Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Suu kyi, di antara chai ling dan...

Calon kuat penerima hadiah nobel perdamaian : chai ling,25, tokoh demonstrasi tiananmen presiden ceko-slovakia vaclav havel,55, dan aung san suu kyi, tokoh oposisi burma.

19 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suu Kyi, di Antara Chai Ling dan Havel Inilah hadiah Nobel yang paling diramaikan: Nobel Perdamaian. Komite pemilih menerima 40 peti berisi petisi pendukung seorang calon pemenang. Senin pekan ini diumumkan pemenangnya. SIAPA pun pemenang Nobel Perdamaian tahun ini, ia telah melewati penyeleksian yang panjang. Komite Hadiah Nobel Perdamaian menominasi 80 tokoh dan 20 organisasi. Termasuk sejumlah tokoh yang telah beberapa kali masuk nominasi tapi belum beruntung terpilih, antara lain pejuang antiapartheid Nelson Mandela dari Afrika Selatan dan Paus Yohanes Paulus II, pemimpin umat Katolik sedunia. Menjelang diumumkan Senin pekan ini, tinggal tiga orang yang didiskusikan oleh Komite. Ketiganya adalah tokoh yang dalam dua tahun terakhir menjadi berita dunia. Pertama, Chai Ling, tokoh mahasiswa Beijing yang terlibat demonstrasi Tiananmen 1989. Kedua, Presiden Vaclav Havel, yang kini memimpin Ceko-Slovakia tanpa komunisme. Ketiga, Aung San Suu Kyi, anak kedua pahlawan Burma Jenderal Aung San, pemimpin partai oposisi Burma Liga Nasional Demokrasi, yang kini menjalani tahanan rumah di Yangoon (Rangoon), ibu kota Myanmar (Burma). Banyak kisah di balik proses pemilihan pemenang. Misalnya, pendukung seorang kandidat mengirimkan 40 peti berisi petisi dengan puluhan ribu tanda tangan, dan biodata, serta laporan keberhasilan sang calon. Banyak juga yang berupaya melobi kelima anggota Komite Nobel Perdamaian. Kata Geir Lundestad, ketua Institut Nobel di Oslo, semua lobi itu hanya buang-buang waktu karena tak akan mempengaruhi anggota komite. Tak sedikit pula yang salah paham, dan melobi orang-orang di kedutaan besar Norwegia di sejumlah negara. Banyak yang tak mau tahu, atau memang tidak tahu, bahwa komite Nobel Perdamaian yang dipilih oleh parlemen Norwegia bebas dari campur tangan pemerintah Norwegia. Berbeda dengan hadiah Nobel untuk bidang kedokteran, kimia, fisika, ekonomi dan kesusastraan, pemenang Nobel perdamaian bukan hanya individu, melainkan juga organisasi yang dianggap berjasa untuk kepentingan kemanusian. Sejak hadiah Nobel pertama dibagikan, 1901, sudah banyak organisasi yang jadi pemenang hadiah perdamaian. Di antaranya Palang Merah Internasional (dua kali, pada 1944 dan 1963), UNICEF (Badan Anak-Anak dan Kebudayaan PBB, 1965), ILO (Organisasi Buruh Internasional, 1969), dan Amnesti Internasional (1977). Hadiah Nobel Perdamaian tak lepas dari protes. Tahun lalu komite pemilihan Nobel Perdamaian menerima ribuan surat protes, setelah diumumkan pemenangnya, yakni Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev. Namun, itu belum mengalahkan protes paling pedas, terbanyak, dan paling pahit, yang diterima Komite Nobel Perdamaian. Ini terjadi pada 1978, ketika yang terpilih sebagai pemenang adalah Perdana Menteri Israel Menachem Begin dan Presiden Mesir Anwar Sadat. Yang paling berjalan mulus, tanpa protes, bahkan disambut hangat oleh hampir semua orang, adalah saat Bunda Teresa, pejuang kemanusiaan dari India, mendapat hadiah perdamaian itu pada 1979. Penerima hadiah Nobel perdamaian tahun ini kabarnya bakal menerima uang enam juta crown Swedia atau sekitar US$ 1 juta, atau hampir Rp 2 milyar. Tiap tahun jumlah uang yang diberikan berbeda-beda, tergantung pemasukan lembaga yang mengatur hadiah Nobel. Selain menerima uang, pemenang mendapatkan medali emas dan diploma. Adapun Chai Ling, 25 tahun, tahun ini termasuk calon kuat antara lain karena berhasil mengabadikan peristiwa demonstrasi mahasiswa Beijing pro-demokrasi, 3 dan 4 Juni 1989 di Tienanmen, yang diberondong tembakan dan diserbu tank Tentara Pembebasan Rakyat Cina. Rekaman video yang dibuat Chai Ling lolos diselundupkan ke luar negeri dan disiarkan secara khusus oleh jaringan televisi Hong Kong sehingga puluhan, bahkan ratusan juta, pemirsa di seluruh dunia dapat menyaksikan demonstrasi yang dilindas tentara dengan kejam itu. Pemerintah Beijing sempat menempatkan Chiang Ling di urutan paling atas dalam daftar kaum "kontrarevolusioner". Chai Ling, setelah demonstrasi konon bersembunyi di Kedutaan Besar Australia di Beijing. Hampir setahun kemudian, melalui saluran-saluran bawah tanah, ia selamat menyeberang ke Hong Kong, kemudian terbang ke Paris. Kini ia dan suaminya menetap di AS. Vaclav Havel sudah beberapa kali dinominasikan untuk hadiah Nobel Perdamaian. Bekas pembangkang terkemuka Ceko-Slovakia ini terpilih menjadi presiden Desember 1989. Sebelumnya ia dikenal sebagai penyair, penulis drama, dan eseis yang andal. Havel, 55 tahun, bolak-balik masuk penjara rezim komunis negaranya. Karyanya yang paling kondang adalah Vyrozumeni (Memorandum), sebuah drama parodi Stalinisasi dan de-Stalinisasi. Ketika pasukan Soviet menyerbu Ceko-Slovakia, 1968, Havel melancarkan perlawanan bawah tanah. Komite Nobel Kesusastraan tak meliriknya. Komite Nobel Perdamaianlah yang membicarakannya. Mungkin karena Havel dianggap contoh pembangkang yang berhasil menduduki jabatan puncak dengan cara damai. Yang paling dijagokan koran Norwegia Dagbladet adalah Aung San Suu Kyi. Sejak dua tahun lalu tokoh oposisi Burma ini dikenai tahanan rumah oleh rezim militer yang berkuasa. Sebagai tokoh oposisi yang populer di kalangan rakyat, ia memang sangat ditakuti penguasa Yangoon. Selama dikenai tahanan rumah, ia dilarang bertemu dan berkomunikasi dengan siapa pun, termasuk dengan suami dan dua anaknya. Bagi Suu Kyi, hadiah US$ 1 juta tentulah sangat berarti. Ia belum lama ini dikabarkan terpaksa menjual piano kesayangannya untuk menyambung hidup. Suu Kyi baru dua tahun ketika ayahnya dibunuh. Ia lebih banyak berada di luar negeri, ikut ibunya yang menjadi duta besar. Di Universitas Oxford ia menemukan jodohnya Michael Aris, pakar masalah Tibet warga Inggris. Mereka kemudian menetap di Inggris. Aung San Suu Kyi tersedot ke dalam kemelut negerinya secara tak disengaja. Pada 1988, ia bersama anak dan suaminya berada di Yangoon sekadar untuk menengok ibunya yang sakit keras. Ketika itulah meledak demonstrasi mahasiswa, dan rakyat minta demokrasi. Pihak militer membubarkan aksi ini dengan kekerasan. Puluhan orang tewas, dan ratusan mahasiswa kabur ke Muangthai. Suu Kyi tersentuh, dan memutuskan ikut berjuang di antara rakyat. Ia tak ikut balik ke Inggris bersama anak dan suaminya. "Semula saya tidak berniat melibatkan diri dalam pergolakan mahasiswa itu, tapi saya tak tahan melihat ketidakadilan," kata Suu Kyi, ketika ditemui TEMPO, Juni 1989, sebelum dikenai tahanan rumah. Suu Kyi mendirikan Partai Liga Nasional Demokrasi, dan segera wanita bertubuh mungil beserta partainya mendapat simpati rakyat. Pada Pemilu 1989, partainya menang. Tapi bukan kekuasaan yang diserahkan padanya oleh rezim militer, melainkan perintah menjalani tahanan rumah. Sejauh ini kabarnya Suu Kyi diperlakukan dengan baik karena pemerintah Burma sadar "Dunia memperhatikan nasib Suu Kyi." Pernah suatu saat Suu Kyi mengeluh sakit gigi, dan langsung dibawa ke dokter, tetapi itu dilakukan di malam hari, agar tidak menarik perhatian orang. Ada juga yang mengatakan bahwa Suu Kyi kini sudah dalam keadaan parah, terserang depresi. Itu karena ia tak boleh ditemui anak dan suaminya. Pelipur hati satu-satunya, yakni piano, sudah dijualnya. Akankah rezim militer Burma berubah sikap seandainya Suu Kyi memenangkan Nobel Perdamaian? "Ia tidak akan mendapat perlakuan istimewa," kata U Nyut Swe, Duta Besar Burma di Bangkok. Menurut Nyut Swe, sebenarnya Suu Kyi dibolehkan meninggalkan Burma untuk bergabung dengan keluarganya, tapi ia menolak. Ia pun boleh tinggal di Burma asalkan berjanji tak akan terlibat lagi dalam politik. Suu Kyi pun menolak. Maka, ia ditahan. Sikap keras pemerintah Burma sudah dibuktikan. Ketika Juli silam Suu Kyi terpilih sebagai pemenang hadiah Shakarov, yang diberikan parlemen Masyarakat Eropa, tak ada perubahan nasib bagi Suu Kyi. Bahkan, mungkin kabar itu pun tak disampaikan kepadanya. Hadiah itu diterima oleh suami Suu Kyi dan dua anaknya Alexander 18 tahun dan Kim 14 tahun. Masalahnya, karena banyak diprotes, termasuk pilihan pada Mikhail Gorbachev tahun lalu, kini Komite Perdamaian sangat hati-hati memilih tokoh aktivis politik, tulis Reuters yang mengutip pendapat seorang anggota Komite. Dan dalam sejarah Nobel Perdamaian, beberapa kali nama pemenang memang benar-benar tak terduga. Bisa tokoh, bisa lembaga, misalnya PBB. Farida Sendjaja (Jakarta) & Yuli Ismartono (Bangkok)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus