DAMAI atau diserbu. Inilah pertama kalinya setelah setahun perang berlangsung, etnis Serbia di Bosnia dihadapkan pada dua pilihan menentukan, yakni setelah Sabtu pekan lalu Pesiden Clinton mengisyaratkan bahwa AS siap menggunakan aksi militer untuk menyelesaikan konflik etnis di republik bekas Yugoslavia itu. Selama ini sudah lebih dari belasan kali dicapai kesepakatan gencatan senjata, dan sebanyak itu pula pelanggaran dilakukan oleh milisi Serbia. Meja perundingan dan kenyataan di medan perang memang berjalan sendiri-sendiri. Inilah tampaknya yang dilihat Clinton, dan lalu ia mengaitkan meja perundingan dengan kenyataan medan perang. Rabu pekan ini, Parlemen Serbia di Bosnia harus mengambil keputusan menyetujui rumusan damai atau menolaknya. Bila parlemen itu menolak, AS sudah siap melakukan aksi militer. Dan banyak pengamat menduga, parlemen yang dikuasai oleh garis keras Serbia itu bakal menolak damai. Memang, pemimpin Serbia Radovan Karadzic yang mewakili etnisnya di perundingan sudah membubuhkan tanda tangannya, menyetujui usulan itu. Tapi ia sendiri mengatakan, tanda tangannya sekadar tanda bahwa keputusan terakhir di tangan parlemen Serbia. Ia tak mengatakan akan mencoba meyakinkan anggota parlemen bahwa mendukung usulan damai itu penting. Ia hanya mengancam akan mengundurkan diri sebagai wakil Serbia bila parlemen menolak usul damai. Yang tak jelas, seberapa besar pengaruh pengunduran diri Karadzic terhadap parlemen Serbia. Yang sudah bisa diperhitungkan adalah pernyataan beberapa anggota parlemen Serbia yang diwawancarai Reuters. Tanpa ada pasal yang menyatakan pembagian 10 provinsi bisa diubah nantinya, mereka akan menolak proposal damai. Etnis Serbia garis keras, terutama milisinya, memang merasa telah mempertaruhkan nyawa untuk merebut daerah-daerah yang dulunya dikuasai oleh etnis Bosnia dengan cara yang dikenal sebagai pembersihan etnis itu. Hasilnya, lebih dari 70% wilayah Bosnia- Herzegovina kini berada di tangan mereka. Bisa jadi, sikap tegar Serbia karena para pemimpinnya tak yakin bahwa aksi militer AS sejauh ini sudah didukung Inggris bisa sangat dahsyat. Atau, Serbia siap menghadapi apa pun yang terjadi. Dengarlah kata Slobodan Ignjatovic, menteri penerangan, di Beograd: ''Kami bertahan menghadapi Turki selama 500 tahun. Kami akan hidup lebih lama daripada orang Amerika.'' Ia mengingatkan orang pada sejarah, ketika wilayah ini dikuasai oleh kekaisaran Turki pada zaman Ottoman. Sampai awal pekan ini AS memang masih merahasiakan detail rencana aksi militernya. Sejauh yang bisa diduga, Presiden Bill Clinton punya beberapa pilihan. Pertama, mencabut embargo senjata khusus untuk etnis Bosnia agar mereka bisa mempertahankan diri. Cara ini menghindarkan keterlibatan pasukan Amerika (dan Barat), tapi tidak menjamin perdamaian dalam waktu dekat. Justru perang akan berkecamuk lebih hebat di Balkan. Lagi pula, ada kemungkinan lain yang bakal merugikan etnis Bosnia: begitu langkah ini dinyatakan, pasukan Serbia akan segera bergerak lebih cepat untuk melumpuhkan kekuatan etnis Bosnia. Yang kedua, serangan udara. Clinton, kabarnya, ingin serangan pertama cukup diarahkan ke jembatan di Sungai Drina, untuk memotong arus senjata dan amunisi dari Republik Serbia ke kantong-kantong milisi Serbia di Bosnia-Herzegovina. Tak banyak risiko, tak perlu strategi militer yang rumit, tapi juga tidak menjamin tertahannya gerak maju pasukan Serbia. Selain jalur suplai senjata yang baru bisa segera dibuat, siapa tahu sekarang persenjataan milisi Serbia sudah lebih dari cukup. Tampaknya usulan Jenderal Merril McPeak, orang nomor satu di Angkatan Udara AS, lebih masuk akal. Yakni, serangan ke berbagai lokasi senjata berat milisi Serbia. ''Beri kami waktu, dan kami akan akan membereskan artileri mereka,'' kata McPeak. Ada yang mengkritik, antara lain komandan NATO, bahwa serangan udara tak ada gunanya. Serangan udara hanya akan menghantam pos-pos artileri besar, sedangkan kelompok milisi yang bergerak di daerah pegunungan tak akan tersentuh. Pasukan di pegunungan itu bisa saja lalu mengadakan pembalasan besar-besaran, dan sasarannya adalah sekitar 9.000 pasukan perdamaian PBB yang kini bertugas di Bosnia, yang karena tugasnya tak dipersenjatai secukupnya, katanya. Pilihan lain, menerjunkan langsung pasukan ke wilayah Bosnia (kabarnya, pemerintah Belgia dan Italia mendukung pilihan ini). Aksi militer yang ini mengandung konsekuensi, sekali pasukan AS masuk, mereka harus berada di sana sampai pihak Serbia bersedia menaati perjanjian damai dan menarik mundur pasukannya. Tindakan ini punya konsekuensi keterlibatan pasukan Barat dalam waktu yang tak terbatas, jika serangan ternyata tak efektif. Bisa saja kasus Perang Vietnam yang berkepanjangan terulang. Mulai akhir pekan lalu Menteri Luar Negeri AS, Warren Christopher, berkeliling London, Moskow, Paris, Brusel, dan Bonn, untuk mencari dukungan untuk aksi militer itu. Ada yang menduga, ia tak akan mengalami banyak tentangan. Negara-negara Eropa sebenarnya ingin agar pasukan Serbia diberi pelajaran, tapi mereka enggan mengambil inisiatif karena akan membawa konsekuensi keterlibatan penuh yang berkepanjangan, di samping alasan ekonomi. Di Amerika sendiri, menurut pengumpulan pendapat umum yang dilakukan oleh beberapa lembaga, antara lain oleh majalah Time, yang setuju aksi militer dengan yang tidak hampir sama kuat. Dari 750 responden, sekitar 49% menentang, 44% mendukung. Dari jumlah yang mendukung, sekitar 27% setuju AS menerjunkan pasukan di Bosnia, 60% menentangnya. Namun, komentar para pengamat, hasil pol itu masih dipengaruhi harapan, pekan ini parlemen Serbia menyetujui proposal damai. Jika ternyata tidak, hasil pol bisa lain, cenderung mendukung aksi militer. Presiden Clinton sendiri tampaknya ingin aksi militer dilakukan secepatnya. Itu tercermin dalam kata-kata menteri luar negerinya, Christopher, di London, dalam sebuah konferensi pers. Berdasarkan pengalaman selama ini, katanya, perundingan tak mempengaruhi kenyataan di lapangan. ''Yang menjadi perhatian sekarang adalah keadaan di lapangan,'' kata Christopher. ''Apakah pembunuhan sudah berhenti apakah pasukan PBB yang membawa bantuan kemanusiaan tak dihalangi apakah senjata berat sudah dibungkam.'' Yang belum diperhitungkan tampaknya sikap Republik Serbia, pendukung utama etnis Serbia di Bosnia. Perdana Menteri Slobodan Milosevic memang sudah berubah sikap, mendesak agar wakil Serbia dalam perundingan menyetujui usulan damai Vance. Tapi militer Serbia, yang selama ini menyuplai senjata, bahkan pasukan, ke Bosnia? Sejauh ini militer Serbia tetap bersikeras tak mau memberi peluang munculnya wilayah dengan mayoritas muslim Bosnia. Tampaknya pekan ini konflik Bosnia memasuki babak baru: damai atau terlibatnya militer Barat di Balkan. Liston P.Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini