Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Upaya mencari jembatan

Betapapun bertolak belakangnya proposal israel dan palestina, setidaknya ada kejelasan sikap keduanya tentang pemberian otonomi wilayah.

7 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIAR hujan peluru di negeri sendiri, perundingan di negara orang harus terus berjalan. Itulah agaknya keyakinan para anggota delegasi Konperensi Damai Timur Tengah putaran keempat, yang berlangsung di Washington, D.C. sejak Senin pekan lalu. Pembantaian dua prajurit Israel, yang dibalas dengan invasi kilat ke Libanon sepekan sebelumnya, tidak menjadi halangan bagi delegasi Libanon, Palestina, juga Suriah untuk hadir di Washington. Memang, perundingan tak dimulai dengan mulus. Tiap delegasi menumpahkan rudal umpatan ke lawan mereka begitu tiba di bandar udara dan disambut para kuli tinta. Untunglah, emosi itu hanya berlangsung di luar perundingan. Di meja perundingan, masing-masing ternyata siap dengan proposal untuk menuju terwujudnya perdamaian, betapapun masih jauhnya. Tukar-menukar proposal ini memang direkayasa oleh tuan rumah. Washington, sebagai comblang, meminta pihak masing-masing membuat proposal mengenai masalah yang dianggap penting. Proposal itulah yang akan dibicarakan di meja perundingan untuk dicarikan cara menjembataninya, karena diduga bakal banyak bertolak belakangnya. Pola perundingan model ini sebenarnya merupakan jurus yang sama dengan pertemuan Camp David antara Mesir dan Israel tahun 1978. Sebelum proposal dibuat, pihak Israel dan Mesir tampaknya tak memiliki peluang untuk berunding karena pertentangan pendapat yang sangat ekstrem. Namun, setelah masing-masing membuat proposal, Amerika melihat peluang itu sebenarnya ada. Yang penting bagi Mesir waktu itu adalah pemulangan daerah yang dicaplok Israel, sementara bagi Israel adalah keamanan negaranya. Tapi mungkin proposal Israel tentang Palestina sungguh jauh dari kompromi yang sudah dicapai pada 1978 antara Israel dan Mesir. "Soalnya pihak Palestina kan sudah menolak kesepakatan Camp David tahun 1978," kata Yossi Gal, juru bicara delegasi Israel. Dalam perundingan Camp David, Israel sudah setuju membubarkan pemerintahan militer di wilayah pendudukan setelah warga Palestina mengadakan pemilihan umum. Untuk pengamanan, Israel hanya meminta ditempatkannya unit militernya di wilayah-wilayah tertentu. Dalam proposal Israel sekarang, tawaran membentuk pemerintahan tersendiri bagi Palestina tak disebut-sebut. Bahkan, meski dikatakan di situ warga Palestina boleh memiliki lembaga hukum dan polisinya tersendiri, hukum itu tak berlaku bagi warga Yahudi yang tinggal di wilayah Palestina. Keruan saja Dr. Hanan Ashrawi, juru bicara Palestina, menuduh proposal ini sebagai "sistem apartheid." Sedangkan proposal Palestina dikritik oleh pihak Israel karena di situ wilayah pendudukan disebutkan seolah-olah sudah berstatus berdaulat. Padahal, kesepakatan di Madrid, Oktober lalu, adalah diciptakannya wilayah otonomi dahulu sebagai masa transisi. Yang ditakutkan Israel, kedaulatan Palestina atas sumber air dan tanah di wilayah pendudukan bisa jadi alat yang kuat untuk mengusir warga Yahudi di wilayah itu. Segera tampak, nasib warga Yahudi di wilayah pendudukan merupakan jurang antara kedua proposal. Celakanya, jumlah warga Yahudi di wilayah pendudukan ini bertambah terus dari 10.000 tahun 1978, kini sudah lebih dari 100.000. Bila memang demikian, tampaknya peluang kesepakatan sebenarnya ada. Yakni jika dapat ditemukan formula yang bisa memberikan kedaulatan sepenuhnya pada warga Palestina di wilayah pendudukan yang sekaligus menjamin keamanan penduduk keturunan Yahudi di wilayah itu. Dan jelas, makin banyak orang Yahudi di wilayah pendudukan, makin sulit untuk menjamin keamanan mereka. Mungkin karena itulah pemerintahan Bush berjuang mati-matian agar pemukim Yahudi di wilayah pendudukan tak ditambah lagi. Caranya, membekukan kredit lunak US$ 10 milyar buat Israel, yang oleh Presiden Yitzhak Shamir memang direncanakan antara lain untuk membiayai pembangunan permukiman di wilayah pendudukan. Beruntung bagi Bush, keadaan ekonomi AS yang sedang resesi menyebabkan Kongres yang biasanya gampang meluluskan bantuan buat Israel kini agak bersikap pelit. Lagipula, ada kemungkinan Yitzhak Shamir kalah dalam pemilu Israel 23 Juni mendatang. Kalau pemenangnya Yitzhak Rabin dari Partai Buruh, besar kemungkinan Israel akan menghentikan pembangunan permukiman di wilayah Palestina. Pasalnya, Rabin dan Partai Buruh umumnya lebih memilih damai. Maka, banyak pengamat menduga, perundingan yang akan dimulai lagi Senin pekan ini tak akan melangkah maju. Hasil pemilu di Israel setidaknya kelewat penting untuk tak diperhitungkan. Tapi setidaknya sudah ada kejelasan sikap tentang otonomi wilayah pendudukan. Bambang Harymurti (Washington, D.C.)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus