Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah sekitar tiga minggu masyarakat khawatir dan bingung atas isu beras plastik, tapi belum ada klarifikasi yang meyakinkan dari pemerintah. Badan Pengawas Obat dan Makanan semula hendak mengumumkan hasil analisisnya akhir pekan lalu, tapi ditunda dan belum ada kabar lagi. Sedangkan polisi jauh-jauh hari menyatakan menunggu hasil uji Badan POM. Mengapa begitu lama?
Seharusnya pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Badan POM, dan Kepolisian, menyelesaikan kasus ini secepat mungkin. Ini beras, bahan makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat kita setidaknya tiga kali sehari. Masyarakat perlu penegasan segera: betulkah ada beras plastik yang beredar? Kalau betul, sudah seluas apa penyebarannya dan bagaimana masyarakat harus bersikap? Lalu apa langkah pemerintah?
Keberadaan beras plastik mula-mula dicurigai seorang pedagang nasi uduk di Perumahan Mutiara Gading Timur, Bekasi. Beras yang dia tanak berbentuk aneh dan rasanya seperti plastik. Menelusuri laporan tersebut, pemerintah Bekasi menyatakan pihaknya menemukan bukti beras plastik dijual pedagang di Pasar Mutiara Gading Timur.
PT Superintending Company of Indonesia (Persero) atau Sucofindo kemudian mengkonfirmasi bahwa beras tersebut benar mengandung plastik. Ada tiga unsur plastik yang mereka temukan: benzyl butyl phthalate (BBT), bis 2-ethylherxyl phthalate (DEHP), dan diisononyl phthalate (DNIP). Ketiganya berbahaya jika masuk ke sistem pencernaan dan diserap tubuh.
Plastik berbahaya karena sistem pencernaan manusia tidak bisa mengurainya secara sempurna. Lambung akan terganggu. Dan, jika diserap lambung, zat aktif plastik dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang lebih serius. Misalnya phthalate yang, jika masuk ke dalam tubuh, dapat mengakibatkan kanker. Maka kita heran, mengapa pemerintah seolah menyepelekan kasus ini.
Isu besar plastik pun mulai mendatangkan efek buruk bagi pasar tradisional. Banyak konsumen, terutama kelas menengah ke atas, mulai menghindari pasar tradisional dan membeli beras di pasar-pasar modern yang kini bertebaran. Ini fenomena berulang, sama seperti kasus beras berpemutih, daging celeng, dan ikan asin berformalin. Tak mengherankan jika muncul dugaan bahwa isu semacam ini disengaja untuk menjauhkan konsumen dari pasar tradisional.
Membiarkan kasus ini berlarut-larut semakin menguatkan pandangan bahwa pemerintah memang tidak peduli terhadap kualitas dan keamanan bahan makanan. Contoh lain, banyak penelitian secara gamblang telah mengungkapkan banyak jajanan sekolah mengandung zat berbahaya. Tapi sampai sekarang belum ada langkah sistematis untuk mengatasinya.
Kita adalah apa yang kita makan. Bahan makanan yang buruk, apalagi yang beracun, hanya akan menghasilkan masyarakat yang sakit, sekarat, kurang gizi, dan kurang cerdas. Karena itu, pemerintah jangan anggap enteng isu kualitas dan keamanan bahan makanan. Selesaikan kasus ini segera. Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Badan POM juga perlu secepatnya membuat sistem pengawasan bahan pangan yang ketat, efisien, dan berkala agar masalah semacam ini tak terjadi lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo