HOTEL besar PLM Saint Jacques di Paris 14 mendadak sibuk.
Berbagai peralatan radio dan televisi dipasang di salon hotel
di Paris bagian selatan itu. Ada apa. Tak seorang pun tahu.
Esok paginya, Selasa 31 Juli, Shapur Bakhtiar, eks Perdana
Menteri Iran, muncul di ruang yang dialasi permadani merah itu.
Ia tetap kurus, banyak tersenyum seperti dulu. Di sekitarnya,
beberapa petugas keamanan Perancis berpakaian preman
berjaga-jaga. Ratusan wartawan plus juru potret membombardir
wajahnya.
Hari itu pemunculannya yang pertama kali sejak 10 Pebruari. Tak
seorang pun tahu di mana ia bersembunyi. Ia beristerikan orang
Perancis. Anak-anaknya menjadi warganegara Perancis, salah satu
di antaranya bekerja dalam Dinas Rahasia Perancis. Ia telah
dijatuhi hukuman mati in absentia oleh ayatullah Khalkali,
presiden Pengadilan Islam di Teheran. Sebelumnya, ia dinyatakan
"melarikan diri ke luar negeri" oleh Imam Khomeini.
Le Figaro, harian Perancis sayap kanan menyebutkan bahwa
Bakhtiar telah bersembunyi selama 4 bulan di Iran. Ia
diselamatkan oleh para pendukungnya di suatu tempat antara
Ispahan dan Chiraz. Dan bulan lalu ia berhasil lolos ke Teluk
Persia, di mana ia mendapatkan sebuah pesawat terbang yang
membawanya ke suatu negara Barat.
Michel Poniatowski beberapa bulan yang lalu pernah menyatakan
bahwa Bakhtiar berada di 350 kilometer dari Clermont-Berrand,
Perancis. Waktu itu Poniatowski masih menjadi menteri bawahan
Giscard d'Estaing. Dan sebagian orang menduga kini Bakhtiar
tinggal di dekat danau Jenewa.
Konperensi pers Shapur Bakhtiar ini berlangsung 90 menit dalam
suasana misteri, seperti komentar pers Perancis. Tapi
pernyataannya menempati halaman. pertama suratkabar Paris.
Sedang dua saluran teve Perancis TF 1 dan Antenne 2 menyiarkan
wawancara khusus.
Selain Bakhtiar tak mau menyatakan di mana ia sembunyi dan
tempat tinggalnya sekarang, umumnya media Perancis pun tak mau
menyebutkan di mana konperensi pers itu berlangsung. Banyak yang
menuliskan "di sebuah hotel besar di Paris" atau "di sebuah
hotel besar di rive-gauche (sebelah kiri Sungai Seine)." Hanya
koran golongan sosialis Le Matin de Patrs memberitakan bahwa
konperensi itu telah berlangsung di salon hotel PLM Saint
Jacques.
Korespondcn TEMPO Noorca M. Massardi di Paris telah merekam
pernyataan Shapur Bakhtiar. Berikut ini petikannya:
Saya gembira kini bisa bebas setelah hampir 6 bulan berada
dalam "tahanan" yang sifatnya pribadi. Saya membaca dan menulis
di suatu tempat. Waktu terakhir kali saya meninggalkan ruang
kerja saya di Teheran, peluru berdesingan di atas kepala saya.
Seandainya saya masih tinggal satu menit lagi niscaya saya tak
akan bertemu dengan anda semua dalam keadaan seperti sekarang.
Iran adalah negara Islam sejak 1400 tahun tapi ia tak pernah
berusaha untuk menjadi rejim Islamis. Sungguh terlambat bila
kini Tuan Khomeini hendak menerapkan sistim macam itu. Banyak
orang tahu bahwa Khomeini hendak menyeret negeri ke jalan buntu,
tapi mereka berlagak tidak tahu.
Revolusi Iran adalah kemunduran ke masa silam. Sedang tuntutan
saya adalah peningkatan di segala bidang yakni politik, ekonomi,
sosial dan kebudayaan. Saya berharap Shah akan memenuhi hal itu.
Tapi ternyata tidak. Coba dulu ia mau mendengarkan saya,
keadaannya tak akan sampai seburuk ini.
Awal dari segala bencana itu adalah akibat dari kesalah-fahaman
yang besar -- sangat besar -- antara Khomeini dengan lapisan
kekuatan bangsa, antara lain Front Nasional. Di satu fihak
rakyat berjuang melawan diktatur dan korupsi untuk tegaknya
kebebasan dan independensi. Di lain fihak Khomeini hanya
berjuang untuk mendirikan suatu rejim Islamis yang sangat,
sangat spesial. Rejim yang tak bisa difahami siapa pun, bahkan
oleh Bazargan sendiri. Rejim yang tak punya tujuan. Sedang
Khomeini sendiri tak pernah punya pron yang tersusun baik.
Tentang Front Nasional, saya bentrok dengan Karim Sandjabi dan
saya tak akan pernah bersatu kembali, untuk selamanya. Mereka
telah salah jalan dan kini mereka menyesal. Mereka adalah
golongan arrivistes yang siap berbuat apa saja akibat haus akan
kekuasaan dan kehormatan.
Ketika kami berjuang melawan diktatur, para mullah mendapatkan
berbagai kebebasan di mesjid-mesjid. Seluruh partai politik
waktu itu masih dilarang Para mullah harus kembali ke
mesjid-mesjid mereka. Bukan hanya saya yang mengatakan hal ini.
Pun Ayatollah Shariat Madari dan Taleghani tak henti-hentinya
menyerukan hal ini. Agama harus dipisahkan dari politik.
Golongan ciite Iran -- yang jumlahnya sekitar 800 ribu -- harus
menyatakan kebenaran dan membentuk opini publik bagi terciptanya
suatu negara demokrasi dengan kesadaran nasional. Pemilihan
umum yang baru, yang sesungguhnya, sangat mutlak dilakukan.
Saya tak punya keinginan untuk membentuk pemerintahan Iran
dalam pengasingan, tidak membentuk partai oposisi di luar negeri
dan tak mencalonkan diri atau mengirim kawan-kawan untuk ikut
serta dalam pseudo-elections dalam Majelis Konstituante tanggal
3 Agustus ini. Sebab saya tetap mengatakan: tidak, bagi
terbentuknya Republik Islam macam itu. Dan bila konperensi pers
ini saya lakukan 13 hari sebelum pemilu itu hanyalah kebetulan
belaka.
Dulu saya berpikir bahwa sekali Shah pergi maka agitasi akan
berhenti. Tapi mereka telah memanfaatkan kaum muda tak berbudaya
yang berumur 16 sampai 20 tahun untuk terus membuat huru-hara di
jalanan. Tapi betapa pun, dalam waktu kurang dari sebulan saya
telah berhasil menyingkirkan Shah, menghapuskan Savak dan
membubarkan fondasi Pahlavi. Dan saya kira, orang Front Nasional
--termasuk Sandjabi -- akan melihat bahwa saya tak melakukan
hal lain kecuali melaksanakan program yang telah kami
perjuangkan selama bertahun-tahun.
Membantai para perwira militer adalah suatu kesalahan yang amat
besar. Saya sangat berdukacita. Mereka sebagian besar adalah
orang bersih. Pada situasi seperti sekarang ini, suatu kudeta
militer tidak akan terjadi. Tapi hal itu akan datang pada suatu
hari nanti. Saya punya banyak kawan dengan siapa saya
berhubungan. Mereka di Iran, kini mulai menyadari bahwa saya
benar ketika saya nyatakan bahwa ayatullah membawa bencana.
Golongan minoritas berhak menentukan nasibnya sendiri tapi
dalam penyelesaian secara nasional.
Pembunuhan terhadap Hoveyda adalah tindakan kriminil yang amat
berat. Sebelum dieksekusi, hukuman harus sudah dijatuhkan
terlebih dahulu. Tapi Hoveyda dibunuh begitu saja.
Pada saat terakhir kekuasaan saya, saya tetap memerintahkan
kepada Angkatan Bersenjata untuk tidak membunuh siapa pun
kecuali seseorang yang hendak menggantikan bendera Iran dengan
bendera lain di dalam negeri. Lalu saya pergi. Saya akan
bernasib sama seperti Allende bila saya tetap tinggal di tempat.
Saya bukan lagi Perdana Menteri tapi Bazargan pun kini bukanlah
Perdana Menteri. Bagaimana bisa ada Perdana Menteri sedang
pemerintahan pun tidak ada.
Hidup saya? Saya hidup dengan biaya apa adanya. Apa Saudara
pikir saya pergi dengan mengantongi banyak uang?
Selesai konperensi pers, di luar hotel itu, Bakhtiar telah
ditunggu para simpatisannya yang berjumlah sekitar 50 orang.
Mereka orang Iran! Dan Bakhtiar melambaikan tangan. Kemudian
mobil Audi, yang diiringi para pengawalnya, membawa Bakhtiar
menghilang dalam kesibukan Paris, entah menuju ke mana.
"Ia tak membuat kejutan apa-apa. Ia hanya berbicara sebagai
rakyat biasa," komentar Le Figaro. Sedang l'Humanite menulis:
"Pernyataan Bakhtiar tidak ada apa-apanya. Nyaris kosong."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini