Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Senapan Mesin untuk Si Buyung

Puluhan ribu anak-anak di Irak dipaksa ikut pelatihan militer. Ini bagian dari persiapan menghadapi serangan Amerika.

26 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK-ANAK berusia belasan tahun itu berjajar dalam posisi tiarap. Di tangan mereka terkokang senapan mesin AK-47 yang siap membidik sasaran tembak di kejauhan. Bagi anak-anak Indonesia, pemandangan ini mungkin hanya bisa dilihat di film laga. Tapi di Irak, pada hari-hari ini, jangan mencoba bercanda dengan senapan atau pistol yang digenggam para bocah setempat. Sangat mungkin yang ada dalam kepalan mereka adalah senjata mematikan. Ancaman perang Amerika Serikat membuat anak-anak Irak harus menghadapi "permainan mematikan" sejak usia dini. Pada musim panas silam, alih-alih berlibur, mereka justru berolah senjata. Presiden Saddam Hussein dan para pembantu militernya merekrut anak-anak tersebut untuk mengikuti pelatihan militer selama tiga minggu. Tujuannya, mereka sudah siap bertempur jika AS atau negara lain menyerang sewaktu-waktu. "Sungguh menyenangkan dilatih untuk membela keluarga dan bangsa saya," ujar Sinan Abid Salman. Remaja berumur 15 tahun ini ikut pelatihan militer pada musim panas 2002. Para bocah ini bukan cuma diajari untuk menembak, tapi juga untuk bersikap militan dalam membela pemimpin dan negara mereka. "Di tangan Presiden Saddam, kami adalah pedang tajam untuk melawan musuh." Jangan kaget, kata-kata itu meluncur dari mulut Mustafa Amir, yang baru berumur 14 tahun. Alhasil, Amerika dan sekutunya tidak hanya akan dihadang oleh tentara profesional, tapi juga oleh bocah-bocah bau kencur yang dikatrol untuk memegang senjata. Tentara anak-anak bukanlah hal baru di Irak. Hukum internasional melarang anak-anak di bawah 18 tahun ikut organisasi bersenjata atau dilibatkan dalam kekerasan politik. Namun, di Irak, bocah-bocah di bawah 18 tahun tersebut telah digunakan dalam berbagai perang. Misalnya dalam Perang Teluk 12 tahun lalu dan dalam perang melawan Iran pada 1980-an. Sejak 1970-an, Partai Baath—yang mendukung Saddam—membentuk Gerakan Futuwah alias Pemuda Garis Depan. Inilah organisasi paramiliter pertama di sekolah-sekolah menengah pertama Irak. Melalui Gerakan Futuwah, anak-anak berusia 12 tahun mendapatkan pelatihan militer dan politik. Mereka turut menyumbangkan tenaga dalam perang melawan Iran. Toh, usainya pertikaian dengan Iran tidak menghentikan tekanan bagi anak-anak Irak. Sejak 1990-an, pemerintah Irak selalu menggelar perkemahan musim panas. Ironisnya, ini bukan acara senang-senang. Di sana, anak-anak mendapatkan pelatihan militer dan indoktrinasi politik. Para ahli perang Amerika memperkirakan puluhan ribu anak Irak telah mendapat pelatihan kemiliteran di berbagai kamp pelatihan di seluruh negeri. Di kamp Raad dan Al-Anfal diperkirakan ada 23 ribu anak yang mendapat pelatihan. Sementara itu, Ashbal Saddam (Saddam Lions Cubs), yang dibentuk setelah Perang Teluk, melatih sekitar 8.000 anak. Para peserta program ini berusia 10-15 tahun. Setelah menuntaskan pelatihan di Ashbal Saddam, mereka akan mendapatkan pendidikan lebih lanjut dalam Fidayin Saddam (Syuhada untuk Saddam). Program ini dipimpin sendiri oleh salah satu putra Presiden, yakni Uday Saddam. Dalam hal garis komando, unit militer anak-anak tidak terkait hierarki dengan militer Irak. Tentara anak-anak langsung ditempatkan di bawah payung istana kepresidenan. Tugas mereka beragam. Para anggota Fidayin Saddam, misalnya, melakukan patroli dan memata-matai warga. Lamanya pelatihan adalah 14 jam sehari selama tiga minggu berturut-turut. Sedangkan materi pelatihan meliputi bela diri tangan kosong dan menggunakan pistol, senapan, dan granat. Mereka juga diajari taktik infanteri. Majalah Irak, Alef-Ba, juga menyebutkan anak-anak ini mendapat pendidikan agama dan indoktrinasi politik Partai Baath. Laporan hak asasi manusia dari Departemen Luar Negeri Amerika menyebutkan, keluarga yang menolak memasukkan anaknya ke pelatihan militer diancam tidak mendapatkan kartu jatah makanan. Ini sungguh ancaman amat mengerikan karena rakyat Irak amat bergantung pada kartu tersebut. Sanksi ekonomi yang dipikul Irak selama ini menyebabkan rakyat tak bisa mendapat makanan dan obat-obatan dengan leluasa. Anak-anak atau remaja yang menolak masuk Fidayin tidak akan lulus dari sekolahnya. Tekanan-tekanan ini kian meningkat di ambang perang dengan Amerika. Dan anak-anak malang itu cuma punya dua pilihan: mati di tangan Bush atau tewas di tangan Saddam. Purwani Diyah Prabandari (The Independent, BBC, CDI)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus