DEMONSTRASI mahasiswa RRC berhenti sebentar, Jumat dua pekan lalu. Itulah berkat kesediaan kedua belah pihak -- pemerintah dan anak-anak muda itu -- untuk mengadakan dialog. Maka, He Dongchang, Wakil Ketua Komisi Pendidikan Negara, dan Yuan Mu, juru bicara kabinet, bertemu dengan 45 wakil mahasiswa. Pertemuan yang disiarkan Pusat Siaran Televisi Negara itu hampir terputus, ketika Ketua Kesatuan Sementara Dewan Mahasiswa Universitas-Universitas Beijing keluar dari ruang pertemuan. Pasalnya, pemerintah rupanya hanya mau bicara dengan para wakil dari Federasi Dewan-Dewan Mahasiswa Seluruh Cina dan Federasi Dewan-Dewan Mahasiswa Beijing saja. Untuk menembus kemacetan, pemerintah kemudian menugaskan Li Tieying, Ketua Komisi Pendidikan, dan Yan Mingfu. Kepala Departemen Front Persatuan Komite Sentral PKC, untuk berembuk dengan tujuh intelektual. Mereka diberi tugas untuk menjadi perantara antara pemerintah dan pihak mahasiswa. Termasuk ke dalam "Panitia Tujuh" itu antara lain tiga ilmuwan terkemuka: sosiolog Zheng Yefu, ekonom Li Shu, sejarawan Zhang Lifan, dan pakar ilmu politik Chen Zhaogang. "Sekarang jelaslah bahwa dialog antara mahasiswa dan pemerintah akan merupakan suatu proses panjang. Pemerintah benar-benar memerlukan orang yang akan bisa mewakilinya dan dapat diterima oleh mahasiswa," kata salah satu dari ilmuwan tersebut. Tapi para pengamat di luar Cina umumnya percaya bahwa yang dilakukan pemerintah adalah taktik menunda-nunda. Maksudnya agar ancaman mahasiswa untuk mengadakan demonstrasi besar-besaran di Lapangan Tiananmen sebagai peringatan ke-70 Gerakan 4 Mei tak terlaksana. Pemerintah Cina dan PKC sangat berkepentingan agar pada tanggal 4 Mei itu tak terjadi pengerahan massa besar-besaran, apalagi kalau itu harus diwarnai dengan keributan. Soalnya, tepat pada hari itu di Beijing dibuka pertemuan tahunan Bank Pembangunan Asia (ADB), yang dihadiri oleh banyak tokoh internasional. Terjadinya keributan atau insiden akan merupakan corengan di wajah pemerintah, yang mengharapkan bantuan ADB untuk pembangunan negara. Ini tentu tak diinginkan oleh pemerintah. Hal lainnya yang juga berhubungan dengan ADB itu adalah kehadiran delegasi Taiwan dalam pertemuan tahunan itu. Adanya delegasi Taiwan yang beranggotakan 12 utusan itu memberi warna baru terhadap ofensif Negara Pulau tersebut dalam arena politik internasional. Itu pun memberi pula penekanan bahwa dalam persaingan mendapat tempat di dunia internasional antara RRC dan Taiwan, Taiwan telah keluar dengan kebijaksanaan Cina yang baru. Di bidang politik dan diplomasi, Taiwan memang mengalami kemunduran. Tapi Taiwan telah menempatkan dirinya sebagai salah satu negara modern dengan jurus ekonomi dan keuangannya yang begitu kuat dan menggebu-gebu, sehingga tak jarang memojokkan Cina. Itu ditambah lagi dengan politik pragmatis yang dianut pemerintah Taiwan sekarang, yang meninggalkan cita-cita warisan Chiang Kaishek, yang bermimpi untuk menguasai kembali Daratan Cina. Maka, suatu gejolak sosial yang disaksikan dengan mata kepala sendiri oleh saingannya pasti akan mempermalukan Cina sebagai "negara sosialis". Selain itu, pemerintah menghadapi masalah lain. Ada gejala gerakan mahasiswa tak cuma di Beijing. Misalnya saja di Shanghai, pada Selasa pekan lalu, mahasiswa mengadakan pawai keliling kota. Tampaknya dengan makin jelasnya gejala itu -- guna menghindarkan kerusuhan yang tak ada gunanya -- suatu kompromi harus dicapai. Dengan kata lain, mungkin reformasi politik terpaksa akan digelindingkan di Cina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini