Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Manama, di sepanjang jalan menuju Bandar Udara Internasional Bahrain, terpampang aneka foto Raja Abdullah dari Arab Saudi. Dalam berbagai ukuran, beberapa menunjukkan ia sedang melakukan salat.
Kemesraan rezim yang berkuasa di Bahrain dengan raja tetangganya (Arab Saudi) itu memang bukan sesuatu yang disembunyikan sekarang ini. Di pojok-pojok strategis di Kota Manama, bendera hijau Saudi dipajang berpasangan dengan bendera putih-merah Bahrain.
Sudah setahun tentara Arab Saudi yang tergabung dalam pasukan gabungan GCC, kelompok negara-negara Arab dan Teluk, bercokol di negeri berpenduduk 1,2 juta itu. "Untuk membantu Bahrain mengatasi perlawanan kelompok oposisi," begitu pernyataan Komisi Hak Asasi Bahrain (BCHR). Sejak 14 Februari tahun lalu, ratusan aktivis turun ke jalan dan menuntut reformasi politik serta kesetaraan hak bagi kaum mayoritas Syiah.
Seperti gerakan Musim Semi Arab di negara-negara Arab belakangan ini, gerakan reformasi yang berlangsung sejak 14 Februari 2011 itu disokong kaum muda. Mereka menginginkan reformasi politik dan keadilan bagi kaum mayoritas Syiah—jumlahnya meliputi 70 persen penduduk tapi hanya diwakili oleh segelintir orang dalam kabinet Raja Bahrain Hamad bin Isa al-Khalifa, dan tidak memiliki keistimewaan layaknya mayoritas.
Di mata pemerintah di Bahrain, Arab Saudi, dan negara-negara Teluk, gerakan proreformasi di negeri itu tidak muncul sendiri. Bulan lalu Raja Abdullah menuding ada "tangan tak terlihat" yang mengobok-obok situasi di Bahrain dan Jazirah Arab sehingga muncul perlawanan terhadap pemerintah. Tangan tak terlihat adalah istilah yang digunakan negara-negara GCC untuk menuding Iran.
Bahrain dan Arab Saudi dua negara yang saling bergantung. Saudi menggunakan Bahrain untuk menghaluskan minyak yang disedot dari provinsi sebelah timur negeri petrodolar itu. Arab Saudi khawatir tumbangnya monarki Bahrain akan mengganggu ekspor minyak mereka ke negara-negara Barat.
Sedangkan Bahrain membutuhkan Arab Saudi untuk menghadapi para pembangkang. Pengaruh Saudi di Bahrain makin menancap kuat setelah kelompok-kelompok propemerintah Bahrain mendukungnya. Dalam khotbah salat Jumat di Masjid Agung Manama dua pekan silam, pemimpin jemaah propemerintah, Syekh Fareed al-Meftah, meminta para penguasa Teluk bersatu melawan pembangkang dengan Arab Saudi sebagai pelindung utama mereka.
"Perserikatan Teluk adalah mimpi yang telah lama dinantikan. Langkah pertamanya di sini," kata Al-Meftah di masjid kaum Sunni itu. Mereka khawatir jatuhnya dinasti Sunni yang sudah berkuasa selama 200 tahun itu akan membuka jalan bagi Iran untuk menancapkan pengaruhnya. Namun mereka tak dapat membuktikan tuduhannya.
Pejabat advokasi BCHR, John Lubbock, mengatakan Arab Saudi tak mau kaum Syiah memegang kendali politik di Bahrain. "Mereka khawatir itu akan mendorong kaum Syiah di provinsi sebelah timur Arab Saudi menuntut reformasi," ujarnya melalui surat elektronik kepada Tempo dua pekan lalu.
Kerja sama Raja Abdullah dan Raja Hamad bin Isa al-Khalifa semakin kuat dengan keberadaan "orang ketiga": Amerika Serikat. Amerika, yang menempatkan armada kelimanya di negeri itu, membutuhkan sosok Bahrain yang bersahabat dan sama sekali tidak pro-Iran. Armada kelima merupakan pilar utama Pentagon menghadapi Iran.
Kendati catatan Komisi Hak Asasi Bahrain tak memuaskan, tidak ada tanda-tanda Amerika dan sekutunya menarik dukungannya terhadap negara itu. Menurut pakar Bahrain dari Universitas Rutgers, New Jersey, Amerika Serikat, Toby Jones, saat ini Bahrain dapat dipandang sebagai koloni Arab Saudi karena kebijakan keduanya tampak melebur. "Tapi ini lebih dari sekadar penyatuan pikiran. Ini termotivasi oleh ketakutan terhadap Musim Semi Arab," katanya.
Perserikatan negara-negara Teluk dianggap dapat berbuat banyak sepanjang Arab Saudi membantu Bahrain. Bahkan, untuk mendorong ekonomi Bahrain setahun terakhir, pengusaha yang juga keponakan Raja Abdullah, Pangeran Alwaleed bin Talal, memilih Manama sebagai markas stasiun televisi berita 24 jam, Alarab.
"Para penguasa Bahrain selalu bergantung pada kemurahan hati Arab Saudi. Itu semua bagian dari cerita lebih luas, yakni rivalitas Arab Saudi dan Iran sebagai penguasa regional," kata analis masalah Teluk di Washington Institute for Near East Policy, Simon Henderson.
Namun kaum Syiah khawatir keberadaan pasukan GCC akan membuat posisi Arab Saudi makin kuat. Syekh Ali Salman, pemimpin kelompok politik Syiah terbesar di Bahrain, Al-Wefaq, akan menerima gagasan perserikatan itu dengan syarat rakyat Teluk menyetujuinya. "Bila tujuannya hanya untuk menjadikan Bahrain teritori Arab Saudi, kami menolak. Itu akan menjadi bencana," ujarnya.
Salman mengatakan perlawanan itu merupakan pertanda rakyat tak percaya lagi kepada pemerintah. "Karena pemerintah tak mendengarkan rakyatnya dan menggunakan kekuatan untuk melawan rakyatnya sendiri."
Hingga kini belum ada tanda-tanda pemerintah Bahrain bakal memenuhi tuntutan mereka. Menurut Lubbock, bahkan situasinya makin buruk. "Para pengunjuk rasa dan warga tak berdosa di rumah mereka terus diserang dan dibunuh," katanya.
Nabeel Rajab, Presiden BCHR, yang ikut bergabung dalam pelbagai unjuk rasa di Bahrain, mengisahkan kebrutalan pasukan pemerintah. Mereka juga melakukan pelecehan seksual. Korbannya bukan cuma perempuan, tapi juga lelaki, seperti terjadi padanya saat diculik berjam-jam dengan mata tertutup.
"Mereka menanyai, memukul, dan mengancam saya, sebelum menyentuh alat vital saya hanya karena saya merekam penyerangan dan penyiksaan selama penyelidikan."
Lembaganya mencatat 65 orang terbunuh sejak unjuk rasa merebak setahun lalu. Pasukan pemerintah menangkap dan menahan para aktivis, termasuk pendiri dan bekas Presiden BCHR Abdulhadi Alkhawaja. Lubbock mengatakan para politikus oposisi, seperti Hasan Mushaima dari Al-Wefaq dan Ebrahim Sharif dari partai oposisi liberal Waad, masih meringkuk di tahanan tanpa kejelasan kapan kasusnya diajukan ke meja hijau.
Dia mengatakan protes terus berlangsung setiap malam di desa-desa kaum Syiah. Militer membangun pos-pos pemeriksaan untuk mencegah para pengunjuk rasa itu berkumpul dalam jumlah besar. Namun, kata dia, para pengunjuk rasa bertekad tak akan berhenti melawan sampai pemerintahan direformasi.
Sapto Yunus (AP, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo