Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hasrat Lama Anggaran Baru

Politikus Senayan kembali merancang anggaran gentong babi yang sempat ditolak pada periode sebelumnya. Memanfaatkan celah sumpah jabatan.

22 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG rapat Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat pada pukul 14.00, Rabu pekan lalu, masih kosong melompong. Seharusnya, menurut jadwal, Panitia Kerja Tim Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan akan memulai pembahasan aturan teknis pengusulan program sejam sebelumnya.

Ketua Panitia Kerja Totok Daryanto baru membuka rapat pada pukul 14.30, yang dinyatakan tertutup untuk umum. Fraksi NasDem, yang menolak rencana kebijakan ini, memilih tak mengirimkan anggotanya ke ruang rapat.

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arif Wibowo, yang hadir dalam pertemuan itu, mengatakan selama satu jam lebih perdebatan masih berkutat soal mekanisme pengajuan program. Dia meminta kebijakan ini memenuhi sejumlah syarat. Misalnya proporsional dan adil, mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah, memenuhi kebutuhan mendesak masyarakat, serta menghindari praktek percaloan. "Jika syarat-syarat ini tak terpenuhi, dana aspirasi mesti ditolak," kata Arif, Rabu pekan lalu.

Rapat bubar pada pukul 16.00 tanpa keputusan apa pun. Totok Daryanto mengatakan tim akan mengharmonisasi sejumlah pasal agar syarat proporsional dan berkeadilan terpenuhi. Menurut Totok, Dewan akan membentuk tim untuk memverifikasi setiap usul yang masuk ke sidang paripurna. Tim inilah yang bakal menilai kelayakan usul program di daerah pemilihan.

Dalam draf peraturan DPR yang diperoleh Tempo, ada sejumlah program yang bisa diajukan politikus Senayan. Misalnya penyediaan air bersih, perbaikan tempat ibadah, pembangunan kantor desa, peningkatan sarana olahraga, pengadaan bibit, dan penyediaan sarana Internet. Setiap tahun usul program disampaikan paling lambat pada Maret tahun berjalan. Khusus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016, menurut pasal 8, pengajuan paling lambat pada akhir Juni 2015.

Arif menuturkan, mekanisme yang longgar justru bakal membuat kebijakan menjadi polemik di publik. Salah satu kekhawatiran Arif adalah perebutan klaim politik antar-anggota Dewan di daerah pemilihan yang sama. Namun kecemasan ini ditampik Totok. Menurut dia, politik klaim tak akan terjadi karena beberapa anggota Dewan tak boleh mengajukan program yang sama di daerah pemilihan mereka. Aturan itu direncanakan selesai sebelum parlemen memasuki masa reses pada akhir Juni ini.

Sejatinya jejak dana aspirasi telah lama terekam di Dewan Perwakilan Rakyat. Gagasan ini muncul sejak 2010 dalam pertemuan informal koalisi pendukung pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono di Sekretariat Gabungan. Kebijakan ini terinspirasi dari politik pork barrel alias anggaran gentong babi di Amerika Serikat pada 1980-an. Ketua Badan Anggaran kala itu, Harry Azhar Azis, mengusulkan setiap anggota menerima anggaran Rp 15 miliar. Namun usul ini ditolak Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Rencana ini kandas karena juga ditentang publik.

Ditolak kanan-kiri, politikus Senayan tak patah semangat. Mereka mencari jalan agar pengajuan dana aspirasi memiliki landasan hukum. Celah ini ketemu ketika Dewan 2009-2014 hendak merevisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Selain perubahan pemilihan pimpinan alat kelengkapan, poin lain yang alot diperdebatkan adalah bagaimana agar dana aspirasi tak menimbulkan polemik di publik. Ketua Panitia Khusus Benny Kabur Harman menjadi motor agar anggota Dewan bisa mengabulkan berbagai keinginan konstituen.

Adu argumen sebenarnya selesai ketika semua fraksi bersepakat anggota Dewan tak boleh memegang dana tunai. Tak ada satu pun fraksi yang bersepakat adanya program dana aspirasi. Hanya, rapat kembali riuh tatkala Benny menyampaikan gagasan lain: setiap anggota berhak mengusulkan program pembangunan daerah pemilihan. Konsep ini mirip anggaran gentong babi di sejumlah negara demokratis, seperti Amerika Serikat dan Filipina.

Kata "daerah pemilihan" inilah yang memicu perbalahan sengit. Arif tak sepakat jika usul program pembangunan hanya dibatasi pada daerah pemilihan. "Saya meminta kata ini dihilangkan," ujarnya. Menurut dia, daerah pemilihan hanya alat untuk menyederhanakan sistem pemilu dan memudahkan sistem pemilihan. Sejumlah pemimpin Panitia Khusus dianggap salah kaprah memaknai arti daerah pemilihan. Sebab, anggota parlemen terpilih bukanlah wakil daerah pemilihan, melainkan representasi rakyat.

Jalan melapangkan program pembangunan daerah pemilihan dimulai dengan memanfaatkan bunyi sumpah jabatan anggota Dewan. Pasal 76 Undang-Undang MD3 menyatakan salah satu sumpah anggota Dewan adalah memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili untuk mewujudkan tujuan nasional. "Jika tidak boleh, hapus dulu sumpah jabatan tadi," kata Benny.

Benny bercerita, dia acap gagal memenuhi tuntutan masyarakat yang mengajukan pembangunan infrastruktur. Suatu ketika, dia berkunjung ke Kabupaten Manggarai. Kepada politikus Partai Demokrat ini, warga Manggarai meminta perbaikan jalan agar pengangkutan hasil bumi menjadi lebih gampang. Benny lalu menyampaikan persoalan ini ke koleganya di Komisi Infrastruktur Dewan untuk diteruskan ke pemerintah. "Ternyata tetap tak ada perbaikan," ucapnya.

Dia kemudian berpikir merumuskan kebijakan aspirasi alokasi dana pembangunan yang diterima para anggota Dewan bisa direalisasi. Saat memimpin Panitia Khusus Revisi Undang-Undang MD3, Benny terpikir mewujudkan mimpinya. Caranya menyiapkan jalan lebih halus, yaitu menambahkan satu hak baru dalam pasal 80 huruf f. Pasal ini menyatakan anggota Dewan berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Dalam undang-undang sebelumnya, poin ini tak ada.

Mantan Wakil Ketua Panitia Khusus Ahmad Yani menuturkan, gagasan ini muncul karena ada "ketidakadilan" antarkomisi di Senayan. Sebagian anggota di Komisi Pertahanan dan Komisi Hukum iri pada koleganya di Komisi Kehutanan atau Komisi Infrastruktur Dewan, yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. "Lalu kami bisa apa jika dituntut macam-macam oleh konstituen?" kata Yani mengutip ucapan koleganya. Benny menampik pendapat ini dan menganggap tudingan ini sebagai bumbu yang dibuat-buat. "Itu argumen yang disusun kemudian."

Menurut Arif, dana aspirasi menjadi masuk akal jika menggunakan sistem pemilihan berbasis distrik. Karena itu, wakil rakyat merupakan wakil distrik. Argumen ini dibantah pimpinan Panitia Khusus. Mereka tetap ngotot klausul ini harus ada dalam aturan baru. Kalah jumlah, Arif tak berkutik. Revisi kemudian disahkan menjadi undang-undang pada 8 Juli 2014. "Saya menyebut pasal ini sebagai aturan yang tak tuntas," kata Arif. Adapun Wakil Ketua DPR kala itu, Priyo Budi Santoso, tak paham mengapa klausul ini bisa muncul. "Undang-undang ini disahkan di menit-menit akhir," ujar Priyo.

Gangsar di tingkat kebijakan, parlemen baru menindaklanjuti gagasan ini pada 9 Februari lalu. Dewan mengesahkan 31 nama anggota Dewan menjadi anggota Tim Mekanisme Pengajuan Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan. Sepekan kemudian, sidang paripurna menunjuk Wakil Ketua Dewan Taufik Kurniawan sebagai ketua tim. Tim inilah yang akan mengawasi pelaksanaan usulan prog-ram ini.

Ketua DPR Setya Novanto telah membicarakan ketersediaan anggaran wacana ini dengan Menteri Keuangan. Kedua belah pihak, menurut Setya, sepakat alokasi anggaran ini tak mengganggu keuangan negara. Sedangkan Totok Daryanto tak menjelaskan mengapa muncul besaran angka Rp 20 miliar per anggota. Menurut dia, angka tersebut hanya merupakan pagu indikatif. "Nanti bisa saja tak dipakai semua," kata Totok.

Di tengah kritik publik, parlemen berkukuh program ini bakal jalan terus. Setya mengatakan, sejumlah fraksi boleh saja tak sepakat. Mereka yang tak bersetuju dipersilakan tak menggunakan anggaran ini. Sedangkan yang sepakat, "Silakan dilanjutkan," kata Setya. Adapun Taufik Kurniawan menyesalkan penolakan koleganya. Sebab, dalam sidang paripurna, tak ada satu pun fraksi yang menolak program ini. "Kenapa sekarang makan tulang kawan?" ujar Taufik.

Sejumlah fraksi dan politikus Senayan tak bersepakat kebijakan ini dilanjutkan. Dua fraksi, yaitu NasDem dan Hanura, secara resmi menyatakan penolakan. Politikus PDIP, seperti Budiman Sudjatmiko, Tubagus Hasanuddin, Henry Yosodiningrat, dan Effendi Simbolon, pun menilai program ini tak perlu diteruskan. Sejumlah politikus partai banteng bergerilya agar Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bersikap serupa. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan sedang mengkaji gagasan tentang dana aspirasi ini.

Penolakan ini sebelas-dua belas dengan sikap Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurut dia, Dewan seharusnya membahas anggaran bersama pemerintah. Jika ingin mengusulkan pembangunan, kata Kalla, daerah bisa mengajukan usul tanpa ada dana aspirasi. Selain itu, kebutuhan setiap daerah berbeda-beda sehingga tak bisa dipukul rata sebesar Rp 20 miliar. "Sebelum dijalankan, masih bisa dikoreksi."

Wayan Agus Purnomo, Faiz Nashrillah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus