PENJARA mengajarkan banyak kepada para pejuang. Selama 18 bulan
Anwar Sadat dikurung dalam Sel 54 di Penjara Pusat Kota Kairo.
Umurnya waktu itu baru 30 tahun, dan sesuatu yang penting
agaknya terjadi. Seperti kemudian dikisahkannya dalam
otobiografinya, In Search of Identity, dalam sel itu ia
mengalami "kelahiran kembali", sebagai sufi dan fellah--sebagai
mistikus dan sekaiigus petani.
Kita tak tahu manakah yang lazimnya dikisahkan dalam otobiografi
seseorang, terutama seorang yang punya selera dramatik seperti
Sadat: adakah yang dikisahkannya kenyataan, ataukah hanya
keinginan. Kita cuma tahu bahwa ketika ia berangkat ke
Jerussalem, menawarkan damai kepada Israel--musuh tanah airnya
selama 30 tahun dan musuh bangsanya selama lebih dari itu-ia
kembali teringat akan Sel 54.
Ia merasakan kembali "kekuatan batin" yang diperolehnya di dalam
penjara itu: suatu "kekuatan, atau katakanlah kemampuan, untuk
perubahan". "Renunganku, tentang hidup dan kodrat manusia dalam
tempat yang tersisih itu, telah mengajarkan kepadaku, bahwa
orang yang tak dapat mengubah jaringan pikirannya sendiri, tak
akan pernah mampu mengubah realitas, dan karena itu tak akan
pernah membuat kemajuan apa pun . . . "
Bagi sebagian bangsa Arab, terutama orang Palestina yang terusir
dan tak bertanah air, perubahan Anwar Sadat adalah perubahan
dari seorang kawan menjadi seorang pengkhianat. Tapi bagaimana
pun juga sukar untuk dibantah, bahwa orang ini adalah seorang
pemberani. Ia, untuk memakai klasifikasi Sidney Hook dalam The
Hero in History, bukan cuma seorang eventful man. Ia juga
seorang event-making man.
Sadat tak cuma kebetulan berbuat pada saat yang tepat. Dia tak
sekedar terperosok ke dalam kebesaran bagaikan seorang yang
terperosok pada seunggun harta karun yang sanggup menyelamatkan
sebuah kota. Sadat telah membantu terciptanya jalan-jalan
sejarah. Dengan saraf yang tegang.
Sejarah itu mungkin kelak lebih menyedihkan jadinya, tapi
mungkin pula lebih memberi harapan atau hanya mengulang kisah
lama. Kita belum bisa menilainya sekarang. Yang bisa kita lihat
ialah bahwa ada seorang yang berani mengambil risiko,
mempertaruhkan nasib politik dan nasib dirinya--di tengah
oposisi yang ia tahu pasti--untuk melakukan apa yang ia anggap
terbaik. Dilihat dari risiko yang ia ambil, (dan kemudian
terbukti ketika ia dibunuh di panggung terbuka, ia benar tatkala
ia berkata, "Aku telah memberikan kepada Israel segala-galanya."
Pada saat ia mengatakan demikian, sebenarnya ia menuntut. Ia
dengan kekuatan dirinya menemui hidup sebagai proses yang selalu
terlibat dalam kelangkaan yang menggelisahkan: kelangkaan
perdamaian, kelangkaan ketenteraman, kelangkaan benda pemenuh
kebutuhan -- bahkan juga kelangkaan alternatif untuk mengatasi
pelbagai kelangkaan itu.
Karena itulah Sadat memberi, dan mengharap balas sebagaimana
layaknya, karena hasil akhir tak pernah bisa mutlak. Ia mencoba.
Bahaya dari percobaan itu bukanlah hanya kegagalan. Bahaya dari
percobaan itu juga apa yang disangka sebagai sukses -- terutama
bagi seorang seperti Anwar Sadat, yang kadang bertindak seakan
tanpa berpikir panjang, dan merasa punya kekuatan batin dari Sel
54.
Sukses seorang pembuat jalan sejarah bisa membikin seseorang
besar, tapi seperti konon kata sebuah pepatah kuno Tiongkok:
"Orang besar adalah nasib malang masyarakatnya."
Nasib malang, bila ia punya kecenderungan untuk menjadi lebih
besar dari seperlunya Nasib malang, bila ia menjangkau ke tiap
sudut. Nasib malang, bila ia tak sabar dan menghimpun juru-juru
paksa. Dan nasib malang, bila ia lupa bahwa dia tak bisa hidup
1000 tahun lagi.
Sadat tewas sebelum ia menjadi nasib malang itu. Lalu di
jalan-jalan Beirut dan Tripoli orang-orang menembakkan bedil ke
langit penuh gembira. Di Kairo orang menangis. Apa pun reaksi
mereka satu hal cenderung dilupakan: Tuhan telah memberi Sadat
sebuah istirahat yang tepat. Kali ini selamanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini