Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERANJANG penuh wortel, jeruk, kacang bulu, dan cabai merah berjajar mengelilingi Fatma, pedagang sayuran di jalanan Kota Kairo, ibu kota Mesir. Dengan wajah murung, perempuan 48 tahun itu menata ulang dagangannya yang utuh karena tak tersentuh pembeli. Sesekali tangan Fatma menjungkat-jungkitkan timbangan, sekadar mengusir rasa bosan.
"Ayo, beli sayur, saya beri harga murah," ujar Ibu enam anak ini merayu beberapa pejalan kaki yang kebetulan lewat di pinggiran pasar Khan el-Khalili, tempat dia menggelar dagangannya, pekan lalu. Namun, sayang, rayuan itu menguap di udara.
Di seberang Fatma yang sedang berjualan, sebuah taksi terhenti karena kehabisan bensin. Sopirnya, Shaaban Abdel-Hamid, berpeluh penuh gerutu membongkar kap mesin mobilnya, walau sebenarnya ia tahu tidak ada komponen yang benar-benar rusak. "Sampai sore ini saya hanya berputar-putar tanpa penumpang," ujarnya kepada The Daily News Egypt. Pria itu sebelum revolusi Mesir berprofesi sebagai pialang perusahaan perdagangan komoditas.
Setahun lebih sudah gonjang-ganjing revolusi Mesir, yang berpusat di alun-alun Tahrir dan menyebabkan runtuhnya rezim Husni Mubarak, terlewati. Tapi kondisi ekonomi tidak jua membaik, apalagi buat orang seperti Shaaban dan Fatma. Harga barang dan jasa di berbagai kota terus merangkak naik dan membubung. Akibatnya, para pedagang dan penjaja jasa kehilangan keuntungan atau bahkan mata pencarian mereka.
Bayangkan, harga satu kilogram sayuran yang dijual Fatma mencapai 500 pound Mesir atau setara dengan Rp 750 ribu. Nilai itu hampir sepuluh kali lipat dibanding saat sebelum revolusi—padahal kondisi ekonomi ketika itu juga sudah buruk. Sejumlah pengamat ekonomi dan politik Mesir menilai meroketnya harga bahan kebutuhan sehari-hari pertanda perekonomian Mesir di tubir jurang.
Pemerintahan transisi di bawah Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) menyadari benar kondisi darurat tersebut. Dewan, yang pada Mei tahun lalu menolak paket bantuan ekonomi dari Dana Moneter Internasional (IMF) dengan alasan dukungan itu akan mengganggu kedaulatan Mesir, kini berbalik arah. Maret ini rencananya pemerintah transisi bersiap meneken bantuan untuk memulihkan krisis ekonomi. Besarnya US$ 3,2 miliar, atau setara dengan Rp 30 triliun. "Dengan bantuan itu, kami yakin bisa menyelesaikan krisis ekonomi dalam waktu tujuh bulan ke depan," ujar Menteri Keuangan Mumtaz al-Saeed.
Perdana Menteri Kamal el-Ganzouri menetapkan hati menerima IMF setelah delegasi lembaga keuangan dunia itu berkunjung ke Kairo, Januari lalu. Dalam pertemuan, disepakati paket bantuan dengan beberapa syarat yang cukup substansial, antara lain penghapusan berbagai subsidi secara bertahap dan berdamai dengan Israel. Kedua syarat itu sulit karena selama ini perekonomian Mesir banyak dilandasi subsidi yang tidak efisien. Sedangkan para demonstran Mesir yang menggulingkan Mubarak mendeklarasikan Israel sebagai musuh nomor satu mereka.
Tidak banyak waktu yang tersisa. Pemerintahan transisi, yang berakhir masa tugasnya Juni nanti, harus segera memutuskan skenario besar penyelamatan ekonomi Mesir. Apalagi, selama masa tugas, Dewan Tertinggi Militer telah membuat blunder dengan mengubah status 450 ribu pegawai kontrak menjadi tenaga tetap dan menaikkan upah pegawai negeri sebesar 15 persen. "Kebijakan yang diharapkan mendapat simpati publik, tapi gagal dan justru yang menceburkan Mesir ke jurang yang lebih dalam," kata pengamat ekonomi dan politik dari Al-Azhar, Muhammad Akhyar.
Sekarang ini separuh dari 80 juta penduduk Mesir berusia di bawah 24 tahun. Sebanyak 90 persen di antaranya penganggur yang tidak memiliki pengalaman kerja. "Saya resah, bagaimana nasib anak-anak Mesir di masa depan? Mahalnya biaya sekolah dan kebutuhan rumah tangga membuat kami serasa dalam kebangkrutan," kata Shaaban si mantan pialang, yang mengaku kehilangan 70 persen penghasilannya pascarevolusi.
Keresahan rakyat Mesir soal kebangkrutan negeri piramida itu memanaskan debat di ruang parlemen. Ikhwanul Muslimin—salah satu golongan terkuat dalam kancah politik Mesir—lewat Partai Kebebasan dan Keadilan keras mengutuk ketidakbecusan pemerintah di bawah junta militer. Gerakan Islam bentukan Hassan al-Banna itu menuduh para jenderal di kabinet gagal mengatasi keamanan negara dan krisis ekonomi. "Krisis ini menegaskan ketidakbecusan pemerintah," kata salah seorang juru bicara Ikhwan, Mahmud Ghazlans.
Ya, berkat kemenangan dalam pemilihan umum parlemen Januari lalu, kalangan Ikhwanul Muslimin menguasai parlemen Mesir. Mereka menguasai 47 persen atau 235 dari total 498 kursi di parlemen. Posisi ini membuat mereka leluasa mengambil keputusan politik ataupun ekonomi.
Ahad dua pekan lalu, parlemen menetapkan sebuah keputusan penting.
Mereka memutuskan mengakhiri bantuan Amerika Serikat untuk militer yang biasa diterima tentara Mesir setiap tahun sejak 1979 karena menandatangani perjanjian damai dengan Israel. Nilainya US$ 1,6 miliar.
Alasannya, Amerika dianggap tidak menghormati kedaulatan Mesir. Parlemen memulangkan 43 pekerja lembaga swadaya masyarakat dari Negeri Abang Sam yang sebelumnya ditangkap aparat keamanan Mesir karena diduga menyelundupkan bantuan asing.
Tidak sebatas sok bersikap keras terhadap bantuan Amerika Serikat, Ikhwanul Muslimin mengklaim memiliki "cetak biru" pembangunan ekonomi yang lebih mandiri. Januari lalu, di depan anggota parlemen, rencana itu mereka paparkan. "Sesuatu yang tidak dimiliki oleh Perdana Menteri Kamal el-Ganzouri," kata Presiden Partai Kebebasan dan Keadilan Mohamed Morsy.
Ide kemandirian Mesir ini didukung Syekh Al-Azhar, Ahmad al-Tayyib, yang berencana membuat lembaga finansial yang disponsori warga Mesir di luar negeri. Setiap warga Mesir yang bermukim di luar negeri dan mampu harus menyumbang minimal 1.000 pound Mesir atau sekitar Rp 1,5 juta.
Cetak biru yang dimaksud adalah landasan perjuangan Ikhwanul Muslimin dalam pengelolaan negara, yang terangkum dalam empat pilar, yakni , Adalah, Tanmiyah, dan Riyadah—Kebebasan, Keadilan, Pembangunan, dan Kepemimpinan. Menurut Morsy, dari keempat nilai dalam cetak biru perjuangan Ikhwanul, baru kebebasan yang terpenuhi lewat revolusi Tahrir. Masih ada tiga nilai lain yang harus ditempuh para ikhwan untuk membuat Mesir kembali berjaya.
"Kekuatan presiden dan tentara bakal kami batasi sesuai dengan undang-undang," ujar Mohamed Saad al-Katatni, Sekretaris Jenderal Partai Kebebasan dan Keadilan, kepada kantor berita Reuters pekan lalu. Di bawah sistem parlementer, sipil bakal mengambil kendali atas pertahanan, urusan luar negeri, dan sektor keuangan.
Apa artinya? Militer Mesir tak bakal leluasa meraup keuntungan dari berbagai proyek yang menguntungkan seperti selama ini terjadi. Salah satu sumbernya adalah uang keamanan di Terusan Suez senilai US$ 5,2 miliar per tahun.
Pendapatan dari Terusan Suez menjadi penghasil devisa utama bagi Mesir. Rencananya duit dari kanal yang dibuka bagi pelayaran sejak 1869 itulah—selain sektor strategis lainnya, yaitu minyak dan pariwisata—yang bakal digunakan Ikhwanul bersama kekuatan politiknya untuk membenahi kondisi ekonomi Mesir. Untuk jangka pendek, Ikhwanul berencana memanfaatkan bantuan dari negara-negara Islam di Liga Arab jaringan Ikhwanul Muslimin.
Pembenahan ekonomi di Mesir menjadi pertaruhan keberhasilan revolusi Arab. Sebab, turunnya Husni Mubarak sebenarnya juga dipicu oleh memburuknya perekonomian Mesir, selain korupsi yang merajalela.
Negara-negara Barat juga mempertaruhkan kredibilitas dukungan mereka atas proses demokratisasi di Mesir dengan menawarkan bantuan ekonomi. Namun gerak mereka tak leluasa karena Mesir kini dikuasai "musuh" Barat, Ikhwanul Muslimin. Nasib Fatma dan Shaaban terjepit di antaranya.
Sandy Indra Pratama (BBC, Al-Ahram, Al-Jazeera, The Daily News Egypt)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo