KABUL tetap menyimpan amunisi di bawah suasana damai sepekan ini. Gencatan senjat yang disepakati oleh mujahidin radikal pimpinan Hekmatyar dan Menteri Pertahanan Ahmad Syah Massoud sudah berlangsung sepekan. Dan sekolah-sekolah dasar sudah dibuka kembali pekan lalu. Tapi di jalan-jalan masih berkeliaran tentara bersenjata lengkap. Namun, bukan hanya soal tentara itu yang merupakan amunisi dalam sekam itu. Masalahnya adalah, tugas Mojadidi sebagai ketua Dewan Mujahidin -- yang bertugas membentuk pemerintahan sementara Afghanistan menurut kesepakatan yang dibuat di Peshawar menjelang Kabul jatuh -- sudah selesai akhir bulan ini. Siapa pun nanti yang menjadi kepala pemerintahan sementara itu bakal ada tiga orang yang memusingkan kepala. Yakni Gulbuddin Hekmatyar yang menguasai selatan Kabul, Ahmad Syah Massoud yang ditunjuk sebagai menteri pertahanan, dan Jenderal Abdul Rasyid Dostum, komandan milisi Uzbek. Persoalannya adalah bagaimana menempatkan atau mendudukkan mereka dalam pemerintahan. Sampai pekan lalu Hekmatyar, misalnya, tetap berpendirian bahwa pasukan Dostum harus ditarik dari Kabul. Hal yang ditolak oleh Massoud dan Mojadidi karena dianggap pasukan itu ikut berjasa merebut Kabul. Belakangan Hekmatyar tentulah merasa makin benar karena dua faksi mujahidin berbalik mendukung dia. Yakni, faksinya Yunus Khallis dan Abdul Rabb Rasul Sayaaf. Bahkan kabar terakhir mengatakan, Burhanuddin Rabbani, pemimpin politik faksi Jamiat-i-Islami, cenderung berpihak pada Hekmatyar. Jika ini benar, peta politik mujahidin makin rumit. Itu berarti ada pertentangan antara Rabbani dan panglima perangnya, Ahmad Syah Massoud. Seandainya pertentangan itu bisa diatasi dan kesepakatan Peshawar berjalan mulus, maka Rabbani adalah kepala negara sementara dan Massoud perdana menterinya. Dalam komposisi yang demikan menjadi masalah di mana Hekmatyar mesti ditempatkan. Ia, pemimpin mujahidin radikal itu, tentu tak bakal mau diberi jabatan di bawah perintah Massoud. Seandainya Hekmatyar menerima jabatan itu, banyak hal harus diselesaikannya dengan Massoud. Taruhlah soal Jenderal Dostum terselesaikan, karena ia kabarnya bersedia menarik pasukannya dari Kabul, masih ada soal lain. Soal amnesti umum, soal kerja sama dengan bekas aparat Najibullah, misalnya. Dan itu hal-hal yang peka yang mudah menyulut konflik fisik. Seandainya Hekmatyar yang naik jadi perdana menteri, masalah sama juga. Meski Massoud mengatakan kepada wartawan asing di Kabul bahwa ia akan mematuhi perintah siapa saja yang disahkan sebagai pemerintah sementara Afghanistan, termasuk soal Hekmatyar, yang jadi pertanyaan adalah sampai di mana batas kesabaran panglima beranak buah 30.000 tentara itu bila harus mentoleransi Hekamtyar terus. Orang ketiga yang menjadi masalah adalah Jenderal Dostum dengan 30.000 milisi Uzbeknya yang terkenal tangguh. Ia mengaku tak berambisi duduk dalam pemerintahan baru (lihat Jenderal Lulusan SD). Ia hanya menuntut persamaan hak kaum minoritas. Karena itu ia mengharapkan bentuk pemerintahan baru nanti diubah menjadi sistem federal. Tapi gagasannya kabarnya bakal ditolak mentahmentah. Bukan karena pertimbangan ketatanegaraan melainkan karena sebagai mujahidin ternyata ada yang mendendam padanya. "Ia tak berhak mengusulkan bentuk negara ini. Ia hanya seorang jenderal yang pernah melawan kami selama belasan tahun," kata seorang komandan mujahidin. Apalagi pasukan Hekmatyar yang punya stori sendiri dengan pasukan Dostum. Dalam konflik senjata dengan pasukan Massoud, milisi Uzbek biasanya selalu nimbrung dan membela Massoud dalam perang saudara Afghanistan selama tiga tahun belakangan ini. Dostum yang ditolak akan menjadi masalah karena ia pemimpin sembilan kelompok minoritas di utara. Dengan kata lain, "Kemungkinan besar pertempuran akan terjadi lagi," kata seorang diplomat Barat. Yuli Ismartono (Kabul) & Djafar Bushiri (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini