RIBUAN pengungsi Armenia menghambur keluar NagornoKarabakh yang digempur sepekan penuh oleh tentara Azerbaijan pekan lalu. Sebagian berjongkok keletihan di lapangan gedung parlemen di Stepanakert, ibu kota wilayah itu. "Aku tak punya apaapa lagi. Sekop untuk mengubur anakku pun tak punya," tutur Ashot, 43 tahun, yang anaknya remuk terlindas tank. Konflik dua etnis, Armenia dan Azerbaijan, ini seperti tak mungkin memperoleh jalan keluar. Konflik memperebutkan wilayah otonom bernama NagornoKarabakh, yang dulu masuk wilayah Armenia, tapi kemudian oleh Stalin, penguasa Uni Soviet, dimasukkan ke dalam wilayah Azerbaijan, dengan tujuan menciptakan kesatuan bangsa. Tapi sebaliknya yang terjadi: permusuhan berlautlarut, dan akal sehat rupanya sudah tak berjalan di sini. Di tengah suasana seperti itu Azerbaijan sempat mengadakan pemilu, dan dua pekan lalu dilantiklah presiden baru, Adulfaz Elchibey, 54 tahun, ketua Front Rakyat Azerbaijan (nama baru Partai Komunis Azerbaijan). Adakah harapan baru buat perdamaian? Sejarawan berwajah brewok dengan sorot mata dingin ini pernah dihukum kerja paksa dua tahun (1975-1976) di sebuah tambang batu cadas karena menganjurkan gerakan proTurki. Cita-cita politiknya tegas meski waktu itu Azerbaijan masih sebuah Republik Soviet: Azerbaijan harus merdeka, mempunyai mata uang, dan tentara sendiri. Karena itu Elchibey menolak masuk Persemakmuran NegaraNegara Merdeka bekas Uni Soviet. Bila kini muncul harapan baru, karena Elchibey pencinta tasawuf ini konon bersedia menerima campur tangan PBB dan Konperensi Keamanan dan Kerja Sama Eropa. Tapi itu baru sebuah cita-cita. Konperensi damai di Minsk, ibu kota Belorusia, Selasa pekan ini terancam gagal. Pihak Armenia menolak datang karena, itu tadi, di pekan lalu 20 tank dan seribu tentara Azerbaijan menggilas sebuah desa Armenia. Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini