Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seniman ibu kota di pentas yg lain

Para seniman dari dkj dan seniman lain muncul di gedung dpr, diundang menteri p dan k, knpi dan menko polkam. mereka memasalahkan pelarangan/pembatalan/pencabutan ijin beberapa acara kesenian di tim.

15 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENIMAN dan seniwati Ibu Kota kini ~sedang laris. Bukan di atas pentas kesenian, tetapi di pentas yang lain. Mereka muncul di gedung DPR, diundang Menteri P dan K, "ditanggap" oleh KNPI, diterima Menko Polkam. Entah sampai berapa lama kesibukan ini akan terjadi. Penyulut terakhir pentas nonseni ini adalah pelaran~gan Opera Kecoa di Gedung Kesenian Jakarta. Begitu Opera Kecoa dilarang, secara spontan seniman berkumpul. Disepakati mereka berkunjung ke gedung DPR, tempat wakil rakyat bersemayam. Kunjungan itu terjadi Rabu pekan lalu. Mereka naik bis dari TIM. Ada sekitar 50 orang, terdiri dari anggota Dewan Kesenian Jakarta dan seniman lain yang "tidak menjabat". Dari DKJ hadir Noorca M Massardi, Salim Said, Isma Sawitri, Yulianti Parani, Adi Kurdi, dan beberapa yang lain. Yang non-DKJ ada Slamet Rahardjo, Ramadhan K.H, Riantiarno, Eros Djarot, Suka Harjana, Putu Wijaya, Sardono W. Kusumo (sembari membawa video sehingga dikira kamerawan televisi swasta), dan masih banyak yang lain. Tak ketinggalan Rendra, yang justru jadi bintang di pertemuan dengan komisi I DPR itu. Komisi I yang dipimpin ketuanya Imron Rosyadi menghadirkan semua anggotanya. Ruangan pun terasa sempit, apalagi wartawan tumpah ruah. Noorca M. Massardi, salah satu Ketua DKJ, membacakan pernyataan. Intinya: mempertanyakan pelarangan berkesenian dalam dua bulan terakhir ini. Disebutkannya, beberapa sajak Rendra dilarang dibacakan, termasuk sajak Megatruh dalam Lomba Baca Puisi Bulan Bahasa se-DKI. Lakon Suksesi Teater Koma dihentikan di tengah jalan. Opera Kecoa Teater Koma tidak diizinkan. "Semuanya dengan patokan izin keramaian yang landasannya antara lain undang-undang warisan Orde Lama," kata Noorca. "Ketua Komisi dan anggota DPR yang terhormat," ujar Noorca, "pelarangan/pembatalan/pencabutan izin beberapa acara kesenian di TIM dan Gedung Kesenian Jakarta telah menimbulkan keprihatinan dan kegelisahan. Tidak hanya di lingkungan seniman dan budayawan, di kalangan pengelola kesenian, penyandang dana, dan penonton, tapi juga di masyarakat Indonesia umumnya. Selain itu, peristiwa-peristiwa tersebut juga telah menimbulkan citra yang buruk di mata internasional." Dan seterusnya.... Mereka mengusulkan, izin pertunjukan diberikan sekali saja seperti SIUPP bagi, penerbitan pers. Kalaupun kesenian yang ditampilkan dianggap melanggar hukum, seniman dan penyelenggaranya bisa dituntut ke pengadilan. Tepuk tangan bergemuruh. Apalagi kemudian Rendra mengambil mikrofon. Dengan suara berat dan keaktorannya yang piawai, ia mengangkat permasalahan ke lingkup yang lebih luas: iklim politik. Rendra menyayangkan bahwa keterbukaan politik dibuntukan oleh pelarangan. "Kami ingin mempertahankan situasi keterbukaan ini bagi keperluan hidup, khususnya kebudayaan," katanya. Depolitisasi, katanya, telah membuat kampus tidak lagi menjadi pusat kebudayaan, kegiatan, dan pemikiran. Depolitisasi juga tidak melahirkan tokoh-tokoh budaya dan intelektual. Lalu dari kantung kemeja putihnya, Rendra mengeluarkan kertas. Itu salah satu sajaknya yang dilarang dibacakan di TIM: Demi Orang-Orang Rangkasbitung. Rendra membacakan sajak itu dengan intensitas yang sama jika ia tampil di panggung yang penontonnya membayar karcis. Yang hadir serempak berdiri dan bertepuk riuh begitu pembacaan usai. Suara para wakil rakyat terdengar simpatik. Mereka merasa ikut prihatin. Dengarlah apa yang diucapkan Anang Adenansi, anggota Komisi I dari Fraksi Karya Pembangunan. "Hendaknya instansi atau orang yang mengeluarkan izin betul-betul mengerti seni. Jangan polisi lalu lintas yang tidak mengerti seni. Dalam sajak Rendra saya tidak melihat adanya unsur SARA," katanya. Apalagi, katanya, belum pernah terjadi pemberontakan di negeri ini akibat sandiwara. Yang menarik, Anang memberikan contoh bagaimana sebaiknya seniman bersikap dalam situasi sekarang. Ia menceritakan seorang raja di zaman baheula yang meminta tiga seniman melukiskan wajahnya. Seniman pertama seorang pembohong, melukis raja sebagai orang yang gagah dan bagus. Raja marah lalu menghukum mati sang seniman. Seniman kedua sangat lugu, melukis raja dengan segala keburukan dan cacatnya. Raja marah lalu menghukum mati seniman lugu itu. Seniman ketiga, seorang yang bijaksana, tidak suka berbohong, tetapi tahu situasi. Ia lalu melukis raja dari samping sehingga cacatnya tak kelihatan. Raja puas. Anang menganjurkan agar seniman sekarang pintar memilih jalan "miring" seperti itu. Kontan Rendra menjawab, "Kebijaksanaan seperti itu hanya patut dilakukan terhadap istri. Sedangkan kita menghadapi sebuah republik yang menganut paham demokrasi. Hukum harus ditegakkan." Salim Said, salah satu ketua DKJ juga,angkat bicara. "Tidak ada pementasan, baik teater, pembacaan puisi, maupun pameran lukisan, di negeri ini yang mendorong rakyat untuk melakukan revolusi," katanya. "Dulu tidak ada komputer, kita tidak usah repot soal virus komputer. Sekarang sudah ada komputer, kita juga harus canggih dalam soal virus komputer. Kemajuan kesenian yang sudah begitu pesat tak akan mungkin dipahami oleh aparat negara yang tidak paham kemajuan kesenian." Pertemuan berakhir dengan makan nasi bungkus, sekitar pukul 1 siang. Namun, Rendra - bersama beberapa seniman lainnya -- diterima lagi oleh Fraksi PDI dipimpin oleh Nyonya Fatimah Achmad. Acara ini pun dihadiri hampir semua anggota fraksi PDI, tak ketinggalan Ketua Umum PDI Soerjadi yang juga Wakil Ketua DPR MPR. Dalam ruangan FPDI itu Rendra malah membacakan kedua sajaknya yang dilarang dibacakan di TIM: Demi Orang-Orang Rangkasbitung dan Doa Seorang Pemuda Rangkasbitung di Rotterdam. Pertemuan itu tentulah bukan cuma diisi ratapan, tetapi juga pertanyaan dan penyampaian unek-unek oleh Rendra dkk. Acara baru berakhir tiga jam kemudian. Esoknya, hampir semua koran menempatkan berita langka ini di halaman satu. Gaung pun bersambut. Dalam acara ramah-tamah dengan Kepala Pusat Penerangan Hankam di balai wartawan Mabes ABRI Kamis pekan lalu, soal ini disinggung. "Tindakan yang paling tepat kalau seniman ke DPR. Itu mimbar yang bebas, boleh bicara apa saja di sana," kata Kapuspen Hankam Brigjen. Nurhadi. Apakah pelarangan sajak dan pertunjukan drama itu tidak bertentangan dengan keterbukaan? "Ciri demokrasi adalah keterbukaan. Tapi bukan yang telanjang," kata Nurhadi lagi. Bahkan Pangab Try Sutrisno ketika menutup Kursus Reguler Angkatan XXIII Lemhanas, Sabtu pekan lalu, menyinggung soal Opera Kecoa dan sajak-sajak Rendra. "Pelarangan yang dilakukan instansi yang berwajib tidak ada kaitannya dengan masalah keterbukaan," kata Pangab. Senin siang pekan ini, giliran Menteri P dan K makan siang dengan sejumlah seniman. Hadir, antara lain, Rendra, Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Christine Hakim, Slamet Rahardjo. Fuad berpendapat bahwa penilaian yang paling tajam untuk sebuah pertunjukan kesenian datang dari kalangan seniman sendiri. Melalui kritik seni dan apresiasi seni. "Banyak karya tidak diiringi kritik seni yang sepadan," kata Fuad. Karya yang miskin kritik akhirnya memunculkan seni yang semu, seni "asal-asalan". Menurut Fuad, selama ini terjadi kerancuan antara seni dan hiburan. "Pertunjukan seni harus dibedakan dengan keramaian biasa, seperti pawai atau topeng monyet," katanya. Pada jam yang sama, di DPR, "Paus Sastra" H.B. Jassin bersama sejumlah seniman diterima Fraksi PDI. Jassin memohon perlindungan dan kepastian hukum pada Pemerintah, karya seperti apa yang boleh ditampilkan dan apa yang tidak. KNPI pun tak mau ketinggalan "nanggap" seniman. Senin malam kemarin. KNPI mengadakan sarasehan dengan sejumlah seniman. Hadir, antara lain, Hardi (pelukis), Judhi Soebroto dan Yatie Surahman (pekerja film). Dua insan film ini mempersoalkan tertahannya film Nyoman & Presiden - sebuah film anak-anak yang tidak buruk - yang nyaris dilupakan orang. Kesibukan masih berlanjut. Selasa pekan ini, giliran Menko Polkam Sudomo menerima sekitar 20 seniman, beberapa di antaranya anggota DKJ. Dialog ini membahas masalah perizinan yang di mata para seniman tak jelas juntrungannya. Tampaknya, gaung nonseni ini masih panjang. bunga Sur~awij~ay~a, Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus