Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tuan Rumah Untuk Manusia Perahu

Empat negara ASEAN bersedia menampung para manusia perahu untuk sementara. Butuh perhatian masyarakat internasional.

25 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhammad Syarif memutuskan pergi dari barak penampungan etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar. Ayahnya mendapat panggilan telepon dari paman Syarif di Malaysia, yang memberitahukan ada kesempatan buat Syarif melanjutkan sekolah di sana.

Syarif, yang sehari-hari guru bahasa Inggris dan mengaji Al-Quran, setuju. Meski hanya lulusan sekolah dasar, pemuda 16 tahun ini bisa berbahasa Inggris dan mengajar di sekolah binaan organisasi nonpemerintah (NGO). "Saya tak akan berkembang di sana," katanya di tempat pelelangan ikan di Kuala Cangkoi, Aceh Utara, dua pekan lalu. Padahal militer Myanmar mengancam menghukum orang Rohingya jika keluar dari tempat penampungan.

Untuk itu, orang tua Syarif mengemis hingga terkumpul 2,1 juta kyat atau sekitar Rp 25,5 juta-duit buat menyelundupkan Syarif ke Malaysia. Mereka menghubungi agen penyelundup, yang kemudian datang ke barak. Syarif dan belasan orang Rohingya yang berniat sama dinaikkan ke bus menuju pelabuhan kecil nan tersembunyi. Rombongan ini naik sampan menyusuri sungai, lalu pindah ke kapal lebih besar berukuran 6 x 18 meter.

Di kapal, penyelundup menjejalkan Syarif dan penumpang lain di dek hingga tak ada ruang tersisa. "Jika ada di antara kami mencoba bergerak, awak kapal akan memukul kami dengan tongkat," ujar Syarif.

Dia menceritakan, sebagian penumpang berbahasa Myanmar, sebagian lain berbahasa Bengali, etnis asal Bangladesh. Ada kapten kapal, tiga agen penyelundup, dan tiga kru di kapal itu. Mereka berbahasa Thailand. Selama 22 hari, setiap pukul 10 pagi, penumpang mendapat sesendok nasi dan segelas kecil air minum. Siapa pun yang minta tambahan bakal dihardik. Jika berani bertanya macam-macam, penumpang harus siap ditampar.

Penumpang lain, Kifayatullah, 20 tahun, diancam dibuang ke laut jika tak menurut. Dia korban penipuan penyelundup. Awalnya nelayan yang tak pernah bersekolah ini dijanjikan naik kapal gratis. Tapi, ketika Kifayatullah pindah ke kapal berukuran lebih besar, kapten menelepon ibundanya dan meminta duit 2,1 juta kyat jika ingin sang putra selamat.

****

PENGALAMAN Syarif dan Kifayatullah hanya secuil dari nasib orang Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar. Pada 10 Mei lalu, 1.600 orang gabungan Rohingya dan warga Bangladesh mendarat di pesisir Indonesia dan Malaysia. Sekitar 600 orang tiba di pesisir Aceh dengan empat kapal. Nelayan menemukan perahu mereka kehabisan bahan bakar, lalu mendereknya ke darat. Sedangkan 1.018 orang mendarat di utara Pulau Langkawi, Malaysia. Mereka terdiri atas 555 orang Bangladesh dan 463 orang Rohingya. Pada 20 Mei, datang lagi 433 manusia perahu. Seluruh rombongan itu ditelantarkan komplotan penyelundup.

Semula mereka menuju Thailand. Ternyata negara itu sedang giat merazia penyelundup imigran. Ketika rombongan baru tiba, penyelundup sudah tiarap. Sedikitnya 100 imigran keluyuran di wilayah selatan Thailand gara-gara ditelantarkan penyelundup. Kapal yang menampung Syarif cs dihalau ketika sampai di pesisir Thailand. Padahal mereka sudah tiga bulan berlayar melewati Teluk Bengal, Laut Andaman, hingga Selat Malaka. Kapten, agen, dan awak kapal meninggalkan mereka. Kapal terombang-ambing. Tak ada makanan dan minuman lagi. Penumpang hanya bisa berdoa. "Enam orang meninggal," kata Syarif.

Kejadian itu rupanya hanya puncak gunung es. Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) menyebutkan 25 ribu orang Bangladesh dan Rohingya menumpang perahu penyelundup pada trimester pertama tahun ini. Menurut catatan mereka, ini dua kali lebih banyak dibanding periode yang sama tahun lalu. UNHCR memperkirakan masih ada 4.000 orang lagi terkatung-katung di Laut Andaman. Versi Chris Lewa, Direktur Arakan Project, NGO yang menelusuri perjalanan manusia perahu, ada 7.000 orang lagi.

Kebanyakan yang sampai di Thailand disandera di tenda-tenda di hutan sampai ada anggota keluarga datang membayar tebusan. Manusia perahu asal Bangladesh umumnya adalah imigran ekonomi, sedangkan Rohingya adalah pencari suaka.

Rohingya adalah etnis minoritas yang tak diakui sebagai warga negara oleh pemerintah Myanmar. Abu Tahay, Direktur Pusat Sumber Daya Rohingya sekaligus pendiri Partai Nasional Demokrat untuk Pembangunan Myanmar, mengatakan kini, dari 2,8 juta orang Rohingya, hanya 1,2 juta orang yang masih di Myanmar. Sisanya tersebar di Arab Saudi sekitar setengah juta orang, di Bangladesh sekitar 700 ribu orang, di Asia Tenggara ada 200 ribu orang, dan di Australia sekitar 60 ribu orang.

Menurut Tahay, orang Rohingya berhak menjadi warga negara Myanmar. "Permukiman Rohingya sudah ada di negara bagian Arakan (sekarang bernama Rakhine, provinsi di barat Myanmar) sebelum 1823," ucapnya ketika Oktober tahun lalu berkunjung ke kantor Tempo. Kala itu Rohingya adalah bangsa yang merdeka, belum menjadi bagian dari Myanmar. "Tapi, setelah Burma (sebutan lain untuk Myanmar) menjajah pada 1784, Arakan menjadi bagian dari Burma."

Eksodus orang Rohingya terjadi sejak 1978. Ketika itu 200 ribu etnis Rohingya kabur ke Bangladesh karena tekanan pemerintah militer. Mereka diusir dari rumah dan tanahnya disita.

Serangan besar-besaran terhadap orang Rohingya terjadi pada 2012. Pemicunya adalah kerusuhan sektarian antara Rohingya muslim dan ekstremis Buddha akibat kasus pemerkosaan dan pembunuhan perempuan. Belum jelas duduk perkaranya, ratusan orang Rohingya dibunuh. Sebanyak 140 ribu orang mendapati rumahnya dibakar. Dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 120 ribu orang Rohingya kabur dengan perahu menuju Bangladesh, India, Malaysia, Thailand, dan Indonesia.

****

MERESPONS kejadian teranyar, yaitu tibanya rombongan pengungsi di Selat Malaka, tiga menteri luar negeri bertemu di Putrajaya, Malaysia, pada Rabu pekan lalu. Mereka adalah Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Seri Anifah Aman, dan Menteri Luar Negeri sekaligus Deputi Perdana Menteri Thailand, Jenderal Tanasak Patimapragorn. Hasilnya, Indonesia dan Malaysia sepakat menyediakan penampungan sementara kepada imigran yang sudah mendarat ataupun ribuan lain yang masih di laut. "Dengan syarat bahwa proses repatriasi dan resettlement dapat dilakukan dalam satu tahun," ujar Retno dalam percakapan BlackBerry Messenger dengan Natalia Santi dari Tempo, Rabu pekan lalu. Mereka juga memantapkan rencana kerja sama memberantas perdagangan manusia. Adapun deputi juru bicara pemerintah Thailand, Mayor Jenderal Sansern Kaewkamnerd, mengatakan bakal memberi bantuan kemanusiaan berupa makanan dan minuman.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Arrmanatha Nasir, menambahkan, Indonesia, Malaysia, dan Thailand mengajak negara lain bersikap dermawan membantu penanganan Rohingya. "Ini masalah regional dan global. Perlu penyelesaian komprehensif yang melibatkan negara transit dan negara tujuan," kata Arrmanatha.

Perdana Menteri Malaysia Najib Tun Abdul Razak sebelumnya menyatakan hal senada. Najib membahas soal Rohingya dengan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon via telepon. "Saya katakan kepadanya (Ban), ini bencana kemanusiaan yang harus dihadapi secara serius oleh semua negara," ujarnya, seperti dilaporkan The Star, Sabtu dua pekan lalu. "Kami menghormati prinsip ASEAN untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri. Namun masalah tertentu sudah menyebar dan mempengaruhi kepemimpinan negara ASEAN lainnya."

Meski bersimpati kepada etnis Rohingya hingga mengizinkan mereka berteduh dan mengerahkan tim Search and Rescue untuk mencari yang masih di laut, Najib mengatakan Malaysia tak seharusnya dibebani masalah tersebut. Karena itu, dia meminta Menteri Anifah menghubungi pemerintah Myanmar. Bukan hanya Malaysia, Indonesia juga mendekati Myanmar. Dari Putrajaya, Menteri Retno bertolak ke Myanmar untuk mengunjungi Menteri Luar Negeri Myanmar U Wunna Maung Lwin secara resmi buat membangun komitmen politis dengan Myanmar. Ini pertama kalinya Retno menyambangi Myanmar sejak jadi menteri.

Najib juga berjanji mengupayakan solusi Rohingya lewat jaringan ASEAN. "Kami harap pemerintah Myanmar tak menganggap ini campur tangan urusan dalam negeri, tapi pencegahan tragedi kemanusiaan yang lebih besar," tuturnya.

Peneliti masalah ASEAN dari ASEAN Studies Center Universitas Gadjah Mada, Ahmad Rizky M. Umar, menjelaskan, peran ASEAN untuk ikut menangani masalah ini terbatas karena memegang prinsip non-intervensi. ASEAN tak punya instrumen politik dan hukum yang mampu berfungsi secara optimal dalam penyelesaian masalah Rohingya.

Menurut dia, bentuk respons paling signifikan hanya berupa pembahasan kondisi suatu kelompok yang tak diakui negara mana pun (statelessness) secara umum di Komisi Hak Asasi Manusia ASEAN dan perundingan saat tragedi Rohingya tahun 2012. Pembahasan itu pun tidak bersifat mengikat. "Karena Komisi HAM ASEAN hanya punya fungsi promosi dan sangat lemah kekuatannya untuk menekan Myanmar," kata Umar.

Indonesia memegang erat prinsip non-intervensi itu. Arrmanatha Nasir mengatakan Indonesia tak mau menyalahkan Myanmar atas tragedi Rohingya. "Kami tidak akan finger-point," ujarnya.

Menurut dia, hubungan negara-negara anggota ASEAN bersifat kekeluargaan. Indonesia memandang negara-negara ASEAN memiliki kemampuan berbeda. "Misalnya kita punya adik yang ketinggalan, maka akan kita bantu, bukan kita kucilkan." Karena itu, kata Arrmanatha, Indonesia mendukung proses reformasi di Myanmar dan yakin hal tersebut bisa menjadi solusi sendiri bagi rakyat Myanmar, termasuk dalam masalah etnis. Indonesia berharap pemilihan umum Myanmar tahun ini menciptakan instrumen untuk good governance di sana.

Optimisme itu, masih menurut Arrmanatha, berdasarkan perubahan yang ditunjukkan Myanmar dalam empat tahun terakhir. Pertama, Myanmar tak lagi dipimpin langsung oleh militer, tapi oleh Presiden Thein Sein. Meski mantan militer, Sein dikenal moderat dan reformis karena menghentikan sensor terhadap media serta membebaskan tahanan politik.

Kedua, Myanmar terpilih sebagai Ketua ASEAN pada 2014. "Apakah itu mungkin jika tidak ada perubahan di Myanmar?" ujar Arrmanatha. Indikasi lain adalah sikap Amerika Serikat yang mau bekerja sama dengan Myanmar, yang ditandai oleh kunjungan Presiden Barack Obama.

Di luar pertemuan tiga menteri tadi, negara lain ASEAN yang juga berniat membuka pintu bagi Rohingya adalah Filipina. Hal ini menambahkan catatan bagi Filipina sebagai negara yang punya sejarah panjang menjadi tuan rumah bagi pengungsi sejak Perang Dunia II, perang saudara di Cina, hingga Perang Vietnam. "Kami tidak mengecewakan dalam memberi bantuan kemanusiaan yang diminta kepada kami. Kami bangga menjadi orang yang pengasih dan ramah," kata Senator Paolo Aquino, seperti dilansir Al Jazeera America, Selasa pekan lalu.

Atmi Pertiwi, Natalia Santi (jakarta), Imran M.a. (aceh Utara)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus