Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ketuk Palu Perpu Semar

Perusahaan pertambangan boleh beroperasi di kawasan hutan lindung. Ancaman baru kelestarian hutan.

22 Maret 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Palu diketuk, keputusan pun meluncur dari sidang kabinet. Entah kebetulan atau tidak, mengambil momentum 11 Maret lalu pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2004. Dengan "Perpu Semar" ini, 13 perusahaan pertambangan yang nama-namanya akan ditetapkan dalam keputusan presiden boleh beroperasi di kawasan hutan lindung. Padahal, Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, yang diamendemen dengan Perpu Semar itu, jelas-jelas menyebut kawasan hutan lindung terlarang untuk kegiatan penambangan terbuka.

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mengaku belum menentukan nama 13 perusahaan yang akan memperoleh izin itu. Tapi petunjuk ke arah sana bukannya tidak ada. Salah satunya adalah kunjungan kerja anggota Komisi Pertambangan dan Energi DPR dan pemerintah ke lokasi 13 perusahaan yang wilayah penambangannya beririsan dengan kawasan lindung.

Nama-nama perusahaan yang dikunjungi ini klop benar dengan pernyataan Direktur Planologi Departemen Kehutanan, Bun Purnama, kepada Tempo News Room pekan lalu. Menurut Purnama, rapat kerja tim interdepartemen tanggal 24 Juni 2003 memberi izin penambangan bagi 13 perusahaan yang lokasinya tersebar dari Sumatera Utara hingga Papua (lihat infografik). Daftar ini lagi-lagi cocok dengan nama-nama perusahaan yang didata Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), LSM lingkungan yang punya spesialisasi di kawasan tambang.

Bagi kalangan aktivis lingkungan, keluarnya perpu ini ibarat tamparan telak. Mereka yakin Perpu Semar akan mempercepat penggundulan hutan Indonesia. Padahal, tanpa perpu itu pun Indonesia kehilangan hutan seluas 3,8 juta hektare atau senilai Rp 30 triliun tiap tahunnya.

Mubariq Ahmad, Direktur Eksekutif World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, menyebut perpu ini menunjukkan pemerintah cenderung mengutamakan kepentingan jangka pendek. "Yang diutamakan penerimaan negara ketimbang kepentingan jangka panjang," tuturnya. Ia pun melihat lahirnya perpu ini cacat hukum. Alasannya, hanya dalam hal-ihwal kegentingan memaksa sajalah presiden berhak menetapkan perpu. "Itu pun harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)," kata Mubariq.

Dari sisi substansi hukum pun, kata Mubariq, perpu ini tidak mengubah klausul mengenai dilarangnya operasi pertambangan secara terbuka di kawasan hutan lindung seperti tercantum pada Pasal 38 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999. "Perpu hanya bicara soal izin, tidak mengenai larangan penambangan terbuka di hutan lindung," ujarnya. Dengan kata lain, menurut Mubariq, ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Kehutanan itu masih berlaku.

Tapi Peter L. Coutrier, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), menafsirkan ketentuan perizinan dalam perpu tersebut termasuk di dalamnya praktek penambangan terbuka. Ia mengingatkan, praktek penambangan terbuka kerap tak bisa dihindari. Alasannya, deposit mineral yang berada pada kedalaman kurang dari 30 meter secara teknis hanya bisa ditambang secara terbuka (open pit mining). "Dari sisi konstruksi, berbahaya menggunakan penambangan tertutup (underground mining)," kata Coutrier. Penambangan tertutup menurut dia hanya untuk deposit di kedalaman lebih dari 30 meter. Celakanya, deposit mineral tertentu seperti nikel dan kadang-kadang emas berada pada kedalaman kurang dari 30 meter ini.

Menurut Ismid Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati), praktek pertambangan terbuka itulah yang ditolaknya. Soalnya, penambangan tipe ini menurut Ismid dilakukan dengan cara membabat area hutan untuk mendapatkan sumber-sumber tambang. "Praktek penambangan terbuka inilah penyebab kerusakan hutan sekitar 3,8 juta hektare tiap tahun," kata dia.

Coutrier menolak anggapan bahwa biang kerok perusak hutan adalah perusahaan pertambangan. Menurut dia, dari luas daratan Indonesia yang lebih dari 198 juta hektare, sisa areal kontrak karya tinggal 6 juta hektare. Dari luas itu, hanya 135 ribu hektare yang benar-benar digali. Angka ini menurut Coutrier setara dengan 0,1 persen dari luas daratan Indonesia. "Bandingkan dengan hak konsesi bagi pengusaha HPH, yang mencapai areal 66 juta hektare," tuturnya seraya menyebut bahwa kegiatan pembalakan hutan alias illegal logging jadi biang keladi perusakan hutan terbesar di Indonesia.

Lagi pula, menurut Coutrier, perusahaan pertambangan resmi selalu melakukan kegiatan reklamasi. Coutrier lalu membentang data bahwa dari tahun 1995 hingga 2001 kontribusi perusahaan tambang di Indonesia untuk mengatasi persoalan lingkungan mencapai US$ 51 juta tiap tahun.

Selain itu, Departemen Kehutanan menjamin akan melakukan pengawasan sebagai konsekuensi dari keluarnya Perpu Semar. Menurut Bun Purnama, perusahaan wajib melaporkan perencanaan yang terkait dengan hutan dan lingkungan. Hal ini termasuk rencana penebangan pohon, pengamanan biodiversity, konservasi tanah, serta perencanaan reklamasi. "Rencana ini harus disetujui dulu oleh Menteri Kehutanan, baru kegiatan pertambangannya bisa terealisasi," ia menandaskan.

Agus Hidayat, Mawar Kusuma (Tempo News Room)


Tiga fungsi hutan Menurut UU. No. 41/1999 tentang Kehutanan,

  1. Kawasan hutan dengan fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
  2. Hutan Lindung: Kawasan hutan yang berfungsi untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
  3. Hutan Konservasi: Kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, dengan fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri atas kawasan hutan taman nasional, suaka alam, kawasan hutan peles-tarian alam, dan taman buru. Hutan jenis ini pada dasarnya tidak boleh untuk kepentingan selain konservasi. Tapi undang-undang membolehkan pemanfaatan untuk kepentingan lain seperti penelitian dan ilmu pengetahuan. Itu pun dengan catatan tidak dilakukan di dalam zona inti dan zona rimba di taman nasional ataupun di area hutan cagar alam.

Perusahaan yang Mungkin Memperoleh Izin Beroperasi di Kawasan Lindung

  1. PT Sorik Mas Mining Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan
    Bahan galian: emas dan perak
    Luas area: 151.200 hektare
    Status kawasan: hutan lindung, hutan produksi

  2. PT Karimun Granite Karimun, Riau
    Tahap kegiatan: produksi
    Bahan galian: granite aggregate
    Luas area: 4.087 hektare
    Status kawasan: hutan lindung, hutan produksi (420 hektare)

  3. PT Natarang Mining Lampung Selatan
    Tahap kegiatan: eksplorasi
    Bahan galian: emas
    Luas area: 50.600 hektare
    Status kawasan: 3.520 ha kawasan konservasi, 24.750 ha hutan lindung

  4. PT Pelsart Tambang Kencana (eks PT Meratus Sumber Mas)
    Kotabaru, Tapin, dan Banjar, Kalimantan Selatan
    Tahap kegiatan: konstruksi
    Bahan galian: emas
    Luas area: 37.763 hektare
    Status kawasan: 20.200 ha hutan lindung Pegunungan Meratus, 8.570 ha hutan produksi terbatas, 8.570 ha hutan produksi

  5. PT Indominco Mandiri Kutai, Bontang, Kalimantan Timur
    Tahap kegiatan: produksi
    Bahan galian: batu bara
    Luas area: 99.922 hektare
    Status kawasan: 910 ha kawasan konservasi, hutan lindung, 930 ha hutan produksi, 1.950 hutan produksi konversi

  6. PT Interex Sacra Raya Tabalong, Kalimantan Selatan, dan Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur
    Tahap kegiatan: eksplorasi
    Bahan galian: batu bara
    Status kawasan: hutan lindung

  7. PT International Nikel Indonesia (Inco) Palopo, Sulawesi Selatan
    Tahap kegiatan: produksi
    Bahan galian: nikel
    Luas area: 218.530 hektare
    Status kawasan: 4.420 ha kawasan konservasi, 102.850 ha hutan lindung, 41.370 ha hutan produksi, 7.320 ha hutan produksi terbatas, 17.560 ha hutan produksi konversi

  8. PT Aneka Tambang Bahubulu, Sulawesi Tenggara
    Tahap kegiatan: produksi
    Bahan galian: emas
    Status kawasan: hutan lindung

  9. PT Weda Bay Nickel Halmahera, Maluku Utara
    Tahap kegiatan: eksplorasi
    Bahan galian: nikel
    Luas area: 89.500 hektare
    Status kawasan: calon taman nasional Lalobata Aketajawe, 34.990 ha hutan lindung, 23.360 ha hutan produksi terbatas, 12.220 ha hutan produksi, 10.400 ha hutan produksi konversi

  10. PT Nusa Halmahera Mineral Halmahera, Maluku Utara
    Tahap kegiatan: eksplorasi
    Bahan galian: emas
    Luas area: 961.510 hektare
    Status kawasan: 21.060 ha kawasan konservasi, 70.610 ha hutan lindung, 112.960 ha hutan produksi terbatas, 24.880 ha hutan produksi, 98.190 ha hutan produksi konversi

  11. PT Freeport Indonesia Timika, Papua
    Tahap kegiatan: produksi
    Bahan galian: tembaga, emas, perak
    Luas area: 640.000 ha
    Status kawasan:
    • 4.570 ha kawasan konservasi (Taman Nasional Gunung Lorentz)
    • 115.670 ha hutan lindung
    • 16.830 ha hutan produksi terbatas
    • 41.150 ha hutan produksi konversi
  12. PT Gag Nikel Pulau Gag, Sorong, Papua
    Tahap kegiatan: eksplorasi
    Bahan galian: nikel
    Luas area: 7.727 hektare
    Status kawasan: 6.060 ha hutan lindung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus