Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG janda 72 tahun-sebut saja bernama Seo-yeon karena ia menolak identitas aslinya diungkap-memutuskan berobat ke Rumah Sakit St Mary di Pyeongtaek, kota asri di selatan Seoul, Korea Selatan. Ia sudah lama menderita infeksi saluran kemih. Pada saat bersamaan, 12-22 Mei lalu, seorang pria yang baru tiba dari Timur Tengah berobat di tempat yang sama. Mengeluh sesak napas dan suhu badannya tinggi, pria 68 tahun ini dinyatakan mengidap virus sindrom pernapasan Timur Tengah (Middle East respiratory syndrome) alias MERS.
Lantaran yang terjadi di Korea Selatan itu merupakan kasus pertama seseorang terjangkit virus MERS, dokter di sana belum mengambil tindakan serius. Pasien yang dirawat di rumah sakit itu dan sudah sembuh, bukan akibat MERS, bahkan diizinkan pulang. Untuk berjaga-jaga, dokter meminta mereka mengisolasi diri di rumah, termasuk Seo-yeon.
Saran untuk mengisolasi diri kepada orang yang berpotensi terpapar virus MERS adalah hal lumrah. "Ini sebagai tindakan preventif," kata Alison Clements-Hunt, juru bicara Badan Kesehatan Dunia (WHO), pekan lalu. Tapi, bagi warga Korea Selatan, yang tak terbiasa terkena wabah mematikan dalam beberapa dekade, mengisolasi diri di rumah adalah hal yang tak lazim.
Anjuran pemerintah atau dokter itu tak pernah digubris. Contohnya, setelah wabah MERS mulai merebak, seorang pria yang dicurigai terkena virus mematikan itu tetap bepergian ke luar negeri. Seorang wanita yang diminta tinggal di rumah karena diduga terserang virus MERS malah pergi bermain golf bersama teman-temannya.
Itu pula yang dilakukan Seo-yeon. Ia memutuskan pulang ke rumahnya di Jangdeok. Alasannya, ia tak mau merepotkan putranya yang menetap di kota itu dengan berlama-lama di sana. Ketika pihak rumah sakit menanyakan keadaannya, selalu dijawab dengan, "Baik-baik saja."
Setelah pulang, Seo-yeon melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasa-berkunjung ke rumah tetangganya, pergi berbelanja, atau sekadar duduk-duduk di taman. Sepekan kemudian, Seo-yeon terserang demam hebat. Napasnya sedikit tersengal. Ia lantas mendatangi klinik Sunchang di kota kecil berpenduduk 73 keluarga itu.
Setelah memeriksa Seo-yeon, dokter memvonisnya positif terserang MERS. "Kami langsung melakukan tindakan pencegahan," ujar Kwon Mi-gyeong, dokter di klinik Sunchang. Tapi, lantaran peralatan di sana kurang memadai, Seo-yeon akhirnya dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Agar virus tak menyebar lebih luas, 40 pasien di Sunchang diisolasi, tak boleh pulang.
Tak mau kecolongan, pemerintah setempat langsung melakukan tindakan ekstrem: Jangdeok dinyatakan tertutup dan berada di bawah pengawasan ketat. Status karantina berlaku menyeluruh. "Penduduk di sini kelihatan tak senang," kata Mi-gyeong. "Mereka tak mau membuka pintu ketika kami hendak memeriksa kondisi kesehatan dua kali sehari. Rata-rata mengaku sehat."
Setelah Jangdeok dinyatakan tertutup dan diisolasi total, sejak dua pekan lalu, kehidupan penduduk ikut berubah. Saat di luar rumah, mereka tak pernah melepas masker penutup hidung. Ketika berpapasan dengan orang lain, mereka menolak berjabat tangan. Ketika berbicara pun mereka saling menjaga jarak. "Kehidupan di sini seperti berhenti," ucap Cheongdam, biksu di Jangdeok.
Pemerintah Kota Jangdeok pantas waspada. Sebab, 37 orang terinfeksi virus MERS di rumah sakit Pyeongtaek, tempat Seo-yeon pernah dirawat inap. Empat di antara mereka membawa virus itu keluar dari Pyeongtaek dan menularkannya ke rumah sakit di sekitar Seoul dan kota lain. Seperti Seo-yeon, para pembawa virus MERS ini tak bercerita bahwa mereka pernah mengunjungi Pyeongtaek.
Hingga akhir pekan lalu, sudah 19 orang dinyatakan meninggal akibat virus MERS di Korea Selatan. Belum ada tanda-tanda wabah virus yang belum ditemukan obat penangkalnya ini segera mereda. Pemerintah Korea Selatan terus berupaya menghentikan penyebarannya. Untuk penyembuhan, salah satu cara yang dilakukan adalah melakukan uji coba terapi plasma.
Terapi itu pernah diterapkan pada pasien SARS atau sindrom pernapasan akut. Hasilnya positif. Angka kematian menurun hingga 23 persen.
Firman Atmakusuma (the Guardian, The New York Times, Yonhap)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo