Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Harga pangan kian tinggi di tengah ancaman El Niño dan konflik Rusia-Ukraina.
India menghentikan pasokan beras demi kepentingan domestik.
Kenaikan harga beras dan gandum akan diikuti komoditas pangan lain.
MELONJAKNYA harga bahan makanan kembali mengancam ekonomi dunia yang masih rapuh. Iklim yang kacau akibat efek pemanasan global bisa menurunkan tingkat produksi pangan di seluruh dunia. Juli yang baru lewat sepertinya akan tercatat sebagai bulan terpanas di planet bumi sepanjang sejarah. Selain itu, perang yang belum jelas ujungnya karena invasi Rusia ke Ukraina kembali menambah persoalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua pekan lalu, Rusia menghentikan Black Sea Grain Initiative yang memungkinkan Ukraina mengekspor gandum tanpa ancaman serangan militer Rusia. Inisiatif itu sebetulnya berjalan cukup efektif. Selama 11 bulan inisiatif berlangsung, sekitar 30 juta ton gandum Ukraina bisa masuk ke pasar dunia sehingga harga gandum relatif stabil kendati perang masih berkecamuk. Pekan lalu, setelah Rusia mengebom silo-silo dan pelabuhan ekspor gandum Ukraina, harga gandum di pasar global langsung melesat 11 persen dalam tempo lima hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenaikan harga pangan sepertinya tak akan berhenti sampai di sini. Harga berbagai bahan pangan pokok umumnya bergerak naik-turun seirama. Harga jagung, misalnya, langsung ikut melonjak 9 persen dalam kurun waktu yang sama. Berikutnya, harga beras juga berpotensi melompat.
Gejolak harga beras bakal terjadi bukan hanya akibat perang. Ada kebijakan pemerintah India yang berpotensi menambah daya dorong lonjakan harga beras dunia dalam bulan-bulan mendatang. Pekan lalu, pemerintah India memutuskan penghentian ekspor beras, kecuali beras premium basmati yang pasarnya relatif lebih terbatas untuk kelas menengah-atas. Larangan ekspor menjadi pilihan India untuk menjamin pasokan beras domestik. Hal ini juga merupakan antisipasi terhadap datangnya kekeringan abnormal akibat fenomena El Niño.
Volume produksi beras terancam merosot dan otomatis harga merambat naik. Setahun terakhir, harga beras di pasar domestik India sudah naik hingga 11,5 persen. India adalah pemasok 40 persen ekspor beras global, terbesar di dunia. Maka, jika pasokan dari India pampat, sudah pasti harga beras di pasar dunia melejit.
Ini merupakan kabar buruk bagi Indonesia yang masih harus bergantung pada beras impor untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Selain dari India, Indonesia kerap mendatangkan beras dari Thailand dan Vietnam, yang menghadapi ancaman serupa: turunnya jumlah produksi beras jika fenomena El Niño tahun ini benar-benar terjadi di seluruh dunia.
Perkiraan analis, ketersediaan beras di pasar global pada akhir tahun ini akan turun ke titik terendah dalam enam tahun terakhir, menjadi 170 juta ton. Kenaikan harga beras, gandum, dan jagung tentu berdampak pada harga pangan secara umum. Salah satu jalur rambatannya: kenaikan harga gandum dan jagung mengerek harga pakan ternak, yang pada gilirannya bakal menarik pula harga sumber protein, dari telur hingga daging ayam dan sapi. Harga tahu dan tempe pun bisa ikut terdongkrak karena harga kedelai di pasar dunia biasanya juga tak bisa lepas dari rentetan gejolak komoditas harga pangan lain.
Hingga Juni 2023, tingkat inflasi di Indonesia memang cenderung menurun. Angka inflasi tahunan turun menjadi 3,52 persen ketimbang 4 persen pada bulan sebelumnya. Namun tampak kecenderungan angka inflasi kelompok bahan makanan bertahan relatif tinggi. Secara year-to-date, Januari-Juni 2023, tingkat inflasi bahan makanan masih sebesar 3,17 persen, tertinggi di antara kelompok barang lain.
Situasi akan menjadi makin sulit jika kenaikan harga bahan pangan datang bersamaan dengan kekurangan pasokan beras karena penurunan tingkat produksi di dalam negeri. Sedangkan pasokan impor belum tentu tersedia karena ketatnya pasar beras global.
Lonjakan harga bahan pangan plus kelangkaan pasokan beras merupakan kombinasi berbahaya. Ini semua berpotensi terjadi di tahun politik. Ketika suhu politik makin hangat dan persaingan di antara partai politik ataupun calon presiden makin ketat, mudah membelokkan masalah pangan menjadi pemicu keresahan sosial. Ibarat sekam kering kerontang, sepercik bunga api sudah cukup untuk membakarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bahaya Kenaikan Harga Pangan"