DEMONSTRASI sekitar 150.000 orang di jalan-jalan di Dhaka, Rabu~ pekan lalu, bukan lagi aksi kebencian. Itulah ungkapan kegembiraan setelah tuntutan mereka terkabul. Sehari sebelumnya, Presiden Hussein Muhammad Ershad 60 tahun, mengumumkan pengunduran dirinya. Tiga tahun berjuang, akhirnya oposisi di Ban~gladesh sukses memaksa Ershad turun. Kemenangan itu sendiri dimulai pertengahan Oktober silam, ketika tuduhan korup dan otokratis terhadap Ershad mulai dilemparkan. Pada mulanya aksi demonstrasi dihadapi Ershad dengan kekerasan. Tapi bukannya protes padam, justru dari Dhaka menyebar di lima kota lainnya. Korban pun jatuh. Menurut pemerintah, korban tewas 6 orang dan 1.500 cedera. Dalam versi oposisi, sekitar 50 jiwa melayang. Unjuk rasa makin gencar. Demonstran mulai mempersenjatai diri dengan pentungan, memasang barikade dengan membakar ban. Ershad yang mulai kewalahan menerapkan UU darurat pada akhir November, sebagaimana tiga tahun lalu. Tar~i kali ini senjata terakhirnya itu tak mempan. Justru aksi makin meluas. Pegawai negeri ikut turun ke jalan, sebaliknya polisi dan tentara men~ghilang dari jalanan. Yang terakhir itulah, tampaknya, yang membuat Ershad mundur. (Menurut Panglima Angkatan Bersenjata Bangladesh Letnan Jenderal Nurudhin Khan, pihak militer mendesak Ershad agar mundur. "Karena itu, peralihan kekuasaan berjalan mulus," ujar Khan pekan lalu). Kubu oposisi menunjuk Ketua Mahkamah Agung Shahabuddin Ahmed. Kamis pekan lalu, Ershad resmi mundur setelah mencabut UU darurat, membubarkan parlemen, dan melantik Ahmed. Kali ini, yang menentang Ershad memang kompak. Mahasiswa, 21 partai oposisi, sampai pegawai negeri dan militer. Kubu oposisi terdiri dari dua partai utama, Liga Awami (aliansi delapan partai) yang dipimpin Sheik Hasina, dan Partai Nasionalis (menaungi enam partai) yang dipimpin Begum Khaleda Zia, ditambah partai kiri dan kanan. Hasina, 43 tahun, adalah anak perempuan pendiri Bangladesh Sheik Mujibur Rahman. Sedangkan Khaleda, 46 tahun, adalah istri mendiang Ziaur Rahman, bekas Presiden Bangladesh. Di bawah pimpinan kedua tokoh wanita itulah, Ershad akhirnya bertekuk lutut. Kini Penjabat Presiden Ahmed tak hanya menghadapi tugas berat. Selain menertibkan keamanan dan menyelenggarakan pemilu dalam tempo tiga bulan, kubu oposisi mendesak agar Ershad diseret ke meja hijau. "Ia (Ershad) tak boleh lolos dari hukum," ujar Begum Khaleda kepada Reuters, Sabtu pekan lalu. Tapi Ahmed menolak desakan itu. "Tugas saya cuma mengembalikan ketertiban dan menyelenggarakan pemilu. Pemerintah baru nanti yang melaksanakan tugas lainnya," jawab Ahmed dalam wawancara dengan radio AS, Voice of Amerika. Ershad, yang berkuasa setelah kudeta tak berdarah 1982, kini tinggal di barak militer di Dhaka yang dijaga ketat. Bersama dengan Partai Jatiya yang dipimpinnya, bekas presiden ini ternyata belum menyerah. Ia sesumbar akan ikut pemilu mendatang. "Saya akan ikut pemilihan parlemen, dan kemudian maju ke pemilihan presiden," ujar Ershad saat diwawancara via telepon oleh Radio BBC pekan lalu. Ia juga mengaku siap diadili dan tak punya rencana kabur dari negerinya. "Kesalahan apa yang telah saya buat? Ini tanah air saya," kata Ershad. Tapi, Sabtu pekan lalu, ribuan foto Ershad diturunkan dari dinding kantor-kantor pemerintah. Konon, pemasangan foto-foto itu menghabiskan dana US$ 2 juta untuk seantero negara yang meraih kemerdekaan pada 1971 itu. Para ekonom dan pengusaha Bangladesh menilai, selama sembilan tahun memerintah, Ershad gagal menghapuskan kemiskinan di negeri berpenduduk 115 juta itu. Bangladesh kini termasuk negara termiskin di dunia, dengan penghasilan per kepala US$ 170 per tahun itu. "40% penduduk bertahan dengan cuma 82 dolar per tahun," ujar Atiur Rahman, pakar ekonomi. Yan~g disalahkan tentu saja Ershad. Para pengusaha menyebut-nyebut praktek crony capitalism atau menyerahkan kekayaan pada mitra dekat, penyebabnya. "Banyak industri yang dinasionalisasikan diserahkan pada rekan Ershad, untuk kemudian gulung tikar," ujar seorang pejabat. Toh laporan Bank Dunia Oktober silam menyebut keberhasilan Ershad untuk sejumlah perbaikan ekonomi. Panen gandum tahun ini, misalnya, mencapai 18,5 juta ton, lebih baik ketimbang tahun lalu. Tapi laporan itu juga mengkritik penggunaan buruk dana bantuan asing, yang mencapai US$ 2 milyar di tahun fiskal ini. Krisis Teluk menambah buruk kondisi ekonomi Bangladesh. Selain kehilangan 100 juta dolar dana kiriman tenaga kerja di kawasan Teluk, Bangladesh harus nombok sekitar 300 juta dolar untuk impor minyak. Dari kondisi obyektif itu, negeri yang pernah hampir seluruh daratannya dilanda bah itu memang menghadapi tantangan berat - siapa pun yang memimpin. Farid~a S~end~jaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini