Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terik matahari tak menyurutkan niat ratusan mahasiswa dari 17 universitas terkemuka di Mesir menggelar unjuk rasa, Kamis pekan lalu. Membawa poster yang bertulisan protes atas kekerasan militer, mereka mendatangi Kementerian Pendidikan Tinggi dan gedung parlemen. Pengunjuk rasa ini menuntut hak rekan-rekan mereka yang masih ditahan militer. "Kami menghadiri ujian terakhir bersama-sama atau militer menangkap kami semua," teriak salah seorang pengunjuk rasa. Akhir bulan ini, perguruan-perguruan tinggi di Mesir akan serentak menggelar ujian akhir untuk semester musim semi.
Puluhan aktivis kampus ikut aksi protes ini. Di antaranya Mahasiswa Universitas Kairo, Gerakan Mahasiswa 6 April, Gerakan Mahasiswa Ikhwanul Muslimin, Pemuda untuk Kebebasan dan Keadilan, Gerakan Mahasiswa Universitas Jerman di Mesir, Gerakan Sosialis Revolusioner, Mahasiswa dari Partai Sosial Demokrat Mesir, dan sembilan gerakan mahasiswa lainnya.
Jumat dua pekan lalu, militer menangkap lebih dari 300 pengunjuk rasa saat mereka melakukan aksi duduk di lapangan Abbasiya. Aktivis mendesak militer segera menyerahkan kekuasaan setelah pemilihan presiden usai. Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) mengambil alih kekuasaan setelah Presiden Husni Mubarak digulingkan dalam revolusi pada Februari. Aktivis menganggap SCAF membantu calon presiden yang bisa menjaga keberlangsungan kepentingan mereka. Mereka adalah mantan Menteri Luar Negeri Amr Moussa dan bekas Komandan Angkatan Udara Ahmed Shafiq.
Tentara menggunakan gas air mata dan peluru tajam untuk membubarkan demonstrasi. Bentrokan itu mengakibatkan 11 orang tewas dan ratusan terluka. Lima belas tahanan perempuan dibebaskan oleh militer pada Sabtu dua pekan lalu, dan dua hari kemudian tujuh mahasiswa Al-Azhar dibebaskan setelah kolega mereka melakukan serangkaian protes.
Namun perjuangan mereka tak sepenuhnya didukung almamater. Kaderisasi dan kegiatan aktivis di perguruan tinggi masih dibatasi. Pasalnya, para petinggi universitas masih pejabat lama yang pro-Mubarak. Dan setelah sang diktator lengser, pengaruh militerlah yang ganti menaungi lembaga-lembaga pendidikan tersebut. Sistem yang dijalankan perguruan tinggi belum berubah.
Militer pun menekan aktivis lebih keras dibanding saat menjelang pemilihan legislatif akhir tahun lalu, yang dimenangi Partai Kebebasan dan Keadilan dari Al-Ikhwanul al-Muslimin. Kelompok hak asasi manusia mengklaim 12 ribu orang telah ditangkap militer dan sebagian menjalani proses hukum melalui pengadilan militer. "Perkembangan kondisinya sedikit memburuk akhir-akhir ini," kata Maghfur, mahasiswa Al-Azhar asal Indonesia, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Meski banyak aktivis menjadi korban, publik justru perlahan makin mendukung Dewan Militer. Demonstrasi yang rusuh membuat popularitas tentara membaik. Warga Mesir pun makin mendukung calon presiden dari kubu sekuler, termasuk mereka yang memiliki hubungan dengan rezim Husni Mubarak. Alasannya, ada kekhawatiran gelombang demonstrasi akan memperburuk ekonomi yang mulai stabil.
Saluran televisi milik pemerintah, Mesir TV, ambil peran. Mereka menayangkan gambar dramatis tentara yang terluka. Sehari setelah bentrokan, televisi ini menampilkan cuplikan siaran: dua pria bersenjata menembaki tentara dari menara sebuah masjid. Beberapa orang memberikan komentar di laman Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, misalnya, "Semoga Tuhan melindungi tentara," dan, "Insya Allah, Anda (militer) akan memenangi pertempuran ini. Orang-orang Mesir mendukung Anda." "Semua gerakan islamis telah kehilangan dukungan publik. Publik Mesir menganggap tentara bagian dari mereka," kata aktivis politik Mamdouh Hamza.
Menurut Hassan Nafaa, profesor ilmu politik di Universitas Kairo dan anggota yang berhaluan liberal, penting untuk membedakan dukungan luas untuk tentara di Mesir dan keraguan yang lebih besar terhadap SCAF. "Sebenarnya yang masih mendapat simpati adalah tentara Mesir. Sedangkan SCAF bagian rezim lama," katanya.
Memang telah banyak blunder yang dilakukan aktivis mahasiswa. Salah satu contohnya protes demonstran yang memperburuk hubungan Mesir dengan pemerintah Arab Saudi pada April lalu. Di depan Kedutaan Saudi, mereka memprotes penangkapan warga Mesir di Negara Saudi sembari merusak gedung kedutaan. Akibatnya, pemerintah Saudi menarik staf kedutaannya, tapi batal setelah dibujuk. Arab Saudi adalah salah satu donatur perbaikan ekonomi Mesir. Saudi mengucurkan paket bantuan finansial US$ 1 miliar atau sekitar Rp 9 triliun melalui Bank Sentral Afrika Utara.
Tak hanya itu, aktivis yang berasal dari berbagai aliran mulai terpecah-pecah ketika mendukung calon masing-masing. Sayap Al-Ikhwanul al-Muslimin memiliki calon presiden Mohammad Morsi, sementara kelompok Salafi menyokong Abdul Moneim Aboul Fotouh. Sedangkan Gerakan 6 April dan Gerakan Sosialis Revolusioner tidak memilih calon tertentu. Namun mereka memastikan tidak akan memilih calon yang berasal dari rezim lama.
Kelompok Salafi pernah menggelar unjuk rasa mendesak komisi pemilihan Mesir meloloskan kandidat utama Salafi, Hazem Salah Abu Ismail, yang telah didiskualifikasi. Abu Ismail gagal memenuhi persyaratan karena tercatat memiliki kewarganegaraan ganda. Kandidat Al-Ikhwanul al-Muslimin, Khairat al-Shareh, juga tak bisa melanjutkan kompetisi. Kedua kelompok ini bergabung menolak kesewenangan dan kekejaman SCAF dan para anteknya.
Untungnya, perjuangan di jalanan masih memiliki pendukung solid dari legislatif. Dua partai Islam yang mendominasi parlemen sepakat memangkas kewenangan militer. Parlemen melarang kasus demonstrasi dibawa ke pengadilan militer, Ahad dua pekan lalu. Bila tidak dihadang di parlemen, militer bisa menggunakan kekuasaan yang besar untuk memberangus lawan-lawan politiknya, seperti kelompok Islam. Gaya kepemimpinan presiden baru nanti bisa mengarah pada gaya otoriter seperti yang dijalankan bekas Presiden Mesir Husni Mubarak.
Perlawanan di jalanan memang masih menjaga gairahnya. Upaya kaderisasi tetap terjadi. Mereka menyuburkan perlawanan terhadap militer melalui jalur dunia maya. Ke dunia luar, mereka menggalang dukungan dan melancarkan serangan terhadap militer. Langkah ini memang sudah dirintis saat gelombang revolusi menjatuhkan Mubarak. "Twitter dan Facebook adalah cara kita menjaga momentum upaya melindungi dan membela rakyat. Kami berkampanye di sana," kata Salma el-Daly, seorang videoblogger Mesir yang juga terlibat gerakan di lapangan.
Aktivis muda berkumpul untuk TweetNadwas—serangkaian pertemuan online dan offline—untuk membahas langkah selanjutnya dalam kampanye. Biasanya serangan online dan penggalangan dilakukan sebelum demonstrasi di lapangan. Serangan di jejaring sosial hanya sebagian kecil gerakan aktivis.
Gerakan 6 April menjadi salah satu organisasi yang intens menjalankan program jejaring sosial. Mereka menggunakan halaman Khaleed Mohammed Said, salah satu tokoh gerakan itu yang tewas saat ditangkap militer. Mereka memberikan pendidikan tentang gerakan ini kepada 1,6 juta pengikutnya. "Hampir segala virus untuk melawan militer diunggah di halaman itu," kata Adel Iskandar, pengamat media di Timur Tengah dari Universitas Georgetown, Washington, DC.
Mereka juga memanfaatkan media sosial untuk menggalang dana. Sumbangan diharapkan bisa masuk dari perusahaan, lembaga nonprofit, ataupun individu. Mereka pun akan mempromosikan perusahaan itu kepada pengikutnya di jejaring sosial sebagai imbalan. Kelompok-kelompok aktivis mendapatkan US$ 330 ribu atau sekitar Rp 2,9 miliar selama sebulan. Donasi ini sebagian digunakan buat membantu proyek kemanusiaan.
Eko Ari Wibowo (Al Ahram, BBC, The Egyptian Gazette, Al Arabiya News)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo