Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tsai Ing-wen meraih suara lebih besar dibanding dalam pemilihan Presiden Taiwan sebelumnya.
Warganet Cina menggunakan kata sandi untuk mengatasi sensor berita pemilihan Presiden Taiwan.
Tekanan Beijing terhadap Taiwan malah menjadi bumerang.
VIDEO berjudul "Bicara Lantang-Versi Dua Dunia" itu dirilis Partai Demokrasi Progresif (DPP) pada Selasa, 7 Januari lalu, empat hari sebelum pemilihan Presiden Taiwan. Menggunakan layar yang dibagi dua, video garapan Lo Ging-zim itu menggambarkan rutinitas harian orang Taiwan dan situasi kacau yang harus dihadapi warga Hong Kong dalam beberapa bulan terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iklan kampanye Tsai Ing-wen, perempuan calon presiden inkumben dari DPP, itu menunjukkan warga Taipei tertidur di kereta setelah bekerja seharian dan komuter Hong Kong yang dipukuli polisi antihuru-hara. Sulih suara dari video mendesak warga Taiwan mempertahankan kedaulatan dengan datang dan mencoblos pada hari pemilihan, Sabtu, 11 Januari 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nasib buruk berada di bawah Cina seperti yang dialami Hong Kong menjadi salah satu tema kampanye Tsai. Visi ini berseberangan dengan penantang utamanya, Han Kuo-yu. Kandidat dari Partai Kuomintang itu memilih hubungan dekat dengan Cina untuk keamanan dan kemakmuran Taiwan meskipun mengaku akan membela demokrasi di negaranya.
Hasil pemilihan, yang diumumkan pada malam hari seusai pencoblosan, menunjukkan Tsai Ing-wen menghimpun suara terbanyak. Perempuan kelahiran Taiwan, 31 Agustus 1956, ini mendulang 8,2 juta (57 persen) suara, 1,3 juta lebih banyak dari raihannya dalam kemenangan pada pemilihan presiden 2016. Han Kuo-yu mendapat 5,4 juta suara. Kandidat lain, James Soong, meraih 600 ribu suara.
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menyapa pendukungnya dalam kampanye pemiliihan umum Taiwan di Taoyuan, 9 Januari 2020./ Reuters/Tyrone Siu
"Hari ini kita telah membela demokrasi dan kebebasan kita. Besok mari bersatu mengatasi semua tantangan dan kesulitan," kata Tsai dalam pidato kemenangan yang disambut tepuk dan sorak ribuan pendukungnya. Perempuan 63 tahun ini berkomitmen berdialog dengan Cina, tapi meminta Beijing tak mengintimidasi dan menghormati hak mereka menentukan masa depan.
Kantor Cina Urusan Taiwan menyatakan Beijing "menentang segala bentuk upaya kemerdekaan Taiwan". Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang, menekankan bahwa "hanya ada satu Cina di dunia dan Taiwan adalah bagian dari Cina". Dia juga mengecam para pemimpin negara yang telah memberikan ucapan selamat kepada Tsai, termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang.
Berita pemilihan Presiden Taiwan, menurut Taiwan News, disensor dengan manusia dan robot di Cina. Namun warganet tak kehilangan akal menghadapi sensor itu. Di media sosial Weibo, mereka menggunakan frasa "sayuran Inggris" untuk menyebut Tsai Ing-wen dan "ikan Korea" untuk Han Kuo-yu guna menghindari sensor Partai Komunis Cina yang terkenal keras.
Tsai disebut "sayuran Inggris" karena nama keluarganya, Tsai, berhomofon dengan kata "sayuran" dalam bahasa Taiwan. Adapun Han dilabeli "Korea" lantaran nama keluarganya, bila dikombinasikan dengan bagian pertama namanya, memiliki karakter yang sama dengan kata "Korea". Kata "ikan" dipakai karena bagian kedua namanya, Yu, berhomofon dengan "ikan". Saat hasil pemilihan diumumkan, ada yang mencuit, "Sayuran Inggris unggul besar.”
•••
HUBUNGAN tegang Taiwan dengan Cina berakar dari peristiwa 1949, saat pasukan nasionalis Kuomintang yang dipimpin Chiang Kai-shek mundur ke pulau itu setelah kalah dalam pertempuran melawan Partai Komunis Cina di bawah pimpinan Mao Zedong. Sejak itu, Taiwan memiliki pemerintah sendiri meski masih berharap bisa merebut kembali Cina daratan. Impian itu tidak pernah terwujud.
Pada 1949, Taiwan dalam status darurat militer hingga akhirnya memulai demokratisasi pada 1990-an. Pemilihan presiden langsung pertama kali digelar pada 1996, yang dimenangi politikus Kuomintang, Lee Teng-hui. Di bawah Lee, status darurat militer berakhir dan transisi menuju demokrasi penuh dimulai.
Kuomintang harus merelakan posisi presiden kepada politikus DPP, Chen Shui-bian, dalam pemilihan presiden 2000. Ia terpilih kembali pada pemilihan 2004. Barulah pada pemilihan 2008 Kuomintang kembali bisa merebut kursi presiden dengan naiknya Ma Ying-jeou. Seperti Chen, Ma terpilih kembali dalam pemilihan selanjutnya pada 2012.
Soal hubungan Taiwan dan Cina menjadi perdebatan hangat pada April 2000, saat politikus Kuomintang, Su Chi, memperkenalkan istilah "Konsensus 1992". Su Chi merujuk pada hasil pertemuan antara perwakilan semiresmi Republik Rakyat Cina (PRC) dan Republik Cina (ROC)—nama resmi Taiwan—pada 1992. Keduanya bersepakat tentang "Prinsip Satu Cina", tapi arti "Cina" disepakati diinterpretasi menurut definisi masing-masing.
Konsensus ini menjadi perdebatan di Taiwan. Saat maju sebagai calon presiden pada pemilihan 2012, Tsai Ing-wen menegaskan sikapnya yang tidak mengakui konsensus itu. Tsai, yang punya latar belakang panjang sebagai akademikus, bergabung dengan DPP sejak 2004 dan menjadi ketua partai itu selama dua periode berturut-turut (2008-2012). Saat konferensi pers untuk pencalonannya pada Agustus 2011, ia membantah adanya “Konsensus 1992”. Dia tak bisa mewujudkan impiannya karena harus mengakui kekalahannya dari Ma Ying-jeou.
Tsai kembali maju dalam pemilihan presiden 2016 dan meraih 51,6 persen suara, mengalahkan Eric Chu dari Partai Kuomintang, yang mendapat 31 persen suara. Sebulan setelah pemilihan, Juni 2016, Beijing memutus komunikasi dengan Taipei. "Mekanisme komunikasi lintas selat telah ditangguhkan karena Taiwan tidak mengakui ‘Konsensus 1992’, dasar politik untuk prinsip satu Cina," tutur juru bicara Kantor Cina Urusan Taiwan, An Fengshan.
Kampanye kemenangan pendukung Tsai Ing-wen di Kota Taipei, 11 Januari 2020./ Reuters/Tyrone Siu
Menurut New York Times, sejak Tsai berkuasa pada 2016, Cina telah meningkatkan tekanan pada Taiwan. Beijing meningkatkan patroli dengan pesawat militer, mengirim pesawat pengebom untuk mengelilingi negara-pulau itu, dan mengirim kapal induk melintasi Selat Taiwan.
Cina juga berusaha menekan Tsai secara politik dengan mempengaruhi negara-negara yang punya hubungan diplomatik dengan Taiwan. Saat Tsai menjadi presiden, masih ada 22 negara yang memiliki hubungan diplomatik langsung dengan Taiwan. Empat tahun kemudian, jumlahnya turun menjadi 15 negara.
Sikap keras Beijing terhadap Taiwan ini kembali disampaikan Presiden Cina Xi Jinping dalam pidatonya pada 1 Januari 2019. Saat itu, Xi menegaskan bahwa penyatuan harus menjadi tujuan akhir setiap pembicaraan tentang masa depan kedua negara. Upaya Taiwan untuk merdeka dapat berujung pada penggunaan angkatan bersenjata.
Menurut Xi, Cina akan menghormati kebebasan beragama dan hukum rakyat Taiwan dalam kerangka "satu negara dua sistem" yang terpadu. Dia juga memperingatkan bahwa perbedaan politik yang mendalam antara Taiwan, yang menganut demokrasi, dan Cina, yang otoriter, bukan alasan untuk menolak penyatuan.
Tsai menanggapi pernyataan itu dengan menegaskan penolakannya terhadap “Konsensus 1992”. “Saya ingin menegaskan kembali bahwa Taiwan sama sekali tidak akan menerima ‘satu negara dua sistem’. Ini juga merupakan 'Konsensus Taiwan'," ujar Tsai.
Tsai menyatakan negosiasi kedua negara harus disahkan dan diawasi rakyat Taiwan serta tak bisa hanya diwakili oleh individu atau kelompok. Menurut sejumlah informasi, dalam pertemuan pada 1992 itu, delegasi tidak resmi Taiwan berasal dari Partai Kuomintang.
Selain menghadapi ketegangan dengan Beijing, sebenarnya Tsai punya masalah internal. Pada 2018, DPP menderita kekalahan besar dalam pemilihan lokal, yang dinilai sebagai teguran atas kepemimpinannya. Ia pun mengundurkan diri dari jabatan ketua. Saat itu juga ada desakan agar dia tidak maju lagi dalam pemilihan presiden selanjutnya pada 2020.
Namun Tsai tetap memilih maju. Ia secara resmi mendaftar ke partai pada 21 Maret 2019. Melalui pemilihan internal partai, Tsai berhasil mengalahkan calon kuat William Lai sehingga partai mencalonkannya sebagai kandidat untuk pemilihan presiden 2020 pada 19 Juni 2019.
Dalam kampanyenya, Tsai mengusung ide kemerdekaan dan menolak tawaran Xi Jinping memberi Taiwan "satu negara dua sistem" seperti Hong Kong. Ini terutama setelah melihat apa yang terjadi di Hong Kong selama 2019. Protes anti-pemerintah di Hong Kong sejak Juni 2019 telah menyulut kemarahan publik, tapi dihadapi dengan sangat represif oleh Beijing.
Beijing juga berusaha dengan banyak cara untuk menekan Tsai. Pada 31 Juli 2019, Cina menyetop sementara izin perjalanan individu ke Taiwan. Ross Darrell Feingold, analis politik di Taipei, menilai hal itu sebagai upaya Beijing mengekspresikan ketidaksenangannya terhadap pemerintah Taiwan.
Ketegangan Dua Kompatriot
Menurut New York Times, upaya Cina mengisolasi pemerintah Tsai secara ekonomi gagal mencapai hasil yang diinginkan. Di bawah pemerintah Tsai, perekonomian negeri itu membaik dengan tingkat pengangguran terendah dalam dua dekade (rata-rata 3,8 persen) dan ada kenaikan upah.
Cina juga diduga berusaha mempengaruhi pemilihan umum melalui penyebaran informasi keliru atau disinformasi. Kekhawatiran ini diperkuat pengakuan seorang pria yang mengatakan kepada pihak berwenang di Australia bahwa ia bekerja sebagai agen intelijen Cina di Taiwan untuk membantu menggalang dukungan bagi Han. Han membantah pernyataan itu.
Bagi Tsai, Hong Kong adalah alat kampanye yang nyata untuk menolak tawaran “satu negara dua sistem” dari Beijing. "Orang-orang muda di Hong Kong telah menggunakan hidup dan darah serta air mata mereka untuk menunjukkan kepada kita bahwa 'satu negara dua sistem' tidak mungkin," ucap Tsai dalam rapat akbar di Taipei sebelum pemilihan. "Besok giliran anak muda kita di Taiwan menunjukkan kepada mereka bahwa nilai-nilai demokrasi dan kebebasan akan mengatasi semua kesulitan."
Tekanan Beijing terhadap Tsai bukan hanya tidak efektif, tapi juga malah menjadi bumerang dan meyakinkan lebih banyak orang Taiwan untuk memilihnya. Menurut Komisi Pemilihan Umum Taiwan, tingkat partisipasi pemilih hampir mencapai 75 persen, angka tertinggi dalam sejarah. "Secara tradisional, jumlah pemilih di kalangan anak muda biasanya cukup rendah di Taiwan. Tapi, karena Cina dan protes Hong Kong, lebih banyak orang muda bertekad datang mencoblos," kata Yen Wei-ting, pengajar di Franklin & Marshall College, Amerika Serikat.
"Setelah melihat apa yang terjadi di Hong Kong, saya mengerti, yang disebut sebagai ‘satu negara dua sistem’ adalah kebohongan Partai Komunis. Saya berharap Taiwan tidak berakhir dengan nasib yang sama, saat anak-anak saya harus turun ke jalan 20 tahun dari sekarang untuk menentang Partai Komunis," tutur Allen Hsu, mahasiswa Taiwan yang kuliah di Hong Kong. Ia pulang kampung untuk mencoblos.
ABDUL MANAN (NEW YORK TIMES, DEUTCH WELLE, TAIPEI TIMES, TAIWAN NEWS, FOCUS TAIWAN)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo