Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima belas hakim itu meriung dalam sebuah ruang di Gedung Mahkamah Internasional, Den Haag. Mereka harus mengambil keputusan menyangkut ihwal pagar raksasa yang kini membelah Palestina-Israel—dan melahirkan kontroversi tak berkeputusan. Aktivis pro-Palestina menyebutnya sebagai pagar apartheid. Pemerintah Israel dan semua penyokongnya menyebutnya pagar pembatas. Dan ini bukan perseteruan setahun-dua. Ini soal lama yang membikin Israel-Palestina baku hantam sampai ke Mahkamah Internasional.
Maka, lima belas hakim di atas yang ketiban sampur untuk membikin keputusan. Palu akhirnya diketukkan pada Jumat dua pekan silam. Isi vonis: pagar yang dibangun Israel melanggar hukum internasional. Karena itu, pembangunannya harus dihentikan. Yang sudah jadi? Harus dibongkar (lihat Poin-Poin dari Den Haag). Selain itu, Israel harus membayar kompensasi kepada rakyat Palestina yang telah menanggung kerugian karena pagar.
Para hakim menyimpulkan, pembangunan sekitar 201 kilometer dari rencana 700 kilometer pagar tersebut telah menyita dan menghancurkan tanah Palestina serta seluruh sumber dayanya. Juga mengacaukan kehidupan ribuan warga sipil dan menganeksasi kawasan pendudukan.
Nun jauh dari Den Haag, Tel Aviv kebakaran jenggot. Menurut Israel, pagar tersebut (detail lihat peta) semata-mata diniatkan untuk melindungi anak-negeri Israel dari serbuan bom-bom Palestina. "Pagar itu telah menyelamatkan ratusan jiwa orang Israel," ujar Menteri Luar Negeri Israel, Silvan Shalom. Maka Tel Aviv pun menggencarkan berbagai upaya diplomasi termasuk membujuk negeri-negeri Eropa.
Putusan Den Haag, tak pelak lagi, kian menambah sakit kepala Sharon. Maklum, pada akhir Juni lalu, Mahkamah Agung Israel untuk pertama kalinya memenangkan petisi rakyat Palestina soal pagar. Mahkamah Agung memerintahkan agar pagar diundurkan sepanjang 30 kilometer di sebelah utara dan barat Yerusalem.
Sehari setelah putusan Den Haag dibacakan, sebuah bom mengguncang Tel Aviv. Seorang tentara perempuan berusia 19 tahun tewas. Sharon langsung naik pitam. "Saya tegaskan bahwa Israel menolak putusan pengadilan. Keputusan tersebut sepihak dan bermotivasi politik," ujarnya. Sharon berjanji menggunakan berbagai cara, dari diplomatik sampai tindakan legal, untuk melawan keputusan Mahkamah Internasional tersebut.
Keputusan Mahkamah Internasional tidak mengenal sistem banding. Tapi hanya menjadi fatwa sekaligus dasar pemungutan suara untuk resolusi di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah itu, bisa diteruskan ke Dewan Keamanan PBB, yang punya otoritas mengeluarkan resolusi dengan sanksi hukum.
Dari Den Haag, "pertempuran" berpindah ke Manhattan, New York. Israel mencoba membujuk negara-negara Eropa agar tak mendukung proposal resolusi yang diajukan Palestina—yang mengadopsi putusan Den Haag. Menurut Deputi Kepala Misi Israel di PBB, Arye Mekel, Israel mulai melakukan serangkaian pembicaraan intensif dengan mitra dari Eropa. Israel berharap agar Uni Eropa yang beranggotakan 25 negara kelak akan abstain dalam pemungutan suara.
Adapun sobat kental Israel, Amerika Serikat, berjanji menghentikan isu ini agar tak lolos dari Dewan Keamanan. Duta besar Israel di Washington, Danny Ayalon, langsung mudik ke Yerusalem untuk berkonsultasi. Palestina tampaknya hanya bisa berjuang sejauh Majelis Umum—yang tidak memiliki wewenang merekomendasikan sanksi. Ayalon mengingatkan akan peristiwa pertemuan darurat Majelis Umum tahun 1982.
Waktu itu Israel memutuskan mencaplok Dataran Tinggi Golan. Majelis merekomendasikan diturunkan hubungan politik dan ekonomi dengan Israel. Tak satu negara pun memperhatikan rekomendasi itu. Hingga sekarang, Dataran Tinggi Golan tetap berada dalam pelukan Israel. Ketika TEMPO berkunjung ke sana beberapa tahun lalu, sebuah laboratorium besar dibangun di sana untuk menampung para ilmuwan yang lari dari Rusia.
Toh Tel Aviv tetap saja tertekan dengan keputusan Den Haag. Pekan lalu, Sharon mengadakan pertemuan darurat. Topiknya, bagaimana menyikapi putusan Mahkamah Agung Israel dan Mahkamah Internasional. Hasilnya? Mereka akan mengabaikan keputusan pengadilan internasional dan hanya melaksanakan vonis Mahkamah Agung Israel.
Maka, para pembuat peta pun sibuk memindahkan rute peta garis apartheid di Tepi Barat. Akhir pekan lalu, mereka mempresentasikan tiga opsi peta yang semuanya mendekati Garis Hijau—ini garis batas sebelum 1967.
Reaksi Palestina sejauh ini membikin Israel agak lega: mereka menunda membawa isu ini ke Majelis Umum (dan kemudian mendesakkannya kepada Dewan Keamanan) seusai pemilu Amerika Serikat.
Apa pun hasil lobi di Manhattan, Israel mungkin perlu mendengar ucapan Menteri Luar Negeri Inggris Jack Straw tentang pagar yang membikin setori itu: "Ketika dua warga Israel terbunuh di Israel dalam beberapa pekan terakhir, 33 orang Palestina juga terbunuh. Mungkin saja mereka teroris. Tapi di antaranya ada enam anak-anak dan penyandang cacat mental."
Purwani Diyah Prabandari (Haaretz, Israeli Insider, BBC)
Poin-Poin dari Den Haag
Berikut sejumlah poin yang ditetapkan Mahkamah Internasional di Den Haag bagi Israel:
- Konstruksi pagar di wilayah pendudukan, termasuk di Yerusalem Timur, bertentangan dengan hukum internasional.
- Israel wajib menghentikan pembangunan dan merobohkan pagar yang telah dibangun.
- Israel harus membayar kompensasi kepada rakyat Palestina yang menjadi korban pagar.
- Semua negara berkewajiban untuk tidak mengakui situasi ilegal akibat pembangunan pagar dan tidak memperpanjang bantuan.
- Mahkamah meminta Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB mempertimbangkan dan mengakhiri pelanggaran norma dan prinsip hukum internasional secara sistematis oleh Israel, terutama hukum kemanusiaan internasional.
- Israel harus memenuhi kewajiban dalam kerangka hukum internasional dan hukum kemanusiaan internasional. Dan harus menjamin kebebasan akses ke kawasan suci yang ada di bawah kontrolnya sejak 1967.
- Mahkamah menekankan kewajiban melindungi jiwa warga sipil Israel dan Palestina dari tindakan ilegal dan unilateral yang dilakukan pada kedua pihak. Israel memiliki hak untuk membela diri namun dalam kerangka hukum internasional.
- Konflik antara Israel dan Palestina bisa diakhiri hanya dengan menerapkan resolusi PBB yang relevan dan Peta Damai.
- Mahkamah menyerukan Israel dan Palestina merundingkan penyelesaian secara damai.
Sumber: Haaretz, Israel Insider
Jalan Menuju Pagar
1995:
Perdana Menteri Yitzhak Rabin memilih Menteri Urusan Keamanan Publik Moshe Shachal sebagai ketua komite pembangunan pagar.
Juli 1997:
Menteri Pertahanan Yitzhak Mordechai berkeberatan pada rencana Yitzhak Rabin dan menyingkirkan soal pagar dari kebijakannya.
Juni 2001:
Ariel Sharon memerintahkan pembentukan tim khusus untuk pembangunan pagar di bawah Dewan Keamanan Nasional.
Juni 2002:
Sharon menyetujui proposal pagar antara Israel dan Tepi Barat.
8 Desember 2003:
Majelis Umum PBB menyetujui dibawanya isu legalitas pagar ke Mahkamah Internasional di Den Haag.
Februari 2004:
Pembangunan pagar untuk sementara dihentikan karena adanya petisi yang diajukan ke Mahkamah Agung oleh penduduk Palestina dan Dewan Perdamaian dan Keamanan.
13 Februari 2004:
Israel memutuskan untuk tidak muncul di Den Haag.
30 Juni 2004:
Mahkamah Agung menolak pagar sepanjang 30 kilometer dari 40 kilometer yang direncanakan di Yerusalem.
9 Juli 2004:
Mahkamah Internasional menyatakan pagar itu ilegal dan harus dibongkar.
Purwani Diyah Prabandari
Sumber: Haaretz, Israel Insider.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo