Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Topeng yang senyum

Suatu kritikan terhadap sikap manusia dimana lain pikiran lain omongan. setiap kesempatan membutuhkan topeng sesuai dengan kesempatan. demi untuk membenarkan diri, omongan sendiri dipalsukan.

6 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PASIEN harus diperiksa dengan Magnetic Resonance Imaging, suatu pesawat yang mengerikan. Di sebelah pasien ada juru rawat yang berpikir (tersembunyi tanpa didengar pasien), "Kasihan dia, masih muda, dua anak dan sakit kanker, satu bulan lagi dia mati." Itulah yang dipikirkan perawat. Tapi apa yang dikatakannya? "Jangan takut, pemeriksaan cepat selesai, besok engkau di rumah lagi." Betapa besar perbedaan antara omong dan pikir. Dokter dengan lemah lembut memeriksa nyonya gendut yang sangat kaya. "Jangan takut," katanya, "you are in good hands." Tapi dia pikir, "Nyonya gendut yang kaya itu ialah celengan, kadang-kadang harus dikocok supaya duit keluar." Betapa bagus omongan dari pegawai negeri yang koruptor: sering memakai istilah nusa dan bangsa dan pembangunan dan persatuan. Tapi juga bagi dia, negara ialah celengan, sering dikocok dan banyak duit keluar. Lain pikiran lain omongan. Sang pastor harus lari dari pesta perkawinan menuju penguburan, dari penguburan ke pesta hari ulang tahun. Setiap kesempatan membutuhkan topeng sesuai dengan kesempatan. Begitu juga pejabat. Tapi kasusnya lebih sulit karena dalam dirinya tidak hanya ada diskrepansi antara pikir dan omong, juga omongan sendiri dipalsukan. Foucault berpendapat, masyarakat teratur hanya berjalan lancar di bawah kuasa ketat, dan dalam kuasa itu dipertahankan omongan resmi, yaitu kebohongan pegawai. Lucu, di Indonesia orang sangat bebas omong dan lebih bebas berpikir, asal tidak didengar polisi atau ditulis dalam surat kabar. Soal Tampomas, Dietje, pembunuhan delapan narapidana, sudah diselesaikan tuntas di warung dan kedai kopi, padahal dilemari-eskan dalam kantor menteri. Pak tani mempunyai inteligensi yang aneh. Dalam bahasa Inggris isebut common sense, dalam bahasa Jan Pietersz Coen hal itu disebut boerenverstand. Dalam bahasa Indonesia tidak ada istilah. Dua ahli ketuhanan berselisih berapa gigi terdapat dalam mulut kuda. Lain berdasar logika Aristoteles, lain menurut pikiran Hegel. Si Didi dari sekolah pertanian menyelesaikan persoalan dengan membuka mulut kuda dan menghitung giginya. Dalam kementerian agama orang sibuk menghitung jumlah malaikat yang duduk di ujung jarum, sedang si Didi dari Cipeuyeum bilang di ujung jarum sama sekali tidak ada malaikat. Bangsa Indonesia dibagi dua golongan nasional, satu dengan otak tani dan satu dengan intelegensi intelegensia. Si Ahmad yang baru lulus fakultas psikologi jurusan industri melamar di kantor dan diterima. Hari pertama, sang bos memberi sapu pada sang sarjana, dan menyuruh dia menyapu kantor. "Maaf, Pak " kata si Ahmad, "saya doktorandus dari Fakultas Psikologi Unversitas Mardibuaya Jurusan Industri." Ah, saya lupa," kata bosnya. "Coba, berilah sapu pada saya, aku akan menjelaskan bagaimana harus dipakai." Dan sang bos mengayun-ayunkan sapu dari kiri ke kanan, mendemonstrasikan teknik penyapuan dan pemakaian otak tani. ang sarjana bisa banyak omong tapi tidak bisa berbuat banyak. Seminar, upgrading course, simposium, raker, dan loka karya, itulah ir, tempat ikan paling senang berenang. Pak tani boleh kerja di sawah. Dari pagi sampai malam. Juga waktu puasa. Tapi pak tani tidak gila. Lama-kelamaan dia mulai mengerti bahwa dia tertipu. Waktu dia ngobrol dengan Pak Marhaen di warung kopi, dalam percapakan mulai nyata, yang disebut pembangunan memang aneh. Hutan dihancurkan, flora dan fauna rusak. Yang tidak ditulis dalam surat kabar didengar pak tani: ada yang main judi, dan dalam waktu satu malam diboroskan lebih banyak daripada dapat dikumpulkan si Marhaen dalam satu tahun. Memang dia boleh mengirim surat pada Tromol Pos 5000 Jakarta Pusat 10000, tapi mengapa hal itu perlu kalau ada surat kabar dengan surat pembaca? Aneh, begitulah pemikiran si Didi: kita memilih eksekutif dan apa yang terjadi? Eksekutif mendorong kita lapor kalau unsur eksekutif mencuri duit. Menurut statistik, 80% rakyat Indonesia bekerja di ladang: inteligensi pak tani memang faktor yang penting. Mengapa akibatnya belum kelihatan? Mengapa pembangunan berdasar jerih payah buruh dan tani, sedang hasil mengalir ke Jakarta, dengan tennis lawn, golf course, dan swimming pool. Menurut legenda, Bung Karno pernah bilang, "Kalau saya suruh rakyat makan kerikil, mereka akan makan kerikil." Beliau salah. Sekarang ada Orde Baru. Pak tani tidak usah makan kerikil, dia swasembada pangan. Tapi si Didi yang membuka mulut untuk menyuap nasi nanti pasti ingin membuka mulut untuk membuka isi hati. Dia tidak membutuhkan tromol pos, dia membutuhkan surat kabar dengan redaksi yang tidak setiap kali telepon berbunyi lari ke kakus. Orang yang mempunyai het geonde boerenverstand memang tidak bodoh dan sangat sabar. Tapi dia tidak tolol dan tidak bisa dipermainkan terus-menerus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus