"