HIDUP~ rukun berdampin~gan antara Masyarakat Yahudi dan Palestina agaknya makin jauh dari kenyataan. Kebencian dan sikap saling mencurigai yang semula sering diramalkan akan meluntur dengan lahirnya generasi baru malah terbukti sebaliknya. Ini setidaknya bisa dilihat dari hasil pol (pengumpulan pendapat) Van Leer Insti, yang dilaksanakan oleh perusahaan profesional Dahaf bulan lalu. Dari pol itu terungkap, ~40 persen remaja Yahudi berusia 15 sampai 18 tahun ~berpendapat bah~wa Isra~el perlu menguran~gi hak-hak warga Palestina. P~adahal, para remaja itu lahir dan dibesarkan di ~sana, dan boleh dibilang men~genal muka orang Palestina sejak orok. Sebaliknya, me~reka memberi kehormatan tertinggi kepada serdadu tempur dan perwira militer. Lebih jauh lagi~, 43 ~persen dari 615 remaja ~yan~g di~wawancarai itu ju~ga m~enghendaki supaya para mahasiswa ~Yeshiva -- sekolah tinggi agama Yahudi yang mendidik pelajarnya ~m~enjadi sarjana a~gama dan rabbi -- dikurangi haknya. Ini lagi-lagi bukti bahwa remaja Yahudi ~tak sudi berkompromi dengan tetangganya Palestina. Mengapa? Soalnya, para mahasiswa Yeshiva, yang sering dicap ortodoks, justru termasuk kelompok paling toleran yang jauh dari sikap rasialis. Jadi, apa sebenarnya yang dikehendaki angkatan muda Yahudi? Menurut Andy Court, yang mengulas hasil pol itu, mereka ingin agar hak bicara kaum minoritas dipotong. Tegasnya, yang harus dibungkam adalah bangsa Palestina. Setelah itu menyusul kaum Yahudi ortodoks, dan terakhir warga keturunan Mesir. Anehnya, pada saat yang sama mereka memberi nilai tinggi kepada ajaran demokrasi. Hanya saja, mereka tak bersedia menerapkannya dalam kenyataan. Mereka agaknya belum bisa menerima kenyataan bahwa ada kaum lain yang menonjol di Israel. "Mereka tak mau membayar yang harus dibayar untuk sebuah demokrasi," demikian komentar koran Jerusalem Post. Tak pelak lagi, kecaman keras segera meluncur dari masyarakat Palestina. Mereka menuduh bah~wa sentimen anti-Arab muncul lantaran kebijaksanaan pemerintah Israel. "Sistem pendidikan tidak memberi tekanan pada kebudayaan dan tradisi Arab," ujar Dr. Majid el Haj, salah seorang ketua dew~an masyarakat Arab setempat. Sedangkan Ahmed Abu Asba, ketua dewan masyarakat Palestina di Jat, langsung menuding beberapa tokoh politik sebagai orang yang paling bertanggung ja~wab. Antara lain Menteri Perdagangan dan Industri Ariel Sharon, serta Rafael Eitan dan Michael Dekel dari Knesset. Ketiga~ tokoh itu sering mengeluarkan pernyataan- pernyataan anti-Arab. Satu hal yang n~enarik, para tokoh masyarakat Palestina sepakat: Hasil pol Van Leer akan merangsang dukungan kaum Arab, baik di Israel maupun luar, kepada gerakan-gerakan ekstrem. Dan mereka juga mengingatkan bahwa hasil pol itu seharusnya dianggap sebagai peringatan bagi para pengusaha Israel terhadap rawannya hubungan Yahudi-Arab. Tapi pemerintah Israel diam-diam mereka telah menyiapkan rancangan pembangunan lima tahun bagi pembangunan wilayah-wilayah permukiman Pales~tina. Mereka menyediakan dana U5$ 2~0 juta untuk meningkatkan anggaran belanja kota praja dan fasilitas pendidikan. Dengan demikian, menurut Kepala Kantor Masalah Arab Roni Milo, akan terwujud integrasi dan k~operasi an~tara masyarakat Yahudi dan Arab. Bagaikan pedang bermata dua, rancangan itu juga ditujukan untuk memandulkan organisasi-organisasi kaum Arab, yan~g sampai sekarang masih tergabung dalam Komite Nasional De~wan-De~~wan Arab Lokal. Rancangan itu menginginkan supaya d~ewan-dewan ini berada di bawah koordinasi pemerintahan lokal Israel. Untuk membangkitkan semangat persatuan. Lebih dahsyat lagi, rancangan itu juga membatasi berbagai kegiatan politik, p~endidikan, dan bisnis kaum Palestina. Disebutkan bahwa jumlah partai politik Arab harus dibatasi, demikian pula jum~lah m~ahasiswa yang menuntut ilmu di negara-negara Blok Timur. Sedangkan jumlah duit dari luar negeri yang diala~matkan ke orang-orang Arab haru~s dikontrol lebih ketat. ~"Tapi i~tu masih rancangan, belum selesai," kilah Milo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini