HAJI Amin el-Husseini b~erang. Dia tak tahan lagi menyaksikan ulah para pendatang Yahudi yang terus membanjir dari seantero Eropa dan Arab. Mereka tak hanya makin nekat membeli tanah-tanah petani Palestina, tapi juga memboikot tenaga penduduk asli. Maka, mufti dari Yerusalem itu pun beraksi untuk menghalau kaum Yahudi dari tanah airnya. Kerusuhan meledak di Yerusalem. Pada tahun 1919, bangsa Paletina berhamburan di jalan-jalan, memburu kaum Yahudi pendatang yang bersenjata ala kadarnya. "Usir mereka, buang mereka ke laut," demikian komando Husseini yang selalu didengungkan ke telinga rakyatnya. Itulah gerakan pertama bangsa Palestina melawan kaum zionis di negeri mereka. Dan gerakan itu pula yang pada tahun 1936 memicu pemberontakan bersenjata terbesar bangsa Palestina, yang baru bisa dipatahkan pemerintah Inggris tiga tahun kemudian. Tapi Chaim Herzog, presiden Israel pertama, dalam bukunya The Arab-lsraeli Wars hanya menyebut nama el-Husseini sebagai biang keladi segala pemberontakan bangsa Palestina. Pemerintah Inggris, yang makin ngeri melihat ge~jala itu, sebenarnya pada tahun 1937 sudah memecat el-Husseini sebagai mufti Yerusalem. Tapi pejuang akbar itu berhasil lolos ke Syria, dan terus menggelorakan semangat perjuangan rakyatnya dari sana. Baru tahun 1940, setelah pemberontakannya padam, dia pindah ke Irak, untuk membantu sebuah kudeta militer antiYahudi. Gagal lagi. Maka, dia raib entah ke mana. Konon, dia terbang ke Jerman, untuk bergabung dengan pasukan Nazi. Seusai Perang Dunia Kedua, 1945, el~sseini kembali mencuat. Dari Kairo, ibu kota Mesir, dia membangkitkan kembali gerakan militernya yang diberi nama "Bala Keselamatan". Pasukan berkekuatan dua ribu tentara itu dipecah dua, yang langsung dikomandani oleh dua keponakannya, Abd el Kader el-Husseini dan Hasan Salameh. Yang pertama beroperasi di wilayah Kota Yerusalem, sedangkan yang kedua di wilayah Lod-Ramle. Kala itu di kalangan bangsa Palestina sudah muncul dua organisasi para militer, Najada dan Futuwa, yang sudah berlatih taktik perang gerilya kota. Mereka berhasil menjalin kerja sama. Maka, tiga serangan prestisius berhasil mereka lakukan. Pertama, pengeboman gedung koran Palestine Post kedua, penyerangan di Jalan Ben Yahuda, yang mengakibatkan 50 jiwa melayang, dan daerah itu porak poranda dan terakhir, penyerangan markas besar Dinas Rahasia Yahudi aAH), dengan menggunakan sebuah mobil diplomatik curian dari konsulat Amerika Serikat. Tapi saat itu bangsa Yahudi juga sudah memiliki organisasi militer sendiri yang tak kalah tangguhnya. Haganah namanya, yang sering merepotkan gerakan Palestina. Organisasi semula hanya ditujukan untuk melindungi imigran baru yang tak dilindungi pemerintah Inggris. Soalnya, pemerintah Inggris pada tahun 1939 membatasi jumlah imigran Yahudi dan pembelian tanah dari bangsa Palestina. Kekuatan Haganah mulai berlipat, ketika organisasi-organisasi kemiliteran lainnya ikut bergabung. Terutama sejak gerakan bawah tanah Irgun Zvai Leumi (Organisasi Militer Nasional) di bawah pimpinan bekas Perdana Menteri Menachem Begin dan Lohamei Herut Israel (Pejuang-Pejuang untuk kemerdekaan Israel) menggabungkan diri dengan Haganah. Ketiga organisasi itu boleh dijamin tak kalah nekatnya. Pertempuran pun makin mengganas. Haganah, yang rupanya kewalahan menghadapi kelicinan bangsa Palestina, merencanakan memotong semua jalur transportasi dengan negara-negara tetangganya yang Arab. Tapi berantakan, karena kepergok oleh intelijen Inggris. Maka, tahun itu juga, 1946, para komandan Haganah ditangkapi. Toh konflik senjata Yahudi-Palestina tak juga reda. Bahkan pemerintah Inggris terpaksa memperkuat pasukannya. Melihat situasi kian rawan -- sementara pemerintah Inggris kepayahan memikul akibat Perang Dunia Kedua -- maka di bulan Febuari 1947 Menlu Inggris Ernest Bevin menghadap Majelis Rendah. Dia mengumumkan bahwa pemerintah Inggris menyerahkan kembali mandat kepada PBB atas tanah Palestina -- mandat yang diterimanya sejak akhir Perang Dunia I. Lembaga bangsa-bangsa itu akhirnya menerima penyerahan kembali tanah Palestina, dan pada 29 November 1947 sidang umum PBB memutuskan: Tanah Palestina dibagi dua antara bangsa Arab dan Yahudi. Sedangkan Yerusalem dijadikan kawasan internasional. Nah, dari keputusan yang kontroversial itulah kecamuk Timur Tengah berlanjut terus sampai sekarang. Pada tanggal 14 Mei 1948, setelah melalui beberapa tahap penarikan pasukan, kekuatan serdadu Inggris hanya tersisa pada sebuah garnisun di Yerusalem. Itu pun hany~a untuk melindungi panglima tertingginya Jenderal Sir Alan Cunningham, yang hari itu juga terbang ke Haifa, untuk menumpang sebuah kapal perang menuju London Dalam vacuum of pou~er seperti ini, Davic Ben Gurion, kepala organisasi Dircktoral Rakyat di Tel Aviv, menggunakan peluang emas. Han itu juga, ia memproklamasikan kemerdekaan Israel. Negara-negara Arab di sekitar tanah Palestina tak begitu saja menerima proklamasi itu. Sebulan sebelumnya, April 1948, mereka mengangkat Raja Abdullah dari Yornadia sebagai panglima tertinggi pasukan Arab, yang disiapkan untuk menghancurkan Israel. Pasukan andalannya adalah Legiun Arab -- sebuah pasukan khusus terdiri dari 10.000 orang-orang Badui dari berbagai negara Arab -- di bawah komandan seorang veteran Perang Dunia I dari Inggris, Letnan Jenderal Sir John Bagot Glubb. Dilihat dari persenjataan dan jumlah pasukan yang dimiliki, negara-neg~ra Arab jelas lebih kuat. Mereka terdiri dari lima negara: Mesir, Libanon, Syria, Irak, Arab Saudi, dan Yordania. Itu pun masih ditambah pasukan Bala Keselamatan, dan Tentara Pembebasan Arab, yang sengaja dibentuk kemudian untuk menyaingi Legiun Arab. Sedangkan Israel praktis berjuang sendiri -- tentu dengan sekutu di belakang mereka: Inggris dan Amerika Serikat. Tak pelak lagi, pertempuran segera berkobar di wilayah-wilayah~ permukiman Yahudi. Serdadu-serdadu Arab dengan semangat tinggi terus memuntahkan peluru artileri dan amunisinya di setiap penjuru tanah Palestina. Desa demi desa berhasil mereka kuasai. Bahkan Kota Nazareth sempat mereka duduki, dan Tel Aviv nyaris kehabisan ransum. Sementara itu, pasukan Israel masih repot mengumpulkan senjata, seraya menyusun strategi yang paling tepat. Ada kelemahan fatal di pasukan Arab: mereka kurang memperhitungkan kemampuan personel serdadu Israel. Kendati persenjataan mereka kalah bersaing, para Yahudi di Palestina kebanyakan datang dari Eropa yang sudah punya pengalaman militer dalam Perang Dunia I dan II. Maka, di tahun berikutnya, 1949, Palestina mau tidak mau harus mengakui keunggulan militer pejuang Yahudi. Kekalahan itu, yang sering dianggap memalukan, akhirnya juga meruntuhkan para penguasa negeri-negeri itu. Tahun 1951, Raja Abdullah tewas gara-gara terpeleset dari tangga masjid Al Aqsa di Yerusalem. Di Mesir, PM Nokhrashi Pasha tewas ditembak, dan Raja Farouk diusir dari negerinya, sebelum kelompok Perwira Bebas berkuasa pada tahun 1952. Dan di Syria Jenderal Husni el Zaim mengkudeta pemerintahnya pada tahun 1949. Sementara itu, pertempuran melawan bangsa Yahudi berubah. Nyaris tak ada lagi pasukan resml yang dikirim melewatl perbatasan. Gantinya adalah "Fedayeen", pasukan komando bunuh diri yang kebanyakan terdiri dari gerilyawan Palestina. Mereka rela dikirim ke wilayah Israel untuk menanam bom atau menghamburkan peluru ke arah kerumunan masyarakat, tanpa takut bisa kehilangan nyawa. Bisa dikatakan, merekalah cikal-bakal PLO sekarang. Gamal Abdel Nasser, yang baru berhasil menduduki kursi presiden pada tahun 1952 -- setelah menggusur teman seperjuangannya Jenderal Mohammed Neguib memang menaruh harapan besar pada Fedayeen. Entah berapa banyak dana dan tenaga yang dihamburkan untuk melatih pejuang-pejuang komando itu. Dalam upaya itu juga, terjalin hubungan yang pada awalnya tidak begitu mulus antara Nasser dan Yasser Arafat. 'itu~ pasti, selama tahun 1955 saja, mereka berhasil membantai 260 serdadu Israel dalam wilayah Israel sendiri. Popularitas Nasser terus menanjak. Kehebatannya melobi para penguasa negara-negara tetangganya, dan pidatonya yang terus mengobarkan semangat juang, berhasil menggalang solidaritas baru di kalangan bangsa Arab. Bahkan pemimpin Libya, Kolonel Muamar Qadhafi, mengakui bahwa kudeta yang dia lakukan 25 tahun silam diilhami oleh ide-ide Nasser. Dia pun tak mau kalah, ingin berjuang di bawah komando Mesir, untuk menceburkan bangsa Yahudl ke laut. Pada akhir tahun 1955, impian pertamd Nasser terwujud. Mesir berhasil menempatkan diri sebagai benteng terdepan dan tertangguh menghadapi imperialisme Barat di Timur Tengah. Pasalnya, kala itu Cekoslovakia bersedia melayani pembelian senjata besar-besaran oleh Mesir. Kontrak itu meliputi 530 kendaraan lapis baja, 500 buah artileri, 200 pesawat terbang, dan beberapa kapal perang ringan serta kapal selam. Mengandalkan persenjataan itulah Nasser lalu unjuk gigi. Dia mengonsentrasikan pasukannya di Gurun Sinai, yang langsung berbatasan dengan wilayah Israel. Selat Tiran, yang menghubungkan pelabuhan Israel dengan negeri-negeri Afrika dan Timur Jauh, diblokir oleh sejumlah artileri. Puncaknya adalah ketika Nasser menasionalisasikan Terusan Sue~, pada 27 Juli 1956, yang kala itu masih d~i bawah kontrol pemerintah Inggris . Pertempuran segera meletus. Ini ditandai dengan mendaratnya sejumlah pasukan payung Israel dari Brigade Parasit 202, di Gurun Sinai pada 29 Oktober 1956. Inggris dan Prancis, yang merasa jalur minyak strategisnya terancam, segera memusatkan pasukannya di Malta dan Siprus. Tak tanggung-tanggung pula, kedua negara itu Juga mengerahkan kapal induk, tanpa mempeduhkan seruan gencatan senjata dari Dewan Keamanan PBB. Sayang, pertcmpuran tak sempat berkepanjangan. Pada tanggal 6 November 1956, pukul 00.00 pasukan Inggris dan Prancis yang sudah berhasil menduduki Port Sald dan Port Fouad terpaksa menghentikan gempurannya ke selatan. Tekanan pohtik internasional, terutama dari blok Uni Soviet, memaksa mereka menerima gencatan senjata. Israel dipaksa meninggalkan Jalur Gaza dan daerah Sh~arm el-Sheikh, yang sempat dikuasai. Sejak itulah pasukan pemelihara perdamaian PBB terlibat di sana. Tugas mereka adalah: berpatroli sepanjang perbatasan Mesir-Israel dan menjaga keamanan Sharm el Sheikh. Nama Nasser pun makin menjulang, karena ia tak dinyatakan kalah. Kalau ia mencabut kembali jajaran artilerinya di Selat Tiran dan menyingkir dari Terusan Suez, itu lantaran tekanan Inggris-Prancis, yang oleh semua pihak diakui bukan tandingan militer Mesir. Kedamaian semu lalu menyelimuti kawasan itU. Tak ada lagi konsentrasi pasukan secara besar-besaran di sepanjang perbatasan. Maklum, di samping harus mengumpulkan tenaga, para penguasa Timur Tengah juga mulai tak akur lima tahun kemudian. Nasser, yan~ mendukun~g kaum pemberontak di Yaman pada 1967, bertengkar dengan Arab Saudi. Dan Yordania, yang dekat dengan Amerika dan Inggris, dituduh sebagai antek imperialis oleh Mesir dan Syria. Sebuah kejutan tibatiba meledak di Mesir. Pada tanggal 20 Mei 1967, Nasser menggelar kekuatan militer raksasa di Gurun Sinai, terdiri dari 100.000 serdadu plus 1.000 kendaraan lapis baja. Dan dua hari kemudian, Nasser menyatakan Selat Tiran tertutup bagi semua kapal Israel. "Kali ini saya akan benar-benar menghancurkan Israel," ujarnya di depan Kongres Persatuan Dagang Arab, pada 26 Mei 1967. Histeria segera menjalar ke seantero Timur Tengah. Bagai kena hipnotis, para pemimpin Arab tiba-tiba kompak. Mereka segera mengirim pasukan. Maka, pada 5 Juni, sekitar 250 ribu serdadu, didukung 2.000 kendaraan lapis baja, 700 pesawat pemburu dan pembom sudah siap mengepung Israel. Mereka tinggal tunggu komando untuk mengganyang Israel. Di hari itu juga, ketika para pilot Mesir sedang asyik bersantap pagi, sebagian besar pesawat udara Israel merayap di bawah gelombang radar. Sasaran mereka adalah 19 pangkalan udara militer Mesir yang tersebar di Sinai, Kairo, serta di delta dan lembah Sungai Nil. Sukses. Lewat 500 serangan pendadakan, hari itu juga lebih dari 300 pesawat militer Mesir hancur di darat, dan otomatis dinyatakan lumpuh. Maka, karena timpangnya kekuatan udara itulah perang hanya berlangsung 6 hari. Tentara Arab kocar-kacir meninggalkan berton-ton senjata di medan perang. Sedangkan Israel jelas makin berjaya, karena tak hanya seluruh tanah Palestina yang mereka kuasai, tapi juga wilayah Tepi Barat Sungai Yordan milik kerajaan Yordania, Dataran Tinggi Golan milik Syria, Gurun Sinai dan Jalur Gaza milik Mesir. Satu-satunya balasan telak yang dilakukan Arab adalah dalam Perang Yom Kipur, Oktober 1973. Dengan strategi lebih matang, dan didukung rudal-rudal canggih buatan Soviet, pasukan Mesir berhasil menyeberangi Terusan Suez dan menghancurkan Bar-Lev, yang sebelumnya dibanggakan Israel sebagai benteng tak tertembus. Walaupun Israel kemudian sanggup melancarkan pukulan balasan, tak urung Tel Aviv merasa dipermalukan. Berkat perjanjian Camp David (Maret 1979) -- dengan Presiden AS Jimmy Carter sebagai penengah -- akhirnya Mesir di bawah pimpinan Anwar Sadat berhasil mengembalikan Semenanjung Sinai. Sejak itu Israel boleh dikatakan aman terhadap kemungkinan perang terbuka. Namun, semangat berkelahinya tetap saja menyala-nyala. Di bawah Menachem Begin, Israel menyerbu ke Libanon - untuk kemudian mundur la~gi -- sesudah sukses menumpas PLO di Beirut Barat, 1982. Kini Liga Arab berubah haluan. Organisasi ini mulai mendekati Mesir kembali sebagai sobat lama, tanpa mempertimbangkan hubungan diplomatik Kairo dengan Israel. Persoalan jangka panjang yang agaknya harus dipikirkan oleh Israel ialah tetap mempertahankan wilayah yang diduduki setelah perang 1967 atau menyerahkannya kembali pada pihak Arab atau menyetujui berdirinya negara Palestina. Kalau Israel mengambil pilihan pertama, tak mustahil negeri Yahudi itu akan memiliki mayoritas penduduk bangsa Palestina. Maka, satu-satunya jalan supaya bisa tetap berkuasa, Israel harus mengikuti sistem pemerintahan minoritas, seperti dilakukan oleh rezim apartheid Afrika Selatan. Krisis kependudukan di kalangan Yahudi mulai sangat terasa pada 1984. Tahun itu kelahiran~ penduduk Yahudi hanya mencapai 21,6%, sedangkan Palestina mencapai 33,4. Dan perbedaan itu bisa semakin tajam di masa mendatang, karena adanya gerakan keluarga besar di kalangan masyarakat Palestina. Situasi itu diikuti pula dengan anjloknya jumlah imigran Yahudi yang pada 1973 masih mencapai 55 ribu jiwa, tapi tahun 1984 tinggal 18,7 ribu. Sementara penduduk Israel, menurut sensus 1983, berjumlah 3,6 juta jiwa, jumlah Palestina di daerah pendudukan mencapai 1,5 juta jiwa. Menyerahkan kembali Gaza, Golan, dan Tepi Barat pada pihak Arab berarti risiko militernya terlalu berat. Wilayah-wilayah itu jelas punya nilai strategi tinggi, karena bisa dimanfaatkan sebagai wilayah penyangga menghadapi gempuran pihak Arab. Tapi kalau tidak diserahkan, dendam kesumat akan terus berkobar di hati lawan-lawannya, yang suatu saat bisa memicu perang terbuka lagi. Menyetujui negara Palestina merdeka? Risikonya pasti lebih besar. Dari dalam, kaum Yahudi, yang merasa ngeri hidup bertetangga dengan musuh bebuyutannya, bisa melancarkan gerakan-gerakan ekstrem seperti Haganah. Sementara itu, kalangan tertentu di pihak Arab menyimpan rasa khawatir jangan-jangan negara Palestina akan tumbuh sebagai prototipe negara modern, demokratis, dan sekuler. Ini bisa menjadi bumerang bagi para raja dan jenderal Arab yang kini berkuasa. Tak heran jika sekarang mereka hanya menuntut supaya Israel mengembalikan wilayah yang direbut setelah perang 1967. Namun, Tel Aviv sampai kini lebih suka mengambangkan saja persoalan itu. Tapi risikonya: Israel terpaksa membelanjakan sekitar 30 persen dari Penghasilan Kotor Nasionalnya untuk belanja keperluan militer. Dan utang mereka kini bertumpuk sampai US$ 30 milyar. Tapi soal dana agaknya belum terlalu merisaukan. Selama lobi kaum Yahudi di Amerika Serikat dan Eropa Barat masih kuat mencengkeram bisnis perbankan, minyak, perdagangan eceran, industri, dan politik, semua bisa dianggap aman, untuk sementara. Praginanto, kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini