Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tetangga kita, pembunuh kita tetangga kita, pembunuh kita

Wilayah di jalur gaza dan tepi barat sungai yordan yang ditempati orang-orang palestina & israel selalu diliputi ketegangan.mereka selalu dihinggapi rasa saling mencurigai dalam kehidupan sehari-hari.

2 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BESOK hari, tetangga kita mungkin akan jadi pembunuh anak-anak kita. Kalimat itu tak pernah diucapkan sebagai semboyan di Israel kini, tapi hidup sehari-hari mempraktekkannya dengan bengis di sana. Khususnya di Jalur Gaza dan Tepi Barat Sungai Yordan. "Di seluruh Israel kedamaian sulit ditemukan," tulis wartawan Thomas L. Friedman dari The New~ York Times yang beberapa bulan lalu mengunjungi negeri bangsa Yahudi yang terkepung itu. Friedman menyaksikan dari dekat bagaimana ketegangan terjadi di antara penduduk, dan memulai dengan sebuah contoh. Meron Benvenisti, Yahudi yang tinggal di lingkungan permukiman Arab di Yerusalem, adalah orang yang bingung. Beberapa tahun yang lalu, seorang pemuda Arab, tetangga Benvenisti, menanam beberapa potong dinamit di lapangan rumah seorang tetangga Yahudinya. Rencana pengeboman Itu ketahuan. Sang pemuda, Zuhair Qawasmeh, ditahan, kemudian dihukum 18 tahun. Namun, beberapa tahun kemudian ia dilepaskan dalam sebuah pertukaran tawanan antara tentara Israel dan gerilyawan Palestina. Selepas dari penjara, Qawasmeh menikah. Benvenisti, tetangganya yang Yahudi itu, ikut diundang untuk menghadiri perhelatan. "Apa yang harus saya katakan sebenarnya," ujar Benvenisti, "pemuda ini seorang pejuang Palestina yang sangat mungkin tega membunuh anak-anak saya." Dengan singkat, ia sebenarnya musuh. Tapi pada perayaan pernikahan Qawasmeh, Benvenisti akhirnya hadir. Alasannya, "Dia toh tetangga saya," katanya. Cerita itu menggambarkan bagaimana hubungan antarmanusia telah sedemikian terancam jika menyangkut dua kaum yang kini harus hidup di satu tempat yang sama-sama mereka klaim sebagai tanah air mereka. Sejarahnya memang cukup lama, dan cukup pedih. Sebelum tahun 1948, sengketa Arab-Israel adalah ketegangan antar kelompok masyarakat dl bawah pemerintahan penjajahan Inggris. Antara tahun 1948 dan 1967, ketika Yordania masih mengontrol Tepi Barat, dan Mesir masih meng~sasai Jalur Gaza, ketegangan itu menjadi konflik politik: Negara Israel dikepung negara-negara Arab. Sejak Israel menduduki Jalur Gaza dan Tepi Barat pada Perang 6 Hari di tahun 1967, sengketa Arab-lsrael berkembang jadi ketegangan antartetangga yang tak putus-putusnya, dan dengan korban yang menyedihkan di kedua pihak. Konfrontasi terjadi setiap hari, karena garis pembatas yang memisahkan permukiman kaum Palestina dan Yahudi tak ada lagi. Sebelumnya, kedua kelompok masyarakat itu masih bisa menikmati waktu-waktu tenang di permukiman, jauh dari medan perang. Tapi kini perang bukan lagi pertempuran antarsatuan militer. Seperti ditulis oleh Friedman, "Prajurit dalam perang ini adalah mahasiswa, pedagang, dan ibu rumah tangga." Harian The Jerusalem Post hampir setiap hari memasang iklan pelayanan masyarakat mengingatkan medan perang terbuka itu. "Kecurigaan Bisa Menyelamatkan Nyawa: Berhati-hatilah pada semua obyek yang mencurigakan." Peringatan ini bukan lelucon atau propaganda. Di Yerusalem, sebuah bungkusan yang tertinggal di tepi jalan bisa membunuh atau melukai. Suatu pemandangan biasa bila satuan penjinak bom angkatan bersenjata Israel mengutip sebuah dompet dengan hati-hati dari tong sampah - dan benar dompet itu berisi bom. Malah pernah ditemukan bom di tempat-tempat yang paling tak diduga: sebuah jaket yang tertinggal di halte bis, kotak telur yang tergantung pada sebuah sepeda yang diparkir dl tepi Jalan. Kecemasan bukan cuma milik masyarakat Yahudi. Keyakinan "berani karena benar" akan percuma saja bagi penduduk Palestina di Israel. Mona, misalnya, seorang pengacara muda Palestina, suatu ketika pergi menonton konser di sebuah gedung teater di Yerusalem bersama kawan-kawan Yahudinya. Tiba-tiba pertunjukan dihentikan karena polisi curiga ada bom ditanam di gedung itu. Mona cemas. "Apa yang saya pikirkan pertama-tama adalah jangan-jangan saya satu-satunya orang Palestina di gedung itu," ujar Mona. "Ketika itu saya takut sekali, karena pasti sayalah yang akan dicurigai. Seorang wartawan Palestina bercerita lain lagi. "Hati saya selalu berdebar-debar bila berkendaraan melalui permukiman Yahudi," ujar Daud Kuttab, wartawan itu. "Kalau-kalau ban mobil saya pecah." Dalam keadaan itu, Kuttab tak akan mendapat pertolongan dari siapa pun. Yang ditemuinya malah mungkin ketegangan yang melibat pasukan keamanan yang mungkin saja melepaskan tembakan bila ketegangan naik. Kuttab memaparkan sebuah cerita. Saudara sepupunya di Bethlehem punya dua mobil. Satu sebuah truk barang tua dengan pelat nomor Israel. Satu lagi sebuah minibus dengan pelat nomor Arab - menandakan wilayah permukiman Arab. "Ketika kami akan bepergian biasanya terjadi perdebatan, kendaraan mana yang akan kami gunakan," kata Kuttab. Dengan truk barang itu, seluruh keluarga memang harus duduk sedikit sengsara di bak belakang, namun perjalanan bisa berjalan lancar, karena pelat nomor mobil tua itu bertanda Israel, dan petugas keamanan tak akan menghentikannya. Sebaliknya, risiko bepergian dengan minibus yang nyaman adalah harus antre di sejumlah pos polisi untuk menjalani pemeriksaan, karena pelat mobil itu bertanda wilayah permukiman Arab. Pada saat yang sama, pengemudi mobil Yahudi di Jalur Gaza juga merasa waswas. Ini tercermin pada peringatan berbentuk iklan yang biasanya dimuat di harian Yediot Ahronot. Petunjuk mengemudi bagi sopir Yahudi di Jalur Gaza itu berbunyi: "Tutup jendela mobil Anda di kawasan padat, usahakan tidak menarik perhatian. Bila memasuki kota, lepaskan sabuk pengaman agar Anda bila perlu bisa meloncat dengan cepat keluar mobil~. Kini pasukan keamanan yang berjaga-jaga di Jalur Gaza dan Tepi Barat bukan la~gi polisi, melainkan satuan militer bersenjata perang.Tepi Barat adalah satu-satunya kawasan di dunia di mana melempar batu diancam hukuman 20 tahun - hanya lima tahun di bawah ancaman hukuman terhadap pembunuhan. Israel dan penduduk Yahudi di Tepi Barat nampaknya sampai pada kesimpulan bahwa sebuah lemparan bisa berarti sebuah malapetaka~ April lalu Ofra Moses, seorang ibu berumur 35 tahun, penduduk Alfei Menashe, permukiman baru Yahudi di Tepi Barat, mengendari mobil menuju Tel Aviv -- sekitar 30 menit berkendaraan dari sana. Di perjalanan, tanpa curiga ia berhenti untuk membeli jeruk yan~g dijajakan di tepi jalan. Ketika itulah sebuah bom api dilemparkan ke dalam mobilnya. Ford Escort yang dikendarainya terbakar, dan Ofra tewas. Bagi pengungsi Palestina di Tepi Barat, Ofra, wanita yang nampaknya tak bersalah itu, adalah bagian dari kekerasan Israel. Ia tinggal di permukiman Yahudi di Tepi Barat, yang dibangun dengan paksa dibawah protes keras para penduduk Palestina, warga yang diabaikan sama sekali hakhaknya. Maka, pengeboman atas dirinya dianggap suatu manifestasi kebencian yang terpendam lama, yang tak berdaya mengubah nasib. Tentang kebencian seperti itu, orang-orang Yahudi dengan intens juga memendamnya, dan sekahgus mengakui perang terhadap orang Arab Palestina memang ada. Tak ayal, dengan gampang berkembanglah suara yang hitam dan panas: pandangan ekstrem yang disebarkan Rabbi Meir Kahane, seorang pendeta Yahudi Amerika. Dalam prinsipnya, Kahane tak mengakui sama sekali eksistensi penduduk Arab, bahkan sebagai kelompok minoritas sekalipun. Mereka, tanpa kecuali, harus keluar dari Jalur Gaza dan Tepi Barat. "Mereka adalah kanker di tanah Israel," bunyi ajaran Kahane. Kahane menarik perhatian, meskipun mayoritas orang Israel belum menerimanya dan banyak cendekiawan mengutuknya. Tapi kebencian di masyarakat memang bisa menyebabkan seorang pemimpin politik tergoda mengipas emosi. Pada upacara pemakaman Ofra Moses, Menteri Perhubungan Israel, Chaim Corfu, misalnya, mengucapkan pidato yang berapiapi. Chaim menyebutkan O~ra, ibu yang tak tahu politik itu, mati sebagai prajurit. Upacara pemakaman memang bisa jadi arena propaganda yang efektif. Para pejuang Palestina pintar memanfaatkan upacara penguburan ini -- satu kejadian yang kian sering dan lumrah bagi sebuah kaum yang tertindas. Polisi Israel pun tahu. Maka, mereka selalu berusaha mencegah upacara penguburan korban Palestina jadi huru-hara. Bila ada gerilya Palestina mati tertembak, polisi segera mengamankan jenazahnya dengan alasan akan dilakukan autopsi. Selanjutnya keluarga korban dipaksa melaksanakan penguburan segera setelah malam turun. Pemakaman hanya boleh dihadiri keluarga terdekat. Namun, taktik ini lama kelamaan ketahuan juga. Dua hari setelah Ofra Moses dimakamkan, di kubu lain jatuh korban. Mussa Hanafi, seorang mahasiswa Universitas Bir Zeit, di Tepi Barat Palestina mati ditembak polisi dalam sebuah demonstrasi. Polisi segera mengamankan Jenazah Hanafi, tapi mahasiswa Bir Zeit berhasil mencuri jenazah itu dari rumah sakitJenazah itu pun kemudian disembunyikan di salah satu rumah penduduk. Menjelan~g pagi, jasad Hanafi diangkut dengan mobi berpelat nomor Israel ke rumah keluarga nya di Jalur Gaza. Dengan siasat itu, Hanafi akhirnya dikebumikan dalam sebuah upacara besar. Sejumlah 5.000 pejuang Palestina ikut berprosesi, dan mayat diusung dalam peti yang dibungkus bendera Palestina. "Pemakaman itu menjadi sebuah festival politik," tutur Mohammed Ishteyyeh, sarjana Palestina dari Universitas Bir Zeit yang dikenal bersikap moderat. Ia kemudian menambahkan, "Anak-anak yang mengikuti prosesi itu kehilangan senyum kanak-kanak, karena wajah mereka beku, penuh benci, dan siap untuk mati membela perjuangan." Militansi anak-anak memang menandakan era baru perjuangan Palestina. Mereka dibesarkan di kamp-kamp pengungsi yang terlupakan. Menderita, dengan impian keras untuk tak kalah lagi. Soalnya kemudian, siapa menang bersama waktu. Ini terutama berlaku dalam soal demografi - yang suatu saat kelak bisa berpengaruh besar bagi kehidupan politik di Israel. Dari total 4.200.000 penduduk, jumlah penduduk Yahudi sedikit di atas 3 juta. Penduduk Arab di Palestina di Tepi Barat tumbuh 34% dalam periode antara 1970 dan 1984, dan di Gaza 43%. Dalam masa 20 tahun mendatang, jumlah penduduk Arab dan Yahudi bisa hampir sama. Dan Israel akan menemui pilihan yang pelik: menjadikan orang Arab tak punya hak selama-lamanya, seperti orang hitam di Afrika Selatan, atau mengusir orang Arab seperti nasib orang Yahudi dulu. Keduaduanya akan menyebabkan negeri itu kehilangan dasar demokratisnya sendiri, yang mengharuskannya menampung minorltas ke dalam satu negeri, satu tanah air, Israel. "Tapi saya tak merasa tanah ini tanah air saya," ujar Ishteyyeh. Ia menunjukkan bagaimana polisi dan tentara disiagakan untuk memburu kaum Palestina, demi keamanan kaum Yahudi. Polisi itu tak peduli bila ada tindakan kriminal terjadi di lingkungan Palestina. "Di Ramallah, permukiman eksklusif penduduk Arab, tak sebuah papan tanda polisi ditulis dalam bahasa Arab, semua ditulis dalam bahasa Ibrani untuk kaum Yahudi," ujar Ishteyyeh lagi. Namun, keraguan juga muncul di kalangan Yahudi. "Saya kadang-kadang ragu, apakah ini tanah air saya," ujar Hartman, seorang penduduk Yerusalem. Ketika ditanya kapan ia akan merasa tempat tinggalnya sebagai tanah air dan rumahnya, Hartman, yang pekerja biasa itu, menjawab, "Bila tetangga kita bukan musuh kita." Jim Supangkat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus