MENGAPA buruh paling makmur di dunia mogok? Buruh Jerman hanya bekerja sekitar 37 jam per minggu dengan upah US$ 23 (lebih dari Rp 46.000) per jam. Mereka menikmati lebih dari 7 minggu libur per tahun. Bandingkan dengan upah buruh di AS yang US$ 15 per jam dan Jepang US$ 16. Libur buruh AS dan Jepang pun lebih sedikit. Tapi sejak 27 April lalu gelombang pemogokan menerjang negeri makmur ini. Terakhir, Ahad kemarin, buruh industri mesin memperpanjang mogoknya. Soalnya, setelah berunding sebelas jam dengan para direktur pabrik, kesepakatan mengenai kenaikan upah tak juga dicapai. Baru sekali inilah -- sejak dua puluh tahun terakhir -- pelayanan kereta api, pos, dan angkutan sampah di kota-kota besar Jerman tidak tepat waktu. Di jalan-jalan di Frankfurt, Stuttgart, Hamburg, antara lain, sampah menggunung dan menebarkan aroma tak sedap. Kemacetan lalu lintas terjadi hampir 100 km panjangnya. Di malam hari gedung opera maupun teater gelap. Siang hari kebun binatang ikut-ikutan libur. Hal ini terjadi karena lebih dari dua ratus ribu buruh mogok. Mereka menuntut kenaikan upah hampir 10%. "Kami akan menambah tekanan lagi kalau diperlukan," Nyonya Monika WulfMathies, salah seorang pemimpin buruh, mengancam. Inilah akibat Jerman yang dulu Barat harus menyubsidi Jerman yang dulu Timur. Padahal kaum buruh di Jerman Barat sudah telanjur makmur selama empat puluh tahun ketika kedua negara itu belum bersatu. Apartemen mereka yang sempit menjadi lebih lega dan indah. Kendaraan mereka beralih dari Volkswagen ke Mercedes. Piknik mereka, yang dulunya hanya ke Austria, pindah ke pesisir Muangthai. Namun, belum genap dua tahun ini kesejahteraan melimpah itu harus dibagi ke saudaranya dari Timur. "Kita perlu pengorbanan," kata Kanselir Helmut Kohl. Dan untuk itulah antara lain diterapkanlah kenaikan pajak pendapatan, harga bensin, dan pajak pelayanan umum. Ditambah hal yang sulit ditolak -- popularitas Helmut Kohl menurun terbukalah sudah pintu pemogokan itu. Popularitas Kohl itu antara lain merosot karena Hans-Dietrich Genscher, menteri luar negerinya (dari Partai Demokrat Bebas), mengundurkan diri. Menurut Meinhard Miegel, Direktur Institut Masyarakat dan Ekonomi di Bonn, masalah pemogokan buruh di Barat ebetulnya bukan urusan material tapi "lebih pada masalah psikologis". Buruh Jerman tiba-tiba merasa bahwa yang dikerjakannya tidak lagi sepadan dengan gajinya setelah pajak-pajak naik. Pemogokan buruh itu sejauh ini dianggap belum berbahaya -- mungkin karena itu para direktur pabrik mengulur-ulur perundingan meski pemerintah sendiri mengakui masalah ini sangat mengganggu. Yang dicemaskan adalah bila gelombang pemogokan itu menular kepada para tekniksi. Ada contohnya, ketika para teknisi mogok selama dua bulan di tahun 1984. Akibatnya, industri mobil Jerman nyaris bangkrut. Soal psikologis, yang diungkapkan oleh Direktur Masyarakat dan Ekonomi di Bonn, tampaknya tepat. Para buruh Jerman (Barat) kecewa melihat bantuan yang dikucurkan untuk rekan mereka yang dulu buruh industri Jerman Timur terasa sia-sia. Bantuan itu hanya menimbulkan iri karena tingkat keterampilan buruh eks Jerman Timur jauh di bawah tapi upah mereka sama. Tapi memang mustahil mengharapkan mutu pekerjaan sama dalam waktu dekat. Soal psikologis itu juga ditimbulkan oleh kebijaksanaan Kohl mengikutsertakan Jerman dalam proyek Eurofighter, proyek kerja sama di bidang pesawat tempur di Eropa Barat untuk mempertahankan diri dari serangan komunis. Masih adakah negeri komunis yang kuat? Kanselir Kohl memang sedang diserang dari segala penjuru. Dan ekonomi Jerman kebetulan memburuk meski sebagai gajah ekonomi hal itu tak begitu terlihat di permukaan. Inflasi tercatat melonjak hingga 4,5%. Akan lain soalnya bila para teknisi ikut mogok, solider terhadap buruh. Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini