KEGAGALAN operasi Blue Light (Cahaya Biru) sekaligus membuka
tabir pertentangan yang selama ini tersembunyi dalam kubu
Presiden Jimmy Carter. Dalam surat permintaan berhenti (21
April) -- 4 hari sebelum operasi itu dilaksanakan, Menlu Cyrus
Vance mengatakan bahwa ia tidak bisa mendukung rencana gerakan
militer yang akan dijalankan Carter di Iran. Dan tindakan Vance
ini semakin memperjelas kenapa pihak sekutu AS kebingungan
melihat politik luar negeri AS selama ini.
Cyrus Vance, 63 tahun, bekas pengacara di Wall Street, New
York, dikenal sebagai tokoh yang rendah hati dan agak pemalu. Ia
biasa dipanggil Cy.
Presiden Johnson pada tahun l964 menunjuk Vance sebagai
utusannya untuk membicarakan masalah Terusan Panama setelah
terjadi kerusuhan di situ. Sejak itu karir diplomatiknya
menonjol. Kemudian semasa perang saudara berlangsung di Republik
Dominika tahun 1965, ia juga diutus ke sana. Begitu pula ketika
terjadi sengketa antara Turki dan Junani mengenai Cyprus, Vance
sekali lagi membawa misi AS.
Tapi selama mengikuti keterlibatan AS di Vietnam dia berpikir
apakah akan meneruskan karir diplomatiknya. Karena kekecewaannya
yang begitu dalam, ia mengundurkan diri, Juni 1967. Namun
Johnson menunjuknya lagi sebagai utusan dalam perundingan
masalah Vietnam di Paris.
Tahun 1969, Vance akhirnya kembali ke pekerjaannya semula
sebagai pengacara. Ia rupanya lebih suka terlibat dalam masalah
domestik ketimbang mencampuri lagi urusan Vietnam yang pada
waktu itu banyak dikritik masyarakat Amerika.
Vance kembali ke dunia diplomasi ketika Presiden Carter tahun
1977 menunjuknya sebagai Menteri Luar Negeri. Secara kebetulan
ia adalah anggota Trilateral Commission. Lembaga ini didirikan
tahun 1973 dan dibiayai oleh David Rockefeller, tokoh perbankan
dari Chase Manhattan, untuk mendiskusikan masalah hubungan
internasional. Para anggotanya adalah tokoh ternama dalam bisnis
multinational corporation dan politisi terkemuka dari Amerika
Utara, Eropa Barat dan Jepang. Termasuk Jimmy Carter, Wolter
Mondale, Zbigniew Brzezinski dan Harold Brown. Salah satu
anggotanya dari Jepang adalah Masayoshi Ohira, sekarang Perdana
Menteri.
Memang ketika Vance ditunjuk sebagai Menlu, Brzezinski menjadi
penasihat keamanan nasional dan Brown sebagai Menteri Pertahanan
dalam pemerintahan Carter, ada banyak sorotan ke arah
perkomplotan Trilateral ini. Namun dalam perjalanannya suatu
pertentangan rupanya tidak bisa dihindari. Dan inilah yang
kemudian membayangi kesan bahwa politik luar negeri AS berjalan
zig-zag yang membingungkan sekutu.
Pertentangan secara diam-diam ini sebenarnya berlangsung antara
Vance dan Brzezinski. Secara terang-terangan Brzezinski pernah
mengemukakan ambisinya untuk menempati kedudukan Vance. Bahkan
ia pernah mengatakan State Departement (Deplu) mencoba mengklaim
suatu hasil dari kebijaksanaan yang bukan dibuat Vance dengan
cara membocorkannya melalui pers.
Tapi Vance rupanya lebih suka diam terhadap segala macam siasat
Brzezinski ini. Cuma pada perkembangan kemudian antara Deplu AS
dan Gedung Putih, Istana Presiden dan tempat Brzezinski juga
berkantor, timbul semacam perbedaan. Misalnya, ketika rezim Syah
Iran sedang guncang (tahun 1978) Carter mengirim Jenderal Robert
E. Huyser ke Teheran. Brzezinski menginginkan agar Huyser
menunjukkan dukungan terhadap Syah. Dan agar mendesak Syah
mengambil tindakan tegas terhadap kaum perusuh.
Dari Deplu, Vance menginginkan yang lain. Dia justru mendesak
Huyser membuat kontak dengan kalangan oposisi untuk
mempersiapkan jalan bila Syah terguling. Sedang Carter, menurut
suatu studi tentang misi Huyser oleh New York Times memilih
posisi tengah. Semua ini berakhir dengan AS kehilangan Syah dan
tidak mendapat kepercayaan dari mereka yang menggulingkannya.
Zbigniew Brzezinski lahir di Warsawa, Polandia, tahun 192. Anak
seorang penjahit yang berimigran ke AS, ia baru tahun 1949
menerima kewarganegaraan AS. Sebagai seorang ahli tentang Rusia,
doktor tamatan Universitas Harvard ini dikenal menganut garis
keras yang dogmatik. Bahkan sempat Brzezinski membiarkan dirinya
dipotret ketika meninjau Khyber Pass, dekat perbatasan
Pakistan-Afghanistan. Sikapnya itu membingungkan sekutu AS.
Berbeda Paham
Brzezinski cukup gesit dalam memasukkan pengaruhnya di Gedung
Putih. Sebagai penasihat keamanan nasional, setiap pagi ia
memberikan brifing tentang situasi internasional kepada Presiden
Carter. Sebaliknya, Carter menggariskan bahwa satu-satunya juru
bicara pemerintah mengenai masalah internasional adalah Vance.
Brzezinski masih cukup berani menguji keputusan Carter itu.
Pada musim gugur 1978, Brzezinski secara dramatis menyatakan
bahwa keterlibatan Soviet dalam konflik di Tanduk Afrika telah
melanggar aturan peredaan ketegangan. Hal ini sempat membuat
Carter berang. Sekali lagi ia mengingatkan bahwa hanya Vance
yang jadi juru bicara pemerintah dalam soal internasional. Namun
baik kalangan Gedung Putih maupun Deplu mengakui bahwa secara
perlahan-lahan Brzezinski berhasil mengurangi kekuasaan Vance.
Ketika Carter akan mengumumkan sanksi ekonomi terhadap Iran (7
April), Vance masih berhasil meyakinkan presiden itu agar
menunda disertakannya larangan pengiriman bahan makanan dan
obat-obatan. Tapi Vance sudah hampir terpencil dari Gedung
Putih. Terutama akibat pertarungan Gedung Putih dengan Deplu
mengenai masalah politik luar negeri. Dari kacamata Deplu, ini
adalah pertarungan antara politik dalam negeri dan diplomasi.
Sementara Gedung Putih melihatnya dari perspektif salah dan
benar atau menang dan kalah.
Politisi AS dan kaum diplomat sangat berbeda paham dalam
melihat masalah politik luar negeri. Leslie H. Gelb, bekas
Direktur Biro Urusan Politik-Militer, Deplu AS, menulis di New
York Times "politisi tampaknya s,elalu menuntut hasil sekarang."
Soalnya, seorang pemimpin politik kadang-kadang akan menemui
suatu krisis yang tak terduga, sedang ia percaya bahwa tidak ada
alternatifnya. Untuk itu ia menciptakan krisis buatan guna
memperoleh hasil cepat. Sedang kaum diplomat, yang sudah
terlatih berpikir jangka panjang, tidak segan untuk melakukan
negosiasi dengan lawan.
Mungkin inilah sebabnya mengapa Carter memutuskan untuk
melaksanakan operasi 'Cahaya Biru'. Ia terlalu tertekan oleh
poll pendapat umum yang secara terus menerus menginginkan
pembebasan para sandera. Buat presiden yang sedang bersiap untuk
dipilih kembali, pendapat umum merupakan sandaran utama
ketimbang saran para diplomat. Sebab itu pula kalangan pengamat
melihat bahwa pengunduran Vance bukan semata-mata karena adanya
perbedaan pendapat dengan Brzezinski. Tapi juga Vance berbeda
pendapat dengan Carter sendiri.
"Saya tahu betapa dalamnya anda mempertimbangkan keputusan
tentang Iran. Saya ingin sekali bisa mendukung anda dalam hal
itu. Tetapi karena alasanalasan yang sudah kita bicarakan, saya
tak dapat," kata Vance dalam surat pengunduran dirinya kepada
Carter.
Sekarang beban yang sama akan dihadapi Menlu Edmund Sixtus
Muskie, 66 tahun. Pekan lalu ia diangkat Carter sebagai
pengganti Vance. Seperti Brzezinski, ia juga kelahiran Polandia.
Dalam karirnya selama 22 tahun di Senat, Muskie cukup banyak
terlibat dalam masalah hubungan internasional. Walaupun tidak
berhasil, ia pernah berusaha menolak kenaikan yang besar bagi
anggaran belana pertahanan.
Dulu dikenal sebagai tokoh anti perang Vietnam, Muskie
dibayangkan akan bisa melunakkan kelompok berhaluan keras yang
mengitari Carter. Tapi kenalannya mengatakan bahwa ia lebih
pragmatis dan kurang berideologi ketimbang Vance. Dan Brzezinski
memuji pilihan Carter ini sebagai yang istimewa, karena mungkin
-- seperti kalangan pengamat melihatnya -- Muskie bukanlah
imbangan yang sepadan untuk melawan pengaruh Brzezinski.
Kebetulan Muskie kurang dekat dengan presiden dan belum akrab
dengan masalah yang sekarang ini dihadapi Carter.
Yang jelas begitu diangkat jadi Menlu, Muskie langsung berucap.
"Tanpa ada kesangsian lagi, presiden telah meyakinkan saya bahwa
saya adalah juru bicara politik luar negeri."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini