Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Gila sepeda, berjuta harganya

Olah raga sepeda mulai banyak penggemarnya. para eksekutif asyik bersepeda untuk pergelaran gengsi dan gaya, selain untuk memeras keringat. ada sepeda berlapis emas 18 karat.

19 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga sepeda mulai banyak penggemarnya. Para eksekutif asyik bersepeda untuk pergelaran gengsi dan gaya, selain untuk memeras keringat. Ada sepeda berlapis emas 18 karat. "MALAM itu saya tidur dengan sepeda," kata Johnnie Hermanto, mengenang saat-saat ketika ia untuk pertama kali jatuh hati pada sepeda. Peristiwanya terjadi bertahun-tahun yang lalu, semasa ia di SMP dan kakinya mengalami cedera -- patah. Untuk memperkuat kaki yang patah inilah, sang ayah membelikan Johnnie sepeda baru. Ia begitu gembira hingga sepeda disemayamkan langsung di kamar tidurnya. Sekarang Johnnie sudah menjadi Presiden Direktur PT Panutan Selaras, tapi kecintaannya pada sepeda tak kurang-kurang. Dalam koleksinya, ada delapan sepeda dan semuanya impor. Harganya jangan ditanya, pasti mahal. Koleksi Johnnie terbaru dan paling dibanggakannya adalah sebuah MTB (mountain bike) merek Litespeed, buatan Amerika Serikat. Sepeda ini kerangkanya terbuat dari bahan titanium (jenis logam yang dipakai antara lain untuk NASA, badan penerbangan dan antariksa Amerika Serikat). Kendati harga sepeda tersebut tak kurang dari Rp 15 juta, Johnnie tanpa pikir panjang membelinya di sebuah toko di Menteng, Jakarta. "Kalau sudah senang, soal harga tidak jadi masalah," kata Johnnie. "Lagi pula, kalau mobilnya sudah Mercedes atau BMW, masa sepedanya Rp 2 jutaan. Kan nggak pantas?" Di rumah Johnnie sendiri ada empat Mercedes, satu BMW, dan sebuah Volvo. Setiap Minggu pagi, Johnnie, 38 tahun, mengayuh sepeda kesayangannya ke Monas, didampingi istri dan anak-anaknya. Satu Mercedes station wagon membuntuti mereka. Kata Johnnie, mobil itu untuk mengangkut anak-anaknya pulang ke rumah jika hari sudah agak siang. Dia khawatir akan lalu lintas Jakarta yang belum bersih dari pengendara mobil yang katanya senang serudak-seruduk. Tapi, "Inilah nikmatnya bersepeda, karena bisa saya lakukan bersama istri dan anak-anak. Kalau golf dan tenis, kan tidak bisa," begitu alasannya. Di Monas, Johnnie, ayah enam anak, bisa bergabung dengan teman-temannya sesama eksekutif. Maklum, bersepeda sudah pula menjadi olahraga kegemaran para eksekutif, sekaligus dimanfaatkan untuk bergaya sambil meluaskan pergaulan. "Barangkali suatu saat nanti bersepeda bisa seperti golf, menjadi sarana untuk lobi," kata Johnnie. Harapan Johnnie agaknya tidak berlebihan. Tanda-tanda ke arah itu bisa terlihat nyata dari perilaku para eksekutif yang mendadak tergila-gila pada sepeda. Bahkan, ada yang nekat membeli sepeda mahal, untuk penampilan yang prima. Tak heran bila Kanjeng Gusti Pangeran Ario Mangkoenagoro IX menyimpulkan, "Sepeda bukan lagi olahraga murah." Keturunan Mangkunegaran ini termasuk pelopor olahraga bersepeda di wilayahnya. Di sana ada sekitar 7.000 orang penggemar olahraga sepeda, termasuk Sinuhun Paku Buwono XII, sejumlah tokoh pemerintahan, sampai pengusaha Santosa dan Danarsih, suami-istri pemilik perusahaan batik Danarhadi. Tampaknya, kecintaan pada sepeda mahal dan eksklusif bahkan sudah menjadi kebutuhan rohani. Pada ulang tahun Ikatan Pecinta Sepeda Jakarta (IPSJ), tengah Agustus silam, seorang pengendara dikerumuni sejawatnya karena ia mengendarai sepeda canggih model terbaru yang sangat eksklusif. Mereknya Cannondale, buatan AS. Sadel dan poroknya (pengapit roda) dilengkapi peredam getaran. Dan, "Lihat dong nomor serinya, 79 dari 117," kata sang pemilik Didi Suwanda, eksekutif dari Dow Chemical. Berarti, di seantero jagat hanya ada 117 unit Cannondale. Yang dikendarai Didi itu buatan ke-79 Harganya? Kalau sudah terpasang lengkap, tak kurang dari US$ 6.000. Harga yang begitu tinggi tak menghambat orang kaya Jakarta untuk mengoleksi lebih dari satu sepeda mahal. Perry H. Josohadisoerjo, 39 tahun, yang sehari-hari memimpin PT Sarana Pembina Buana, baru saja memperkaya koleksinya dengan satu sepeda buatan Italia. "Sejak dulu saya memang punya obsesi untuk memiliki sepeda termahal di dunia," katanya. Kisahnya bermula pada majalah Bicycle (edisi Februari 1991) yang memberitakan bahwa sepeda termahal di dunia saat ini adalah Colnago C35. Tanpa buang waktu, Perry langsung membelinya, melalui seorang rekannya pemilik toko sepeda di Bandung. Pesanan disampaikan melalui facsimile dan sepeda datang lewat kargo pesawat udara. Harganya Rp 25 juta. Sepeda itu dibuat untuk memperingati ulang tahun pabrik sepeda Colnago di Italia. Dan dibuat secara terbatas, hanya 70 buah. Yang dimiliki Perry buatan ke-49. Desain Colnago C35 dibuat oleh Ferrari. Kerangka dan rodanya (yang berjeruji lima buah) terbuat dari serat karbon. Ban dibuat dari kevlar, bahan yang dipakai untuk jaket tahan peluru. Komponen lainnya menggunakan bahan merek Compagnolo, yang terkenal mahal. Istimewanya lagi, beberapa bagian dari komponen itu dilapis emas 18 karat. Sejak tujuh tahun silam, Perry sudah memiliki sepeda seharga Rp 7 juta. Ketika model MTB keluar, ia pun langsung membelinya kendati harganya Rp 3 juta. Sekarang, Perry memiliki enam unit sepeda, tiga tipe balap, tiga lainnya jenis MTB. Keenam sepeda itu ia pakai bergantian bersama istrinya, yang belakangan mulai mencintai kendaraan roda dua ini. Dalam hal perawatan, Perry turun tangan sendiri. "Saya tidak percaya pada orang lain untuk merawat sepeda mahal seperti ini," katanya. Perry punya jadwal tetap, sebulan sekali bepergian jauh mencoba sepeda-sepedanya di daerah baru, termasuk offroad di kebun teh Gunung Mas, Puncak. Pernah juga ia berangkat dari Serang menuju Carita, melalui jalan-jalan desa. Selain itu, seminggu sekali ia pergi ke Monas. Biasanya bersama istri. "Anak-anak saya kelihatannya kurang menyukai kegiatan ini," ujarnya datar. Ia mengkritik para penggemar sepeda mahal yang sengaja mengenakan pakaian khusus terbuat dari bahan licra (bahan sintetis yang bagian dalamnya bisa menyerap keringat), tapi kegiatan bersepedanya hanya keliling Monas. "Kan sayang kalau sepeda-sepeda itu hanya dipakai untuk mutar-mutar di sekitar monumen itu," ujarnya menyindir. Bagi Perry, memakai busana licra hanya untuk bersepeda di sekitar Monas dianggap mubazir. Soalnya, pakaian tersebut berfungsi mengurangi terpaan angin, sementara warna-warninya yang mencolok dimaksudkan sebagai sinyal bagi pengendara mobil di jalan luar kota. Tapi siapa yang tak mau gaya seperti peserta Tour de Java. Baju seharga Rp 45.000 sampai Rp 200.000 per potong itu ternyata laris. "Paling laris justru yang Rp 200.000-an," tutur Taufik Mochtar, pengelola Speedy Bike, sebuah toko sepeda khusus di kawasan Pondok Indah, Jakarta. Di sini dapat ditemukan berbagai perlengkapan sepeda yang sangat eksklusif. Speedy Bike dimiliki bersama oleh sepuluh orang eksekutif muda penggemar sepeda, di antaranya Judo Sugomo (Direktur Operasi PT Kresna Duta Usaha), Eddie Gunadi (Direktur Utama Tjipta Niaga), Sofian Pulungan (Direktur Bimantara Graha Insurance), Fazil Djamaloeddin (Direktur Eksekutif Riptikon), dan Bambang U. Sastromoeljo (Managing Direcfor Pacific Century Services). Karena sangat eksklusif itu, dalam seminggu setelah dibuka (18 Agustus lalu), Speedy Bike sudah menjual sembilan sepeda. Yang termurah berharga Rp 2,7 juta (Simoncini dari Italia). Toko itu memang menjual merek top dan bergengsi, seperti Colnago, Kestler, Merlin, dan Look. Belum lagi baju, celana, dan sarung tangan serta aksesori lainnya. Kabarnya, sekali datang, seseorang bisa langsung membeli pakaian khusus tersebut tiga sampai delapan setel sekaligus. Alat pemindah persneling model baru yang letaknya menyatu dengan kemudi setang) sudah langsung habis diserbu pembeli. Penampilan memang penting. Lihatlah Tommy R. Arief, 42 tahun, yang dua tahun ini sudah tak mau lepas dari sepeda. Sales Manager PT Nusa Perkasa Permai ini (pemasok suku cadang tangker) mengatakan, "Kalau seminggu saja tak bersepeda, rasanya badan kurang enak." Ia punya enam set pakaian khusus berikut lima pasang sarung tangan yang disesuaikan dengan warna pakaian. "Saya pakai bergantian. Warna pakaian bersepeda kan mencolok. Kalau pakai yang itu-itu juga, gampang ketahuan," kata Tommy. Johnnie Hermanto mengakui, "Bersepeda itu, selain ada unsur olahraganya, juga ada fashion-nya." Bagi penggemar olahraga ini, busana untuk bersepeda tak ubahnya pakaian untuk ke pesta. "Masa, kita ke pesta mengenakan baju yang sama terus," ujar Johnnie bergurau. Dialah salah seorang pengendara sepeda yang datang ke Speedy Bike dan membeli delapan set pakaian khusus, sekadar menambah koleksinya. Mohamad Cholid, Bambang Sujatmoko, dan Kastoyo Ramelan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus