MAMPUKAH Iran menghadapi Amerika Serikat? Pertanyaan ini
tiba-tiba menjadi relevan setelah AS mencobakan aksi militernya
untuk membebaskan 50 sandera yang disekap mahasiswa militan
selama 6 bulan itu. Gagal memang. Namun AS, menurut Menteri
Pertahanan Harold Brown, tidak menyampingkan kemungkinan aksi
militer berikutnya terhadap Iran. Bahkan Penasihat Keamanan
Nasional Zbigniew Brzezinski mengatakan "kami tidak bisa tinggal
diam dalam keadaan tidak pasti ini."
Setelah gagalnya operasi 'Cahaya Biru' -- yang oleh Presiden
Carter disebut sebagai misi kemanusiaan -- persoalan sandera itu
tampaknya semakin sulit untuk diselesaikan. Apalagi para sandera
itu sudah tidak berada di satu tempat. Dan tidak jelas di mana.
Sedang kaum revolusioner Iran percaya bahwa 'misi kemanusiaan'
Carter itu sebenarnya punya tujuan lain. Bukan sekedar ingin
menyelamatkan sandera.
"Aksi itu adalah bagian dari suatu rencana besar AS untuk
menggulingkan pemerintah revolusioner," kata Presiden Abolhassan
Bani Sadr. Ia juga menunjukkan indikasi bahwa ada orang Iran
terlibat dalam aksi militer itu.
Pertentangan antara kaum Fedayen dan Mujahidin yang semakin
keras akhir-akhir ini, menurut Bani Sadr, juga bagian dari
skenario Carter. Paling tidak Iran akan mudah untuk menjadikan
AS sebagai kambing hitam dari setiap kerusuhan yang timbul.
Mungkin juga ada benarnya bahwa unsur infiltran bisa ikut
memanaskan situasi. Toh New York Times pekan lalu memberitakan
bahwa sejumlah anggota pasukan komando AS telah memasuki Iran
dengan menyamar sebagai pengusaha Eropa sebelum berlangsungnya
operasi militer itu.
Suatu clash di udara hampir saja terjadi di sekitar Teluk Oman.
Pars melaporkan bahwa pesawat F-14 AS telah menembaki pesawat
patroli Iran (28 April). Tapi karena datang bantuan dari 4
pesawat jet Iran, suatu pertempuran darat dihindari.
JURUBICARA Departemen Pertahanan AS membantah berita Pars itu.
Menurut versi AS, pesawat C-13 Iran semakin mendekati Selat
Hormu -- tempat berpangkalnya kapal USS Nimitz, ketika 2 pesawat
jet F-14 diterbangkan untuk berjaga-jaga. Keduanya langsung
menggiring pesawat Iran itu untuk kembali ke wilayah udara Iran.
"Tidak ada tembak menembak," kata jurubicara tadi.
Peristiwa ini semakin membakar semangat kaum revolusioner Iran.
Dan membuat mereka semakin percaya bahwa penyerbuan AS ke Iran
hanya tinggal soal waktu. Ayatullah Khomeini secara berulangkali
mengingatkan rakyat Iran untuk siap menghadapi segala
kemungkinan Kepada Pengawal Revolusi, Khomeini sekali lagi
menghimbau agar mereka tidak takut mati. "Jangan takut mati,
karena buat syuhada ada tempatnya yaitu surga," kata sang
ayatullah, pekan lalu.
Kesiapan berkorban sudah nyata sepanjang berlangsungnya revolusi
Iran. Hal ini terlihat juga pekan lalu dalam cara pemerintah
Iran menghadapi peristiwa penyanderaan 20 orang staf
kedutaan-besarnya di London. Lima penyandera keturunan Arab dari
wilayah Khuzistan -- Iran bagian selatan -- menuntut agar 90
orang, teman mereka, yang ditahan pemerintah Iran supaya
dibebaskan. Kalau tidak, para sandera akan dibunuh, kata mereka.
Selama ini orang Arab di wilayah itu menuntut otonomi.
"Bila mereka mati, mereka akan jadi syuhada dan akan dikuburkan
secara terhormat," kata Presiden Abolhassan Bani Sadr. Iran
menyerahkan sepenuhnya pada tanggungjawab pemerintah Inggris
untuk menyelesaikannya. Menlu Sadeq Ghotbzadeh bahkan
mengatakan bahwa Iran tidak akan tunduk kepada tuntutan para
penyandera itu. "Tapi bila pemerintah Inggris menyatakan tidak
sanggup mengatasinya, kami akan menangani sendiri persoalan
itu," ujarnya.
Sikap Iran itu tampak berbeda sekali dengan cara AS untuk
membebaskan sandera di Teheran. Iran tidak menghimbau negara
lain untuk ikut terlibat dalam menyelesaikannya. Namun para
penyandera di London itu adalah kelompok teroris. Sementara
nasib sandera Amerika di Teheran sepenuhnya berada di tangan
Ayatullah Khomeini, tokoh utama Revolusi Islam Iran.
Duta-besar Iran di PBB, Mansour Farhang, dalam sebuah wawancara
teve di New York mengatakan bahwa penyanderaan di Teheran itu
melawan hukum tapi bisa dipahami. la menyayangkan bahwa AS tidak
pernah bisa mengakui kenyataan yang timbul sejak revolusi Iran
sampai sekarang. "Dalam konteks sejarah, menerima kehadiran Syah
di A.S jelas merupakan tindakan politik," ujarnya. Ketika AS
mendukung kudeta di Iran tahun 1953 dan kudeta di Chili tahun
1974, katanya, pada hakekatnya AS juga melawan hukum.
Memang ada semacam kesulitan buat orang luar dalam mencoba
memahami revolusi Iran itu. Apalagi adanya kesan bahwa Bani Sadr
hampir tidak berdaya dalam menghadapi kaum mahasiswa militan
yang melakukan penyanderaan itu. Usaha Bani Sadr
menyelesaikannya sejak semula begitu memberi harapan buat AS.
Tapi ia selalu terbentur pada kekuasaan yang ada pada Khomeini.
"Kami sedang dalam proses revolusi, tepatnya dalam situasi
revolusi. Jangan anda harapkan adanya suatu pemerintahan yang
stabil," kata Farhang.
Iran menghadapi suatu negara super power juga dalam suasana yang
tidak berkepastian. Apalagi pertentangan antara sesama kaum
revolusioner masih terus berlangsung. Paling tidak Khomeini
sendiri juga menyadari bahwa masih ada kekuatan yang akan
membelokkan revolusi Iran itu. "Kalian harus membasmi mereka,"
ujarnya pada Pengawal Revolusi .
Tampak Iran tak gentar dalam menghadapi ancaman AS berikutnya.
Menlu Sadeq Ghotbzadeh di Beirut pekan lalu mengatakan bahwa
Iran akan memasang ranjau di Selat Hormuz. Ranjau itu akan
diledakkannya bila terjadi serangan AS sekali lagi. Ini tentu
saja akan menghancurkan seluruh lalu lintas minyak dari negara
Teluk Persia. "Jangan lupa bahwa kami hanya sendirian dalam
menanggung beban konfrontasi ini," ujar Ghotbzadeh. "Kami siap
untuk meledakkan wilayah Teluk Persia ini."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini