Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bila Mia Mengamuk

Dinas Kehutanan Tele meminta tanah yang tidak diusahakan masyarakat untuk dijadikan areal reboisasi di desa Siria-ria (Tapanuli Utara). Penduduk menolak sehingga menimbulkan pertentangan. (nas)

11 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAVID Siregar, 32 tahun, tampak letih pekan lalu. Sejak 24 Juli petani dari Desa Siria-ria, Kecamatan Dolok Sanggul, Kabupaten Tapanuli Utara ini ada di Jakarta dan melapor ke berbagai instansi termasuk, tentu saja, DPR. Hasilnya bukan main. Bukan hanya DPR, tapi juga hampir seluruh kalangan di Jakarta sempat heboh dibuatnya. Selama beberapa hari hampir semua koran memberitakan "Kasus Penahanan dan Penyiksaan 17 Warga Siria-ria." Hingga Pangkopkamtib Sudomo memutuskan mengirim tim khusus ke sana. Dalam konperensi pers pekan lalu berdasar laporan tim khusus itu Laksamana Sudomo menyatakan penahanan I, warga Siria-ria mempunyai dasar kuat dan dapat dipertanggungjawabkan karena adanya unsur pelanggaran hukum. "Tidak benar tindakan itu sewcang-wenang," ujar Sudomo. Kisahnya dimulai pada 1963 ketika Dinas Kehutanan Tele meminta tanah yang tidak diusahakan masyarakat untuk dijadikan areal reboisasi (penghijauan). Masyarakat Siria-ria, Parsingguran dan Pollung waktu itu setuju menyerahkan tanah yang disebut "Ramba Na Lungunan". Ketika pada 1971 Dinas Kehutanan meminta lagi 794 Ha tanah milik adat penduduk Siria-ria, mereka menolak karena tanah ini telah lama dijadikan kebun kopi mereka. Sekitar 300 keluarga Siria-ria menggantungkan hidup pada kebun ini. Pada 1977 Dinas Kehutanan Tele sekali lagi mencoba melaksanakan penghijauan ini yang mengakibatkan bentrokan fisik dengan rakyat setempat. Pada 22 Nopember 1977 masyarakat setempat memberi kuasa pada 2 pengacara, Togu Antony Hutagalung SH dan Jahemat Lumbangaol SH, untuk menggugat Dinas Kehutanan atas penyerobotan itu. Empat bulan setelah sidang pertama ditawarkan perdamaian oleh Dinas Kehutanan. "Waktu itu dilakukan konsultasi dengan penduduk setempat, bahkan Jamedan Siregar ikut," cerita Antony Hutagalung. Jamedan adalah adik kepala kampung Siria-ria, waktu itu Boni Siregar. Isi perdamaian antara lain tanah kosong boleh direboisasi dan yang ditunjuk sebagai pelaksananya adalah penduduk setempat. Merebut Senjata Persetujuan perdamaian di muka Pengadilan Negeri Tarutung di Balige ini dianggap masyarakat Siria-ria dilakukan diam-diam tanpa sepengetahuan dan bertentangan dengan kehendak mereka. Padahal untuk membiayai pengacara tadi dari tiap keluarga telah dikutip Rp 12.500 hingga terkumpul sekitar Rp 260.000. Rupanya ada yang melaporkan pengutipan uang ini sebagai pungli pada Opstibda Sumatera Utara. Sementara itu situasi Siria-ria sudah panas disertai bentrokan fisik ketika Dinas Kehutanan memulai penghijauan. Sabtu 23 Juni Boni dan Jamedan ditahan yang berwajib setelah 3 kali dipanggil Kodim tidak datang. Esoknya sekitar 225 para ibu Siria-ria berjalan kaki ke Dolok Sanggul untuk menuntut dibebaskannya kedua orang ini. Ternyata mereka tidak ditahan di sini. Esoknya para ibu meneruskan perjalanan ke Tarutung, langsung ke kantor Kodim. Ketika dijelaskan oleh para pejabat Tarutung alasan penahanan Boni dan Jamedan karena dianggap memungut pungli, para ibu berteriak-teriak mengatakan uang ini mereka serahkan dengan sukarela. Menganggap Kepala Kampung terlibat penahanan kedua orang itu, pada, 28 Juni para ibu mendatangi rumah kepala kampung menuntut pembebasan mereka. Menurut kepala kampung kedua orang itu akan dibebaskan siang itu juga, hingga 200-an ibu ini segera pergi ke Dolok Sanggul. Kebetulan hari itu Danres Tarutung beserta rombongan datang ke Dolok Sanggul. Rupanya, setelah melihat Boni dan Jamedan ternyata tidak dilepaskan, para ibu ini marah dan mengamuk. Dengan senjata pentung dan parang, para inang ini menyerbu kantor Camat dan Koramil, memecah kaca, merusak pintu dan mengoyak arsip. Ketika polisi berusaha membubarkan mereka dengan menembak ke atas, para ibu makin marah bahkan merebut sebuah senjata api kosong milik Polri. Ini dibantah Kadapol H Brigjen Pol JFR Montolalu. "Tak sebutir peluru pun yang meletus," ujarnya akhir Juli lalu. Para anggota Polri katanya mampu menahan diri kendati pun tindakan para ibu itu sudah melampaui batas, bahkan "ada yang bertelanjang." Setelah adu otot itu rupanya gerombolan ibu itu lega dan pulang ke Siria-ria sambil meneriakkan "Menang Siria-ria". Esoknya, atas perintah Pangkopkamtibda Sumatera Utara Brigjen Ismail, Komandan Kodim 0208 datang ke Siria-ria untuk mengambil kembali senjata yang dirampas. Pada 30 Juni dilakukan penangkapan. "Untuk mencari biang keladi kerusuhan itu," kata Ismail. Ada 11 wanita yang ditahan, termasuk isteri Boni. Keadaan Siria-ria dianggap pulih. "Tapi setelah David Siregar mengadu ke DPR Jakarta masalahnya jadi ramai lagi," ucap Ismail kesal. "Semula saya mau mengadu pada Uskup karena saya penganut Katolik," cerita David Siregar pada Nian Poloan dari TEMPO Baru diketahuinya masalah ini tidak bisa diselesaikan di sini dan ia dianjurkan melapor ke DPR. Buru-buru ia membuat fotokopi pengaduannya dan bersama Lumbanraja, seorang notaris pensiunan Medan, mengadu ke DPR. Yang membuat heboh adalah pengaduan David selama dalam tahanan, para ibu ini disiksa hingga ada yang kandungannya keguguran. Itu sebabnya David juga mengadu pada Memnud Urusan Peranan Wanita. "Dan saya bukan sopir di Jakarta seperti yang dituduhkan. Saya memang petani penduduk Siria-ria," kata David yang lulusan SMEA ini sembari menunjukkan KTP-nya. Tutup Mulut "Saya ketemu dengan mereka yang ditahan dan tidak menemukan adanya bekas penyiksaan," kata Kapuspen Hankam Brigjen Goenarso SF yang memimpin tim khusus Kopkamtib meneliti kasus ini. Berlarutnya penahanan mereka karena para ibu ini melakukan gerakan tutup mulut. "Tiap ibu yang ditanya namanya selalu mengaku bernama Mia Siria-ria," cerita Goenarso. Mengapa justru wanita yang protes? Menurut Goenarso, karena di sana berlaku hukum "matriarkhat". Tapi sebenarnya, di tanah Batak yang tunduk pada hukum adat "patrikhat", kaum laki-laki yang lebih berkuasa itu merasa adalah kaum wanita yang wajib bekerja. Dan wanita pula yang setiap hari mengurus ladang dan hasilnya. Seperti biasa, timbul berbagai dugaan tentang siapa "dalanynya". "Kok para inang itu terpikir merusak kantor sentral telepon Dolok Sanggul dengan seluruh alatnya. Jelas ini tindakan yang direncanakan orang yang tahu strategi dan komunikasi dan tak mungkin terpikir oleh para ibu yang lugu, sederhana dan berpendidikan rendah," kata seorang pejabat Kodim Tarutung. Jum'at lalu Pangkopkamtib Sudomo memerintahkan dibebaskannya 13 tahanan ini setelah pada 28 Juli berkas perkara mereka dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Tarutung. Sudomo mengundang David Siregar dan Lumbanraja untuk datang melapor ke Kopkamtib karena "kunci persoalan berada pada keduanya". Senin lalu David, yang sempat pulang ke Siria-ria beberapa hari untuk mengumpulkan bukti tambahan, kembali ke Jakarta. Sementara itu situasi Siria-ria kabarnya sudah tenang lagi. Penghijauan dengan biaya Rp 34 juta yang konon menjadi sumber perebutan rezeki dan mengakibatkan heboh ini, untuk sementara dihentikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus