Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIA melompat dari jendela lantai 10 kantor polisi dan mati. Empat puluh lima tahun lalu, di masa Afrika Selatan masih dibelenggu politik apartheid, pengadilan yang dipimpin hakim kulit putih menyatakan Ahmed Timol, aktivis kulit hitam anti-apartheid dan anggota Partai Komunis Afrika Selatan, meninggal bunuh diri karena menolak mengungkap jaringan partainya saat diinterogasi polisi.
Tapi, awal Oktober lalu, Pengadilan Tinggi Gauteng Utara di Pretoria, Afrika Selatan, memutuskan sebaliknya: Timol dibunuh polisi. "Timol meninggal karena didorong dari lantai 10 gedung John Vorster Square dan jatuh ke tanah," kata Billy Mothle, hakim dalam persidangan kasus ini.
Mothle menyatakan para polisi yang menginterogasi Timol pada hari itu bertanggung jawab atas kematian pemuda 30 tahun tersebut. Mothle juga memutuskan bahwa Joao Jan Rodrigues, pegawai kepolisian yang mengaku melihat Timol bunuh diri, telah menutup-nutupi kebenaran. "Rodrigues harus diselidiki karena membuat pernyataan di bawah sumpah yang bertentangan," ujarnya.
Keluarga Timol, yang berjuang puluhan tahun untuk mengangkat kasus ini, menyambut gembira perkembangan tersebut. "Selama 46 tahun, polisi, yang terlibat dalam pembunuhan dan menutupi kejahatan mereka, telah menghindari tanggung jawab mereka," kata keluarga itu dalam pernyataan resmi mereka.
Rabu pekan lalu, keluarga Timol menerima sepucuk surat dari Kantor Kejaksaan Afrika Selatan (NPA) yang memberi tahu kejaksaan mereka telah memerintahkan polisi untuk membuka tiga kasus yang berhubungan dengan kematian Timol. "Bersama Unit Litigasi Pidana NPA, kami akan menyelidiki masalah ini," ujar Hangwani Mulaudzi, juru bicara Direktorat Penyelidikan Kejahatan Prioritas Kepolisian Afrika Selatan. "Semua orang yang pernah bersaksi akan diwawancarai."
Timol adalah satu dari 73 tahanan politik di negeri itu yang meninggal dalam tahanan selama 1963-1990. Dalam 33 kasus yang pernah disidangkan, semua dinyatakan meninggal karena bunuh diri. Keluarga korban umumnya lebih percaya bahwa mereka dibunuh setelah disiksa polisi. Pengadilan kasus Timol ini membuka peluang bagi dibukanya kembali kasus-kasus kematian tahanan politik lain di era apartheid.
Keluarga Matthews Mabelane, aktivis anti-apartheid yang juga meninggal seperti Timol, misalkan, kini mulai datang ke pengadilan. Mereka menuntut kejelasan kasus Matthews, yang tewas pada 15 Februari 1977. Pengadilan saat itu menyatakan Matthews Mabelane meninggal karena kecelakaan, terjatuh dari jendela lantai 10 gedung John Vorster Square. Tapi, sebelum meninggal, ia meninggalkan pesan untuk adiknya yang ditulis di balik saku celananya: "Adik Lasch, beri tahu Ibu dan saudara lain bahwa polisi akan mendorongku dari lantai 10 dan aku ucapkan selamat tinggal selamanya."
Inilah yang membuat keluarganya tak percaya Matthews bunuh diri. "Aku pikir polisi pelakunya," kata Phillip Mabelane, ayah Matthews. "Aku ingin keadilan, kebenaran, dan pengungkapan," ujar pria 95 tahun itu.
AHMED Timol lahir di Breyten, Transvaal (kini Mpumalanga), Afrika Selatan, 3 November 1941. Ayahnya adalah Haji Yusuf Ahmed Timol dan ibunya Hawa Ismail Dindar yang datang dari India pada 1918. Ayah Ahmed Timol adalah teman dekat Yusuf Mohamed Dadoo, pemimpin Kongres India Transvaal dan Ketua Partai Komunis Afrika Selatan.
Setamat sekolah menengah atas, Timol kuliah di Institut Keguruan India Johannesburg. Dia kemudian mengajar di Sekolah Menengah Atas Roodepoort. Pada 1969, Timol bersama Thabo Mbeki, yang nanti menjadi Presiden Afrika Selatan, terpilih masuk Sekolah Lenin Internasional di Moskow, tempat untuk mendidik kader-kader partai komunis.
Pulang dari Moskow, Timol mulai terlibat gerakan bawah tanah bersama sahabatnya, Salim Essop, mahasiswa kedokteran di Witwatersrand University. Mereka aktif menyebarkan pamflet-pamflet politik. Tapi polisi mulai mencurigai gerak-gerik Timol.
Setelah berbuka puasa di bulan Ramadan pada Jumat, 22 Oktober 1971, Timol dan Salim Essop diciduk polisi. Mereka dibawa ke Kantor Polisi John Vorster Square. Keduanya diinterogasi secara terpisah. Dalam persidangan pada Juli lalu, Essop mengaku dia disiksa polisi selama empat hari di ruang 1013. Polisi mencekik, menyetrum, dan memukulnya berkali-kali. "Aku hampir mati," kata Essop, yang mengenali para penyiksanya sebagai Kapten Johannes van Niekerk dan Kapten Johannes Gloy. Dia juga sempat melihat Timol, yang jalannya tak normal.
Salim Essop akhirnya kolaps dan dibawa ke rumah sakit. Dia kemudian dibui di Penjara Pretoria. Pengadilan kemudian memvonisnya lima tahun penjara karena pelanggaran politik. Setelah bebas, Essop meninggalkan negeri itu pada 1981 dan menjadi warga negara Inggris.
Timol ditahan selama lima hari di kamar nomor 1026. Di persidangan pada Juli lalu, Joao Jan Rodrigues, pegawai administrasi kepolisian, mengaku melihat Timol bersama Niekerk dan Gloy di kamar itu. Keduanya lalu keluar dan dia menjaga Timol. Lalu Timol minta izin ke kakus, tapi berbalik arah di tengah jalan dan mendekati jendela. Rodrigues mengaku berusaha mencegahnya, tapi jatuh tersungkur.
"Aku melihat dia membuka jendela dan melompat. Aku bergerak secepat mungkin, tapi tak dapat menggapainya sebelum dia melewati jendela," ujar pria 78 tahun itu. Polisi menggambarkan kematian Timol itu dengan ungkapan "orang India tak bisa terbang".
J. L. De Villiers, hakim kasus ini, menyatakan Timol meninggal karena bunuh diri. Polisi menyatakan bahwa tak seorang pun yang menyentuh Timol. Tapi bukti forensik menunjukkan keanehan: seluruh tubuhnya penuh luka, bahkan luka di atas luka.
Orang-orang kulit hitam mengecam kematian yang tak wajar itu. Tapi negeri itu sedang dikuasai oleh pemerintah kaum kulit putih. Tak ada yang berani memprotes keputusan De Villiers.
Kini keadaannya berbeda. Apartheid sudah dihapuskan pada 1990. Kasus ini dibuka kembali oleh NPA, lembaga yang melanjutkan penyelidikan dan pengadilan atas kasus-kasus yang tak selesai dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi didirikan pada 1996 dan bekerja hingga 2000 untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di era apartheid. Komisi itu dapat memberikan amnesti bagi para pelaku yang bersedia mengungkap seluruh kebenaran dan meminta pengampunan. Selama proses itu, Komisi menerima sekitar 7.000 permohonan amnesti, tapi hanya 849 yang diberi pengampunan. Banyak permohonan ditolak karena tak memenuhi syarat. Komisi juga menyerahkan 300 kasus ke NPA untuk dilanjutkan ke meja hijau, termasuk kasus Ahmed Timol.
Kasus Timol pernah diangkat di Komisi. Ibu Timol, Hawa Ismail Dindar, memberikan testimoni pada 30 April 1996. Tapi tak satu pun dari polisi yang terlibat dalam kasus itu datang ke persidangan. Kasus ini pun mandek.
Pada 2003, Imtiaz Cajee, sepupu Timol yang berinisiatif melakukan penyelidikan, mendekati jaksa Bulelani Ngcuka. Dia memberi tahu bahwa tak satu pun dari polisi yang terlibat kasus ini mengajukan permohonan amnesti di Komisi. Tapi pengadilan menganggap tidak cukup bukti untuk membuka kembali kasus ini.
Pada 2016, keluarga Timol mengajukan bukti baru, yakni kesaksian Seth Sons, bekas polisi yang juga berada di gedung John Vorster Square ketika Timol tewas. Sons melawan kesaksian Joao Jan Rodrigues bahwa Timol meninggal bukan pada pagi, tapi sore hari. Hal inilah yang membuat kasus itu dibuka kembali hingga akhirnya hakim Billy Mothle memutuskan bahwa Timol telah dibunuh. Sayangnya, para tokoh kunci telah pergi. Mayor Jenderal Stoffel Buys, kepala divisi investigasi kepolisian, meninggal pada 25 Februari 2007. Niekerk wafat pada 31 Oktober 2006 dan Gloy pada 30 Juli 2012.
Kurniawan (herald Live, News 24, Sunday Times Inside, Ewn)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo