Surat itu ditulis dengan darah. Di atas kertas putih, goresannya yang telah mengental berubah warna menjadi marun tua. "Kami bersumpah untuk setia kepada tanah suci Irak dan menentang setan-setan Barat. Allahu akbar," begitu ditulis 50 kepala kelompok muslim Shiite di selatan Irak. Shiite adalah aliran muslim mayoritas di Irak. Posisinya yang menghadap langsung ke Teluk Persia membuatnya menjadi sekutu terpenting Saddam Hussein untuk membendung pendaratan pasukan aliansi. Surat itu ditulis untuk menepis keraguan Saddam bahwa Shiite akan memberontak lagi seperti yang terjadi usai Perang Teluk tahun 1991.
Tapi Ayatullah Muhammad Bakir Hakim, Ketua Majelis Agung Penyelesaian Sengketa Islam di Irak—ini kelompok oposisi Irak yang berbasis di Iran—punya pendapat lain. Meskipun katanya popularitas Saddam naik di dalam negeri, keadaan sudah berubah dalam 10 tahun terakhir. Menurut Hakim, sekarang banyak kelompok di Irak melihat Saddam sebagai kriminal. Artinya? Pemberontakan dalam negeri masih bisa menjadi senjata mematikan untuk menggulingkan Saddam lewat kelompok Kurdi. Menempati kawasan utara Irak, Kurdi—selama ini berjuang untuk melepaskan diri dari Irak—dikenal sebagai pendukung pasukan aliansi.
Jika skenario menjatuhkan Saddam sebagai kriminal ini tidak berhasil, Amerika dan sekutunya di Timur Tengah sudah punya skenario kedua: kudeta para pangeran. Saddam punya banyak jenderal dalam angkatan perangnya. Memakai mereka untuk menusuk dari belakang—kalau berhasil—akan amat efektif untuk mengurangi pertumpahan darah para serdadu. Dan putra mahkota Kerajaan Arab Saudi, Pangeran Abdullah, tampil sebagai pelobi untuk skenario kedua itu.
Akhir Desember lalu, beberapa pejabat penting Arab Saudi menemui Qusay, anak Saddam di Baghdad. Qusay diminta membujuk ayah beserta keluarganya agar segera meninggalkan negeri itu. Keluarga Kerajaan Saudi juga menjamin adanya pengampunan kepada keluarga besar Saddam.
Menurut pandangan Pangeran Abdullah, lobi-lobinya yang mengabaikan opsi perang tidak bisa dilepaskan dari suara mayoritas negara Arab: mereka menentang serangan Amerika ke Irak. Tambahan lagi, bagaimana seandainya Tim Inspeksi Senjata PBB menyatakan Irak memproduksi senjata pemusnah massal? Jika benar demikian, Irak harus diselamatkan dengan jalan memundurkan Saddam. Skenario itu hingga pekan lalu tak ada kabarnya. Saddam bahkan muncul di televisi bersama semua jenderal perangnya sembari menyatakan kesiapannya menghadapi Amerika.
Terhadap usulan putra mahkota Arab Saudi itu, Menteri Pertahanan Amerika Donald Rumsfeld mengaku menyetujuinya. "Tawaran yang cukup adil untuk menghindari perang," tuturnya. Menteri Luar Negeri Colin Powell dan Penasihat Keamanan Presiden Bush, Condoleezza Rice, juga menyatakan tertarik dengan opsi itu.
Lantas, bagaimana kabarnya segala taktik perang yang disusun Amerika? Tetap akan dijalankan, bahkan kemungkinan perang kian besar. Rummy—begitu panggilan Rumsfeld—sudah menggertak Irak. Hampir segala detail persiapan perang Amerika dibeberkan ke media massa—ini memang semacam perang psikologis. Sekitar 150.000-an tentara sudah nongkrong di Teluk Persia. Jumlah itu berbeda dengan hitungan Jenderal Tommy Frank, Kepala Angkatan Perak AS di Teluk. Frank memperkirakan perlu 250 ribu tentara. Tapi Rummy punya alasan sendiri dengan angka yang ia sodorkan, yakni prajurit Irak dia anggap telah melemah sejak Perang Teluk pada tahun 1991. Dan serangan udara, menurut hitungannya, cukup 14 hari saja—bandingkan dengan Perang Teluk, yang 39 hari.
Rupanya, Rummy punya senjata udara baru yang sebelumnya amat dirahasiakan, yakni gelombang mikro bertegangan tinggi (high power microwave atau HPMs). Inilah senjata listrik berkekuatan 2 miliar watt atau lebih yang diletakkan di dalam rudal jarak jauh. Begitu meledak, listriknya akan menyala terang seperti kilat dan mematikan semua perangkat elektronik dalam radius 300 meter, merusak memori dan sasis utama komputer, termasuk telepon, dan televisi. Ledakannya bahkan bisa membuat pingsan dan beberapa saat merusak ingatan.
Senin pekan ini laporan Tim Inspeksi Senjata PBB, yang dipimpin Hans Blix, akan diluncurkan. Tak peduli apa pun hasil tim ini, seperti diungkapkan Powell lewat siaran televisi CNN, Amerika tetap akan menyerang, bahkan kalaupun harus berperang sendiri.
I G.G. Maha Adi (New York Times, Time, www.infowar.com)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini