Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tunku: dari kedah ke kedah

Tunku abdul rahman, perdana menteri pertama dan bapak pemersatu, meninggal dunia dalam usia 87 tahun. berjasa membentuk barisan nasional. arsitek konstitusi malaysia yang unik. kemudian menjadi oposisi.

15 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUNKU sebenarnya merupakan gelar para anak sultan di Malaysia. Tapi, sejak 30 tahun lalu, bila kata Tunku disebutkan, semua warga Malaysia tahu yang dimaksud adalah Tunku Abdul Rahman Putra, sang Bapak Malaysia. Tokoh besar itulah yang Kamis pekan lalu diantarkan oleh ribuan orang dari Kuala Lumpur ke tempat peristirahatan terakhir. Bangsawan dari Kesultanan Kedah ini dimakamkan dengan upacara kenegaraan lengkap, di tanah kelahirannya. "Sebelum saya mati, saya ingin melihat seluruh rakyat negeri ini hidup bahagia sebagai anggota keluarga besar yang bersatu," kata Tunku pada 1959. Sebagai negeri yang menyimpan tiga ras besar -- Melayu, Cina, dan Tamil - Malaysia memang kadang dilanda kerusuhan rasial. Tak jelas, apakah sampai akhir usianya 87 tahun, tokoh yang paling keras berupaya menjembatani perbedaan ras di negaranya itu sudah merasa berhasil. Tunku sendiri tentu saja konsekuen. Ia, misalnya, mengangkat anak perempuan keturunan Cina. Darah kebangsawanan Tunku tak membuatnya terpisah dari rakyat. Dan mungkin itu sebabnya, ia bisa melihat kenyataan yang ada. Putra ke-20 dari 45 bersaudara anak Sultan Kedah ini sejak kecil dikenal bengal dan sangat merakyat. Selagi bocah ia kerap lolos dari istana untuk bergabung dengan anak-anak kampung mandi di sungai dan memburu burung. Usia 8 tahun, ia melanggar tradisi dengan masuk sekolah desa. Menjelara, ibu Tunku, akhirnya mengirim sang anak sekolah di Bangkok. Istri ketiga Sultan Hamid itu memang asal Muangthai. (Kedah pada 1903 masih masuk wilayah Muangthai, dan baru ketika Tunku berusia 6 tahun kesultanan ini menjadi bagian koloni Inggris). Di Bangkok Tunku kecil cuma tahan setahun, lalu pindah ke Penan~g. Sekolah menengah diselesaikan Tunku dengan nilai pas-pasan. Maklumlah, waktunya lebih banyak dihabiskan untuk bermain atau menyaksikan pertandingan sepak bola - kegemaran yang tetap melekat hingga usia lanjut. Berkat campur tangan sang ibu pula, Tunku mendapat beasiswa, meneruskan pendidikan di Universitas Cambridge, Inggris. Jauh dari orangtua, kebengalan Tunku makin menjadi. Segera ia dikenal sebagai "Pangeran Playboy". Pada masa ini ia hanya bisa meraih bachelor of arts". Tapi diam-diam ia menyimpan bakat yang bakal bermanfaat bagi bangsanya. Itulah bakat kepemimpinan. Terbukti kemudian ia memprakarsai berdirinya "masyarakat Melayu" pada 1926, padahal saat warga Malaya masih hanya loyal pada kesultanan masing-masing. Kesenangannya bergaul dengan anak-anak kampung di masa kecilnya berkembang jadi sifat terbuka, ringan tangan, dan penolong untuk siapa saja. Ini membuat Tunku dikenal luas dan cepat menonjol di daerah ia bekerja - di Sungai Petani dan kemudian di Kulim -- sepulang dari Inggris. Ini ternyata berbalas setelah ia terjun ke politik. Ia terpilih sebagai anggota parlemen, dalam pemilihan federal pertama dari wilayah tersebut 17 tahun kemudian. Sehabis zaman Jepang, Tunku balik ke Inggris, meneruskan kuliah. Kali ini ia berhasil lulus sebagai sarjana hukum. Sementara itu, di tanah air mulai terjadi pergolakan politik, dan terbentuk partai puak Melayu, UMNO. Sekembali dari Inggris, dalam tempo dua tahun, Tunku berhasil menjabat Ketua UMNO. Waktu itu ia sudah 48 tahun. Karier politik tokoh yang ramah dan gemar bergurau ini memang dimulai di usia agak senja. Jasa lain perdana menteri pertama Malaysia ini adalah membentuk Barisan Nasional (BN), yang merupakan gabungan partai berbagai ras -- UMNO (Melayu), MCA (Cina), dan MCI (India). BN menang telak dalam pemilu pertama 1954, dan hingga kini BN, yang jumlah partainya sudah membengkak, masih berkuasa. Tunku juga merupakan arsitek konstitusi Malaysia yang unik itu: UUD yang merupakan gabungan sistem kerajaan dan parlemen. Inilah salah satu cara Tunku menyatukan warga Malaya. Dalam UUD itu ras Melayu diberi hak istimewa, dan sebagai imbangannya, ras lainnya berhak secara otomatis jadi warga negara. Agama Islam dijadikan agama resmi, tapi kebebasan menganut agama lain dijamin. Konon, karena khawatir bahaya komunisme di tanah Melayu, pada 1962 Tunku memprakarsai pembentukan Federasi Malaysia, mencakup Sabah, Sarawak, Brunei, dan Singapura. Dua negara tetangga menentangnya keras, Indonesia dan Filipina. Setahun kemudian Federasi Malaysia terwujud, minus Brunei. Bung Karno, Presiden Indonesia pertama, mengumandangkan "ganyang Malaysia". Ia mengirimkan pasukan, tanpa mengumumkan perang dengan negeri baru itu. Konfrontasi dengan Indonesia Pun dimulai -- konfrontasi yang baru berakhir setelah Orde Baru lahir di Indonesia. Dua tahun setelah pembentukan Federasi Malaysia, Singapura yang dipimpin oleh Lee Kuan Yew dengan Partai Aksi Rakyatnya melepaskan diri, salah satu sebabnya karena Lee tak setuju UUD Malaysia yang unik itu mesti berlaku pula di Singapura, khusus dalam hal pemberian hak istimewa pada ras Melayu. Tunku mengizinkan. Itu soalnya bila warga Singapura pun mencatatnya sebagai "orang yang memberi kemerdekaan pada Singapura". Bapak persatuan ini, ironisnya, jatuh karena krisis rasial, pada 1970. Setelah kerusuhan rasial Mei 1969, yang menelan ratusan korban jiwa, pihak Melayu, antara lain oleh Mahathir Mohamad yang kini PM Malaysia, menuduh Tunku terlalu memberi angin pada keturunan Cina, hingga ekonomi warga Melayu tetap buruk. Tunku pun terpaksa menyerahkan kursinya pada wakilnya, Tun Razak. Ia kemudian menetap di Penang, mengurus Organisasi Kesejahteraan Islam Malaysia, dan menulis kolom di harian The Star. Tulisan yang muncul tiap Senin itu mengulas masalah sosial politik, seperti soal ras dan kesultanan - sesuatu yang punya bobot lain karena ditulis oleh Tunku Abdul Rahman. Setelah The Star diberangus oleh PM Mahathir, Tunku, yang berang, kembali aktif di arena politik, berpihak pada oposisi. Sama halnya dengan Bung Karno, sejumlah orang menilai Tunku pemimpin yang cuma tepat untuk zamannya: periode transisi di awal kemerdekaan. Dalam hal Tunku, periode konflik komunal. FS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus