Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PIERRE-Louis Padang Coffin, 50 tahun, seperti hanya punya satu kesibukan di Ubud Writers & Readers Festival 2017. Ia mendampingi Nh. Dini yang wira-wiri sebagai bintang utama acara yang berlangsung pada 25-29 Oktober itu. Saban novelis legendaris itu naik-turun undakan, Coffin sigap memapahnya, lalu berdiri di belakangnya. Saat banyak orang tergelak, wajah pria asal Prancis itu lempeng saja karena tak paham bahasa Indonesia.
Coffin tak lain adalah putra Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, nama lahir Nh. Dini, 81 tahun, dan diplomat Prancis, Yves Coffin. Dialah Padang, adik Lintang, yang kerap disebut sastrawan feminis itu dalam karya-karyanya. Tahun-tahun sebelumnya, Coffin selalu menampik undangan ke acara tahunan yang berlangsung di Pulau Dewata tersebut. "Kali ini tentang ibu saya, jadi saya datang," ujarnya.
Coffin adalah sutradara tiga seri Despicable Me dan Minions, film animasi yang tersohor seantero jagat. Film yang pertama muncul pada 2010 ini menjadi film animasi paling laris sepanjang sejarah. Minions, yang tayang sejak 2015, meraup lebih dari Rp 15 triliun. Adapun film terbarunya yang diluncurkan pada Juni lalu, Despicable Me 3, bahkan masuk peringkat ketiga film terlaris tahun ini dengan pendapatan sekitar Rp 14 triliun. Keempat film garapan rumah produksi Illumination Entertainment dan Universal Pictures itu meraup pendapatan Rp 50 triliun.
Minions, makhluk kuning hasil khayalan Coffin, mendunia dan muncul di hampir setiap arah mata memandang, dari game di telepon seluler, mainan berbanderol jutaan rupiah di mal, piyama Rp 30-an ribu di pasar tradisional, hingga botol air minum kemasan. Coffin-lah yang mengatur langsung semua hal yang berkaitan dengan minions. Ia pula yang mengisi suara minions di empat film tersebut dan menyelipkan bahasa Indonesia.
Di sela perhelatan Ubud Writers & Readers Festival, Kamis pekan lalu, Coffin menerima wartawan Tempo Reza Maulana. Pyer begitu Coffin menyebut dirinya- bercerita panjang-lebar soal proses kreatif dan keputusannya berhenti memproduksi kelanjutan Despicable Me dan Minions, pertentangan pemikirannya dengan pembuat film Amerika Serikat, serta kecintaannya pada film laga Indonesia, The Raid. Nh. Dini, yang mendapat Lifetime Achievement Award dari penyelenggara Ubud Writers & Readers Festival 2017, menambahkan beberapa poin dalam wawancara satu jam ini.
Dari mana ide menciptakan minions?
Konsep utama Despicable Me menggambarkan kehidupan penjahat setelah beraksi. Seperti musuh James Bond, mereka biasanya punya banyak pembantu. Ide awal kami adalah Gru, si lakon utama, dibantu pasukan laki-laki berotot. Namun kami tidak mampu memasukkan ratusan karakter seperti itu dalam satu gambar. Terlalu kompleks. Dengan alasan keuangan, kami harus membuat para pembantu tersebut lebih simpel. Eric Guillon, desainer film itu, menyederhanakannya menjadi pekerja dengan baju terusan, kaus oblong, dan topi. Tapi kami merasa itu masih terlalu manusia. Saya dan Chris Renaud (sutradara bersama Despicable Me dan Despicable Me 2) meminta Guillon membuat sesuatu yang belum pernah ada. Dia lalu membuat semacam karakter kodok dengan kacamata besar. Kami terus memintanya menggambar lebih sederhana, sebelum menjadi makhluk kuning berbentuk kapsul, minions. Kami mempertahankan baju terusan dan kacamatanya.Berapa jumlah minions dalam gambaran Anda?
Saya pernah bilang mengisi suara untuk 999 minions. Tapi itu cuma bercanda. Tidak ada angkanya. Minions ada enam jenis: tinggi, sedang, pendek. Masing-masing ada yang bermata satu dan dua.Ibu Anda seorang feminis. Mengapa tidak ada minions perempuan?
Saya tidak tahu harus jawab apa karena tidak pernah memikirkannya. Dulu saya pernah bilang minions kelewat bodoh dan tak bertanggung jawab, saya tidak melihat perempuan seperti itu. Namun kemudian e-mail saya kebanjiran hujatan. Padahal itu kan cuma bercanda.Kapan Anda merasa perlu memasukkan kata-kata riil dalam omongan minions?
Saat Despicable Me tayang di Italia, semua omongan minions dibuat dalam bahasa Italia. Langsung saya kumpulkan tim internasional dan melarangnya. Tugas kami adalah membuat penonton memahami omongan dalam bahasa yang tidak pernah ada tersebut. Mulai Despicable Me 2, saya menghabiskan satu bulan memilih kata-kata dari berbagai bahasa dan memasukkan dalam percakapan mereka.Termasuk bahasa Indonesia?
Ya, di Minions (2015). Mereka menyerap banyak bahasa. Sebab, diceritakan, minions ada sejak awal dunia dan terus berkelana ke mana-mana. Saya sengaja memasukkan kata "terima kasih" saat mereka menerima mahkota dari Ratu Inggris karena itu bagian penting dari keseluruhan cerita. Semua yang menyangkut minions menjadi bagian kerja saya. Orang lain tidak bisa menulisnya karena tidak ada yang paham minions bicara apa.Sebagai pembuat film yang disukai anak-anak, Anda minta pendapat putra-putri Anda?
Sebelum rilis, saya kerap menunjukkan beberapa bagian film, yang saya buat sendiri dan saya rasa lucu. Saya memamerkannya karena saya bangga, hi-hi-hi....Contohnya apa?
Saat minions muncul di logo Illumination Entertainment di awal film. Saya selalu mengerjakan bagian itu sendirian. Karena bagian itu singkat, kami harus memastikannya mengundang senyum.Despicable Me 3 dikritik karena tidak memiliki plot kuat. Pembelaan Anda?
Plotnya memang aneh. Alur kerja kami begini: produser Chris Meledandri memberi ide besar cerita, misalnya Gru bertemu dengan saudaranya di Despicable Me 3, penulis membuat cerita, sutradara bisa menyetujui atau tidak. Kami diberi tiga tahun untuk satu film. Kerja itu berjalan lancar pada dua film awal. Kami masih bisa mengarahkan cerita. Tapi, pada film ketiga, Minions, mulai aneh. Di Despicable Me 3, kami tidak diberi pilihan cerita yang bagus dalam mengembangkan ide awal. Inilah kesulitan bekerja dengan studio Amerika Serikat. Sutradara bergantung pada penulis dan produser, yang sangat campur tangan. Mereka kerap bilang tidak setuju ini-itu, tapi tidak bisa menyampaikan apa yang mereka inginkan. Itu proses yang sulit.Anda merasa tidak puas akan Minions dan Despicable Me?
Saya tidak bisa bilang itu film yang bagus atau tidak. Tapi, sejak sebelum rampung, saya merasa keduanya bisa menjadi film yang jauh lebih baik.Anda menyampaikan protes ke produser?
Produser saya bilang, "Oke, mungkin kedua film ini tidak sebaik pendahulunya. Tapi lihat dong pendapatannya yang setinggi langit. Lebih dari US$ 1 miliar." Minions menjadi film dengan pemasukan tertinggi kami, diikuti Despicable Me 3.Apa reaksi Anda?
Saya jadi tidak bisa berargumen lebih jauh. Apakah pendapatan itu karena pemasaran, apakah penonton kecewa. Tidak ada yang tahu.Bagaimana Anda mengantisipasi kebosanan terhadap minions?
Sejujurnya, saya tidak tahu. Saya merasakan orang mulai bosan terhadap minions yang muncul di mana-mana menjelang peluncuran Minions, karena pemasaran yang sangat masif. Saya pikir orang akan membenci minions di Despicable Me 3. Meledandri menanggapi kekhawatiran itu dengan survei yang menyatakan orang masih menyukai minions. Tapi, tetap saja, perasaan saya mengatakan jangan lagi membuat film tentang minions.Apa tanggapan produser?
Dia tidak mau melakukannya. Mungkin dia mendapat tekanan dari Universal Pictures, distributor Despicable Me. Sukses Universal hanya didapat dari seri Fast & Furious dan kami.Anda tidak lagi tertarik menggarap franchise film tersebut?
Saya masih berutang mengerjakan dua film untuk Illumination. Namun saya bilang tidak mau terlibat di Minions 2 dan Despicable Me 4, yang sekarang sedang digarap. Itu murni keputusan saya. Saya capek. Jadi tidak ada minions lagi di film saya berikutnya. Belum terpikir seperti apa. Tapi saya tetap mengisi suara di dua film tersebut. Saya melakukannya dengan senang hati.Ada rencana membuat film non-animasi?
Tidak. Saya ingin membuktikan tetap bisa menggambar, seperti yang saya lakukan selama ini.Anda menganggap sukses franchise Despicable Me sebagai beban atau berkah di karya selanjutnya?
(Tersenyum) Berkah, karena uangnya. Duit memberi kita waktu. Saya bisa berhenti bekerja setahun dan mengerjakan hal-hal lain.Mengapa Anda mengatakan ayah Anda tidak menghargai pekerjaan Anda?
Kami berselisih paham. Di awal karier, saya membuat banyak iklan. Ayah mengatakan pekerjaan saya hanyalah untuk pemadat dan pecandu alkohol. Padahal saya normal-normal saja. Saya benci narkotik dan cuma minum sedikit alkohol.Nh. Dini: Dia juga bilang begitu ke saya, "Anakmu itu pecandu narkoba." Dalam bahasa Jawa, mereka jotakan, saling ngambek.
Sebaliknya, ibu Anda menyebut dirinya mbahnya minions....Ya. Bisa dibilang begitu, ha-ha-ha....
Nh. Dini: Saya sangat bangga kepada Padang. Meski terpisah negara, komunikasi kami tidak pernah putus. Saya serahkan semua surat saya ke Padang dan Lintang (Marie-Claire Lintang, kakak perempuan Coffin) ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Jakarta.Seberapa sering Anda berdua bertemu?
Antara 10 dan 15 tahun terakhir, saya tidak pernah bisa benar-benar berlibur. Sebab, sekitar enam bulan sebelum proyek berakhir, saya sudah harus memulai film berikutnya. Nh. Dini: Sebelum ini, kami terakhir bertemu pada 2013. Saya berlibur ke rumah keluarga Padang di Paris.Ada kabar menyebutkan ibu Anda ditelantarkan anak-anaknya. Komentar Anda?
Ha-ha-ha.... Jangan tanya saya. Tanya Ibu saja.Nh. Dini: Saya tidak pikirin orang bilang apa. Yang penting saya bahagia, anak-anak saya bahagia.
Anda mengirim uang kepada ibu Anda?Nh. Dini: Ya, sejak 2013. Dia membantu hidup saya. Saya tidak pernah meminta, tapi setiap dua bulan selalu dikirimi uang. Saya bisa tetap tegak seperti sekarang karena suplemennya macam-macam. Pengeluaran paling banyak untuk taksi dan pengobatan tusuk jarum.
Coffin: Bukan saya yang melakukannya. Itu kerjaan istri saya, ha-ha-ha....Sewaktu kecil, Anda dilarang menonton televisi. Kapan mulai bersinggungan dengan dunia film?
Ayah memang melarang saya menonton, tapi Ibu membolehkannya. Saya bolak-balik ke bioskop bersamanya untuk nonton semua film Marx Brothers, sekitar umur 15. Saat itulah saya bercita-cita ingin membuat film.Apa film favorit Anda?
Saya punya daftar 10 film terbaik dan itu selalu berganti-ganti. Satu yang tidak pernah berubah adalah Singin' in the Rain (karya Gene Kelly, 1952). Film itu punya segalanya: musik, keajaiban, cerita nyata, dan semua pemainnya terlihat sangat bergembira.Siapa sutradara favorit Anda?
Saat ini saya tidak tahu.Anda membaca novel Nh. Dini?
Tidak. Hanya beberapa cerita pendek yang diterjemahkan ke bahasa Prancis.Pernah ingin belajar bahasa Indonesia dan baca karya Ibu?
Sekarang sih sudah terlambat. Memori saya sangat buruk. Padahal dasar belajar bahasa adalah ingatan, yang pelan-pelan tapi pasti, kabur dari kepala saya, ha-ha-ha.... Tapi saya senang melihat Ibu di Ubud Writers & Readers Festival karena dia sangat dihargai.Anda diundang ke festival tahun ini?
Saya sebenarnya tidak diundang. Saya hanya memberi tahu Janet De Neefe (pendiri dan Direktur Ubud Writers & Readers Festival) bahwa saya akan datang khusus untuk Ibu. Lalu Janet bertanya, saat berada di sini, apakah saya bersedia memberikan ceramah dan mengenalkan film saya. Beberapa tahun lalu saya diundang menghadiri Ubud Writers & Readers Festival. Saya selalu menolaknya. Kali ini tentang ibu saya, jadi saya datang.
Pasti. Saya penggemar berat mereka.Kapan pertama kali menyaksikannya?
Saat-saat awal mengerjakan animasi, sekitar 1990-an. Karena tidak ada yang menjual, para animator menduplikasikan kaset VHS secara berantai. Pertama kali saya menonton Totoro, kasetnya merupakan penggandaan kesepuluh.Pernah menonton film Indonesia?
Saya sangat suka The Raid (karya Gareth Evans, 2011). Itu bagus sekali. Saya menonton The Raid 2 (karya Gareth Evans, 2014) di bioskop di Paris. Tapi film pertamanya tidak ditayangkan. Jadi saya menonton rekamannya. Ada juga film animasi pendek. Sutradaranya membuatnya dengan perangkat lunak gratisan. Tapi saya lupa judulnya.Bagaimana Anda membandingkan The Raid dengan film laga internasional?
Film tersebut berbeda dengan produksi Amerika Serikat. Perbedaan itu menjadikannya menyegarkan. Sama seperti saat Anda menyaksikan film zombie Korea, Train to Busan (karya Yeon Sang-ho, 2016).Menurut Anda, mengapa film Indonesia sulit go international?
Semua tergantung distributornya. Faktor lain adalah pasar dan budaya di negara tujuan. Ada juga peran otoritas. Misalnya Kedutaan Besar harus mempromosikan film-film Indonesia. Kalau mereka sudah melakukan itu, berarti kerja mereka tidak begitu bagus.Apakah animator perlu ke Amerika supaya karyanya lebih terasah?
Tidak. Saya sendiri contohnya. Produser Amerika yang mendatangi saya. Mereka meminta saya ke Amerika, saya menolak karena tim saya di Prancis. Akhirnya produksi Despicable Me dan Minions dilakukan di negara saya.Bagaimana Anda memandang produk bajakan minions?
Bagus. Barang bajakan menunjukkan betapa orang-orang menyukai suatu karya. Kalau ada orang menyukai minions, membuat boneka, lalu mendapat keuntungan darinya, silakan. Toh, kami sudah mendapat miliaran dolar Amerika hanya dari film-filmnya. Saya sih tidak ada masalah, tapi rasanya produser saya keberatan, ha-ha-ha....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo