Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tuan Roh Kehilangan Roh

Majelis Nasional Korea Selatan memecat presiden untuk pertama kali. Pemecatan bisa dibatalkan bila Mahkamah Konstitusi—yang mulai meneliti kasus itu pekan ini—berpihak pada Presiden Roh Moo-hyun.

22 Maret 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Koenchanayo, Tuan Presiden. "Katakan permintaan maaf Anda dan kami akan mengatakan itu sudah cukup. Koenchanayo. Kami mungkin akan memaafkanmu." Pesan itu disampaikan oleh beberapa tokoh oposisi kepada Presiden Roh Moo-hyun ketika rencana pemecatan (impeachment) terhadap dirinya bergulir di Majelis Nasional sebulan lalu. Minta maaf secara terbuka punya pengaruh besar dalam tradisi politik Korea. Yang diperlukan Roh hanya kemauan mengatakannya di depan Majelis. Tapi presiden yang baru menjabat setahun itu tak mau melakukannya.

Akhirnya, Jumat dua pekan lalu Majelis menambahkan predikatnya: menjadi presiden pertama yang dipecat parlemen dalam sejarah Korea. Roh, 57 tahun, mantan pengacara hak asasi manusia, dituduh melanggar Undang-Undang Pemilu, melakukan korupsi, dan tidak berkompeten menjalankan tugasnya. Roh dianggap berdosa besar karena menyatakan dukungan secara terbuka kepada partainya, Partai Uri (yang ia dirikan September lalu), dalam sebuah pemilu legislatif. Hukuman ini dipandang amat berlebihan karena pernyataan itu sekadar jawaban sang Presiden terhadap pertanyaan seorang reporter.

Alhasil, pecahlah demonstrasi akbar di Seoul. Puluhan ribu manusia turun ke jalan menentang keras pemecatan tersebut. Para pengamat justru menilai, yang lebih rawan ditelisik adalah berbagai tuduhan KKN dengan teman-teman dekat dan keluarga Roh. Tapi Majelis, dengan dukungan 193 suara (jauh di atas 181 suara yang diperlukan untuk impeachment), berbulat tekad memecat Roh gara-gara dukungan terbukanya kepada Partai Uri. Perdana Menteri Korea, Goh Kun, lalu ditabalkan sebagai penjabat presiden.

Sesuai dengan Pasal 65 konstitusi Korea, Majelis Nasional—setara dengan DPR di Indonesia tetapi dengan kekuasaan lebih besar—memang berhak memberhentikan hampir semua pejabat tinggi negara, termasuk presiden. Tetapi keputusan Majelis masih bisa dianulir oleh Mahkamah Konstitusi bila sembilan hakim di pengadilan itu menganggap pemecatan Roh tidak sah. Itulah harapan Roh satu-satunya saat ini, karena bahkan partainya sendiri, Partai Uri, cuma menguasai 47 kursi. Sedangkan dua partai oposisi yang memecatnya mendominasi Majelis Nasional. Partai konservatif Grand National Party (GNP) menguasai 145 kursi dan Millennium Democratic Party (MDP) memegang 62 kursi—dari total 271 kursi di Majelis.

Tanda-tanda pemecatan sudah tampak Oktober tahun lalu ketika rumor mengenai aliran dana ilegal ke Partai Uri merebak. Roh menantang referendum dan bersedia mundur bila kalah. Desember, ketika jaksa penuntut menemukan kian banyak bukti donasi ilegal senilai jutaan dolar, ia kembali menyatakan bersedia mundur. Syaratnya, bila tim pencari dananya menerima sepersepuluh saja dari yang diterima para oposannya.

Roh, yang menjanjikan pemerintahan antikorupsi, mulai kehilangan roh perjuangannya ketika para penuntut menemukan bukti kuat bahwa Roh Kun-pyong, kakak Presiden, tahun lalu menerima 30 juta won (sekitar Rp 2,1 miliar) dari mantan Presiden Direktur Daewoo Engineering & Construction, Nam Sang-kook. Seorang suruhan Nam bernama Park membayar Kun agar bisa bertemu dengan Presiden, September tahun lalu. Nam ingin Roh menggunakan pengaruhnya untuk mempertahankan posisinya di Daewoo.

Menurut para penuntut, uang tunai itu ditaruh dalam satu kantong belanja dan diserahkan kepada Kun. Tetapi uang itu dikembalikan lagi setelah Nam gagal dalam pemilihan Presiden Daewoo, Desember lalu. November, Nam berusaha menyogok Roh 100 juta won melalui Park, tetapi ditolak.

Kakak ipar Kun, yakni Doktor Min Kyong-chan, juga didakwa menerima dana haram 65 juta won dalam bentuk investasi pasar modal. Bulan lalu ia mengaku telah mengumpulkan uang itu dengan memakai kekuasaan keluarga besarnya.

Maka, para penuntut mengumumkan, setelah penyelidikan selama empat bulan, terbukti tim kampanye Roh menerima 11,3 miliar won (Rp 78,71 miliar). Sedangkan partai oposisi terbesar, yakni Grand National Party (GNP), juga diketahui menerima 82,3 miliar won dana haram kampanye itu. Dosa Roh lainnya, ya, itu tadi: melanggar Undang-Undang Pemilu Korea karena menyerukan dukungan terbuka terhadap Partai Uri dalam pemilu parlemen pada 15 April mendatang. "Saya telanjur berjanji untuk melakukan yang terbaik bagi Uri," Roh memberi alasan dukungannya itu.

Dia akhirnya minta maaf, tetapi bukan kepada parlemen, melainkan kepada rakyat Korea karena tim kampanyenya menerima dana ilegal. "Sudah terlambat dan tak ada artinya," kata seorang tokoh oposisi kepada wartawan. Masyarakat dan politisi Korea sendiri terbelah menanggapi kasus itu. Dalam jajak pendapat oleh televisi SBS terhadap 1.000 orang, Partai Uri mendapat 53,8 persen dukungan, sedangkan GNP 15,7 persen, dan MDP cuma 4,4 persen. Tetapi, menurut analis politik Korea, Yu Chang-sun, terlalu dini untuk menyimpulkan apakah hasil jajak pendapat itu akan mengubah peta kekuatan parlemen pada saat pemilihan umum nanti.

Sedangkan polisi dan Komisi Pemilihan Nasional Korea (NEC) menangkapi para pemakai Internet yang menyebarkan penolakan terhadap pemecatan Roh itu. Ribuan artikel yang tersebar di mesin pencari macam Yahoo, Naver, dan DAUM dinyatakan polisi melanggar ketentuan Undang-Undang Pemilu. Artikel terlarang itu antara lain memuat daftar politisi yang menyetujui pemecatan. Polisi beralasan, pemuatan nama mereka sama saja dengan usaha mempengaruhi para pemilih pada pemilihan umum parlemen. Padahal masa kampanye selama 17 hari belum dimulai.

Artikel itu juga berisi tuduhan dan hujatan terhadap para peneken pemecatan, yang dianggap fitnah oleh polisi. "Tuduhan itu tanpa bukti," kata seorang polisi kepada harian Korea Times. Tapi polisi dan NEC masih kesulitan melacak siapa penulis asli artikel yang sekarang sudah tersebar di ribuan komputer itu.

Kementerian Pertahanan telah meminta semua polisi dan tentara waspada karena khawatir kemelut di dalam negeri akan dimanfaatkan Korea Utara, musuh lama mereka. Puluhan ribu demonstran masih terus memenuhi jalanan Ibu Kota Seoul menentang hal itu. Tapi ekonomi Korea belum terpengaruh. Rupanya, investor di Korea agak kebal dengan riak politik yang sering terjadi di Seoul—demonstrasi mahasiswa, pemogokan buruh, pemutusan hubungan kerja massal, atau perusahaan bangkrut. Sehingga, kali ini pun tidak banyak yang mengkhawatirkan nasib investasinya.

Chumoktajim, kata orang Korea. Semuanya akan berakhir dengan baik.

I G.G. Maha Adi (Reuters, The Economist)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus