Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah berang kaum militan menjadi santapan sehari-hari Ariel Sharon selama beberapa pekan terakhir. Mereka berteriak, memaki, melontarkan kutukan ke arah Perdana Menteri Israel itu. Saban melihat wajah Sharon, hawa amarah mencorong dari wajah para pemukim Yahudi dan kaum militan Israel di Jalur Gaza. Mereka juga berdemo, lengkap dengan aksi baku-hajar dengan para anggota militer di sejumlah permukiman Yahudi di wilayah Gaza. Segenap amarah itu adalah cara kaum Yahudi militan memprotes evakuasi 8.000 pemukim Yahudi di Jalur Gaza yang akan dimulai pada Senin pekan ini.
Gawatnya situasi menjelang evakuasi membuat Sharon memutuskan untuk mengerahkan sekitar 40 ribu anggota militer dan 4.000 polisi. Pekan lalu, militer Israel bahkan sudah meloloskan izin bagi para anggotanya: mereka diizinkan ”main keras”—boleh melepas timah panas ke arah pemukim Yahudi jika semua cara mengevakuasi gagal.
Inilah situasi pada tahap pertama penarikan Israel dari Jalur Gaza—Tepi Barat akan menyusul—sejak Israel menduduki kawasan itu seusai perang 1967. Kebijakan Sharon yang ini ditentang dengan sengit, khususnya di berbagai wilayah permukiman kaum Yahudi religius.
Perlawanan terhadap Sharon melibatkan anak-anak, remaja, perempuan, dengan dukungan penuh dari golongan militan Yahudi (lihat Intifadah Remaja Israel). Mari kita tengok ketegangan di Homesh, permukiman di utara kawasan Tepi Barat. Satu kontingen buldoser dan pasukan zeni Israel menerobos permukiman warga Yahudi, Selasa dua pekan lalu. Mereka meratakan jalan-jalan agar truk-truk raksasa leluasa masuk ke permukiman untuk melancarkan evakuasi.
Sehari kemudian, sekelompok pemukim terdiri dari 10 perempuan dan anak-anak menghadang rombongan buldoser itu. ”Kami bersiaga menghadang kerja mereka,” ujar Menorah Hazani, 28 tahun, ibu dua anak. Perempuan lain mengejek dan memprovokasi tentara: ”Serdadu, tolak perintah (Sharon)!” Untung tentara masih bersabar. Menjelang sore, militer Israel menarik perangkat berat itu, tapi mereka kembali lagi esok harinya.
Bentrokan antara militer dan warga akhirnya tidak terhindarkan. Di permukiman Gush Katif, gerakan Kach, organisasi militan terlarang, menduduki satu hotel selama sepekan. Hotel itu mereka jadikan markas untuk aksi-aksi menentang penarikan warga Israel dari Gaza. Paku, minyak tanah, dan ban mereka gunakan untuk menghalangi gerak tentara.
Walhasil, militer Israel menyatakan permukiman Gush Katif sebagai ”zona militer tertutup”. Sehari kemudian, status itu dicabut setelah tentara berhasil mengusir 150 anggota kelompok militan dalam operasi selama 30 menit. ”Saya mohon biarkanlah kami hidup di sini,” seorang perempuan merapat sambil menggendong bayinya.
Sharon tiba-tiba menjadi musuh rakyat Yahudi. Wanita-wanita di permukiman mengusung atribut berwarna oranye, simbol perlawanan terhadap kebijakan Sharon menarik warga Yahudi dari wilayah pendudukan. Di Yerusalem, remaja Israel menghujani anggota militer dengan batu bak remaja Palestina dalam gerakan Intifadah.
Sharon menjawab aksi mereka dengan berang: ”Ini tindakan buas, vulgar, tak bertanggung jawab.” Dia melanjutkan: ”Tak satu hal pun, termasuk kegiatan ilegal, dapat menangguhkan rencana penarikan (Israel dari Gaza). Israel akan meninggalkan Gaza dan wilayah utara Samaria (kawasan utara Tepi Barat).” Tak semua pemukim Yahudi menentang kebijakan Sharon. Semisal para pemukim di Ganim, salah satu permukiman di bilangan Samaria. Mereka adalah Yahudi sekuler yang lebih jinak terhadap kebijakan Sharon.
Harus diakui, pengosongan permukiman Yahudi merupakan langkah Sharon yang paling berbahaya dalam kariernya sebagai perdana menteri. Setiap pekan, berduyun-duyun para pengunjuk rasa masuk ke permukiman di Jalur Gaza. Mereka digalang oleh kelompok militan Yahudi. Beberapa di antaranya memboyong anak-cucu mereka. Dengan suara kompak, mereka menjeritkan yel-yel mempertahankan Gaza demi kejayaan Israel.
Kebijakan Sharon ini menyeretnya ke tebing jurang Partai Likud. Uzi Landau, anggota Likud—dia penentang kuat kebijakan Sharon—mengimbau Komite Sentral Likud agar mendepak Sharon dari Partai sekaligus dari kursi perdana menteri sebelum eksekusi penarikan pemukim dari Gaza. ”Sharon tidak mewakili Likud,” ujar Landau. Landau adalah menteri yang dipecat Sharon karena menentang beleidnya.
Suara Landau senada dengan pendeta Yahudi garis keras yang menyerukan pembangkangan sipil terhadap langkah sang Perdana Menteri. Mereka bergerilya mempengaruhi anggota militer agar membangkang terhadap perintah operasi pengosongan permukiman Yahudi. Seorang bekas kepala rabi, Avraham Shapira, mengeluarkan pernyataan mendukung kampanye pembangkangan anggota militer.
Suara keras Shapira didukung kelompok rabi di permukiman Gush Katif. Mereka meminta pemimpin spiritual Partai Shas—ini partai ortodoks—Rabi Ovadia Yosef menyerukan fatwa yang mewajibkan pembangkangan militer. Militer Israel juga tidak tinggal diam. Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel (IDF), Brigadir Jenderal Yisrael Weiss, ganti memohon kepada Yosef agar sudi bergabung dalam kampanye para rabi untuk melawan seruan rabi militan.
Getolnya kampanye kelompok rabi yang membakar sentimen anti-Sharon membuat cemas Presiden Israel Moshe Katsav. Ia buru-buru memperingatkan, ada upaya pembunuhan terhadap Sharon oleh ekstremis Yahudi. Katsav tak mengada-ada karena sejarah negeri itu pernah mencatat tragedi semacam itu. Perdana Menteri Yitzhak Rabin dulu tewas di tangan seorang pengikut fanatik ultranasionalis saat Rabin nekat berdamai dengan Palestina. ”Rabi pendukung permukiman harus memoderatkan bahasa mereka,” ujar Katsav lewat siaran Radio Militer Israel.
Usai peringatan Katsav, dinas rahasia Shin Bet buru-buru menyiapkan rompi antipeluru untuk ”sang Buldoser”—julukan buat Sharon—menghadapi setiap kemungkinan terburuk. Sebab, darah Sharon kini dihalalkan oleh sebagian kaum Yahudi militan.
Raihul Fadjri (The Jerusalem Post, Haaretz, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo