Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Aroma Minyak dan Kalkulasi Blix

Anggota Dewan Keamanan PBB pecah. Semata-mata karena pro dan kontra soal perang atau kepentingan negara mereka masing-masing?

26 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hans Blix ibarat "bintang pertunjukan" yang dinanti penggemar tatkala Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan brief-ing bagi para wartawan pada Kamis pekan silam. Muncul dengan wajah penuh senyum, Ketua Tim Inspeksi Senjata PBB untuk Irak (UNMOVIC) ini mencoba meyakinkan hadirin yang mengikuti briefing tersebut bahwa dia akan memberikan laporan yang terkini, tokcer, dan tidak bertele-tele di depan Dewan Keamanan PBB pada hari Senin ini. Toh, Blix tidak bersedia memberi "bocoran" awal apa pun?yang membuat para wartawan kian penasaran. Sejatinya bukan para wartawan saja yang mengharapkan agar Blix membuka mulut selebar-lebarnya. Dunia internasional juga menunggu-nunggu apa yang dia sampaikan ke tuan-tuan anggota Dewan Keamanan PBB di New York. Senin ini adalah puncak dari penantian selama berpekan-pekan. Sementara itu, atmosfer perang semakin mendidih di mana-mana, seakan bisa menggesek kulit. Di layar televisi, berita tentang pengiriman kapal-kapal induk AS, persiapan logistik perang, dan pemberangkatan pasukan yang ditayangkan di layar kaca, mendekatkan hawa pertarungan ke berbagai penjuru dunia. Bahkan para ahli teknologi informasi yang akan mengolah laporan perang setiap menit sudah meluncur ke arah Teluk. Demonstrasi anti-perang dan anti-AS juga mendidih di berbagai belahan dunia, termasuk di Amerika dan Inggris?dua negara yang paling berkeras menghajar Irak. Dan reaksi yang amat kompleks juga terjadi di dalam tubuh Dewan Keamanan, lembaga yang punya hak untuk melegitimasi serangan ke Irak. Perpecahan akhirya melanda tubuh dewan tersebut. Pada Rabu pekan silam, Cina dan Rusia dengan tegas menyatakan bergabung ke kubu Prancis dan Jerman untuk menolak aksi militer ke Irak. "Rakyat kami bisa mengandalkan pemerintah Jerman dan Prancis dalam memelihara perdamaian dunia," Kanselir Gerhard Schroder menegaskan. Dan di jalanan Berlin, rakyat bersorak mengelu-elukan keberanian Shcroder mempersetankan desakan AS. Pemerintah Rusia dan Cina mengeluarkan pernyataan senada. Adapun Prancis lebih galak. Anggota tetap Dewan Keamanan ini?AS, Inggris, Rusia, dan Cina?sudah siap mengetuk palu veto bila Dewan menyetujui penyerangan. Pertanyaannya, seberapa besar pengaruh rekomendasi Blix jika yang dia usulkan adalah perang. Dari Inggris Perdana Menteri Tony Blair sudah sesumbar: Dewan Keamanan silakan bilang apa saja, tapi perang akan tetap digelar. Jika perang benar pecah, apakah Prancis, Rusia, dan Cina tampil sebagai pihak yang lebih bermoral karena menentangnya?bahkan hingga ke meja Dewan Keamanan? Begini, urusannya tidak sesederhana itu. Menurut Thomas W. Murphy, analis politik internasional, yang penting ditelisik adalah kepentingan nasional masing-masing di balik keputusan tersebut. Juga mesti dipilah, jika api perang berkobar di Teluk, negara mana yang diuntungkan. Lantas, bila perang batal, negara mana yang menang. Dalam hal Irak, dukungan dan tentangan negara-negara Barat sulit dilepaskan dari faktor minyak. Irak memiliki kandungan minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi, dengan cadangan mencapai 112 miliar barel atau 10,8 persen dari total cadangan minyak dunia. Minyak Irak lebih menggiurkan lebih karena kualitasnya termasuk yang terbaik, sementara biaya eksplorasinya termurah di dunia. Dengan asumsi harga minyak US$ 30 (setara dengan Rp 270 ribu) per barel, Irak, yang punya potensi produksi minyak 160 miliar-200 miliar barel, sama artinya dengan kekayaan senilai US$ 4,8 triliun hingga 6 triliun. Masih dalam urusan minyak, Irak sudah bertahun-tahun sibuk berperang (Iran-Irak dan Perang Teluk). Percampuran bisnisnya dengan dunia internasional juga minim karena Irak memikul beban embargo PBB selepas Perang Teluk pada 1991. Tapi ini memberi nilai positif bagi minyak Irak: tambang uang itu masih sedikit dieksplorasi oleh pihak luar. Dengan lain kata, siapa pun yang "menguasai" Irak akan mudah mencaplok hak mengeksplorasi emas hitam yang terpendam di bawah padang-padang pasir itu. Hitungan ini boleh jadi tidak benar sepenuhnya. Tapi berikut ada sejumlah fakta yang menarik untuk disimak sehubungan dengan kepentingan negara-negara besar di Dewan Keamanan PBB. Rusia, misalnya, tercatat sebagai negara yang paling diuntungkan dalam program oil-for-food . Program yang berlangsung sejak 1996 itu melarang menjual minyak ke pasar bebas, kecuali untuk ditukar dengan makanan. Nilainya mencapai US$ 4 miliar. Selain itu, Rusia masih punya tagihan utang atas Irak semasa Perang Dingin sebesar US$ 12 miliar. Rusia juga menyabet rezeki nomplok dari kontrak minyak dengan Irak. Pada 1997, Lukoil, perusahaan minyak terbesar di negeri tersebut, mendapat kontrak senilai US$ 4 miliar untuk mengeksplorasi minyak di Qurna Barat. Tentu saja Irak juga tidak mau rugi. Sejalan dengan meningkatnya tekanan terhadap Saddam Hussein?dalam hal inspeksi senjata oleh PBB?Irak tiba-tiba membatalkan kontrak seharga US$ 4 miliar milik Lukoil pada 8 Desember 2002. Sikap keras Irak terhadap Rusia kontan saja membuat kecut Prancis. Kok bisa? Begini ceritanya. Total Fina Elf, perusahaan minyak terbesar Prancis, telah mendapat hak eksklusif untuk mengeksplorasi ladang minyak Majnun dan Bin Umar, yang dipercaya memiliki kandungan terbesar di dunia: 35 miliar barel. Jumlah ini sama dengan tiga kali dari total cadangan minyak Fina. Nah, jika hak ini ditarik Irak seperti yang dilakukan terhadap Lukoil, Fina bakal gigit jari. Maka, perusahaan raksasa itu mati-matian melobi pemerintahnya untuk berjuang di PBB agar penyelesaian masalah Irak dilakukan dengan damai. Fina juga mendesak agar seluruh properti mereka di kilang minyak Majnun dan Bin Umar dapat dilindungi bila benar-benar terjadi serangan. "Permainan" Irak dalam menekan Rusia pun tampaknya memberi hasil. Pada 16 Januari lalu, Departemen Luar Negeri Rusia menyatakan Irak telah bersikap kooperatif dengan tim inspeksi senjata PBB. Padahal, hanya sehari sebelumnya, Blix masih menuliskan angka rapor merah pada Irak. Dalam rapor tersebut, Blix menyatakan bahwa kerja sama Irak dengan tim inspeksi amat kurang. Sikap Rusia yang "manis" itu mendapat balasan. Dan, bingo! Pada 17 Januari 2003?cuma sehari setelah mereka menyatakan bahwa Irak bersikap kooperatif?Lukoil kembali mendapat kontrak di Qurna Barat. Pada hari yang sama, kedua negara bahkan menandatangani tiga kontrak eksplorasi minyak di padang pasir selatan dan barat Irak, yang keseluruhannya bernilai sekitar US$ 40 miliar. Bagaimana dengan AS? Apakah negara besar itu tidak terpikat oleh ladang-ladang minyak yang melimpah itu? Wallahualam. Tapi, jika serangan bisa menumbangkan Saddam, lalu?seperti di Afganistan?jika mereka bisa mengatur seorang pemimpin pro-Barat, urusan minyak tinggal sepelemparan batu lagi. Bahkan Amerika juga berencana mengganti biaya perang (jika terjadi) dengan hasil minyak Irak. Penguasaan atas minyak Irak memang tidak menjadi alasan resmi AS untuk menyerang Irak. Tapi ladang-ladang emas hitam itu jelas merupakan hadiah manis, bila AS berhasil melucuti senjata pemusnah massal Irak dan menumbangkan Saddam. Jarak ke arah minyak itu bisa makin dekat bila melihat Presiden George W. Bush, yang sudah gatal tangan betul untuk membumihanguskan Baghdad. Meminjam istilah Bush, inspeksi senjata ke negeri itu seperti "? film buruk yang diputar ulang. Dan saya tidak ingin menontonnya," ujar Bush. Untuk itu, Gedung Putih dan Pentagon kian memperkukuh koordinasi dengan Inggris pada hari-hari ini. Bush berencana bertemu dengan Perdana Menteri Inggris Tony Blair di Camp David, akhir Januari nanti. Di tempat peristirahatan kepresidenan yang telah menjadi saksi banyak pertemuan rahasia dan penting itu, Bush dan Blair disebut-sebut akan membentuk Dewan Perang. Karena, apa pun hasil yang dipaparkan Blix, AS dan sekutunya diperkirakan akan tetap menyerang pada pertengahan atau akhir Februari mendatang. Singkat cerita, rekomendasi Blix agaknya tidak akan terlalu berarti. Negara yang bisa mempengaruhi proses pembuatan keputusan dalam Dewan Keamanan sudah memiliki "prinsip" masing-masing. Satu hal yang pasti: bila pecah perang, biaya yang harus dibayar para pelakunya akan mahal. Amat mahal. Bahkan bisa lebih mahal dari nilai yang tersimpan di ladang-ladang minyak Irak. Bina Bektiati (BBC, USA in Review, Time, Asia Times Online, The Economist)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus