KETIKA dipecat, Benazir Bhutto belum merasa kalah. Ia masih punya harapan besar bahwa sebagian besar dari 110 juta rakyat Pakistan berpihak padanya. Kata Benazir kepada koresponden TEMPO, Yuli Ismartono, yang mewawancarainya, "Kami akan membawa kasus kami ke depan rakyat. Merekalah yang akan menentukan apakah kami bersalah." (TEMPO, 1 September). Selama kampanye untuk pemilu Rabu pekan lalu, Benazir gencar mengulang pernyataan itu. Memang, terkesan rakyat bersimpati padanya karena banyak yang menduga Benazir Bhutto dikambinghitamkan oleh permainan komplotan politik musuh-musuhnya. Tak sedikit pengamat yang menduga kekuasaan politik Benazir bakal pulih. Tapi dugaan itu meleset. Benazir ternyata kalah. Adakah rakyat memutuskan ia memang bersalah? "Pemilu ini boleh dianggap sebagai rapor pemerintahan 20 bulan Benazir. Ternyata, ia tidak lulus," kata seorang pengamat di Islamabad kepada TEMPO. Partai Rakyat Pakistan, partai Benazir, yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Demokratik, hanya memperoleh 45 kursi jauh dari 93 dalam pemilu 1988. Sedang Aliansi Demokratik Islam, gabungan delapan partai sayap kanan Pakistan, meraup 105 dari keseluruhan 207 kursi dalam parlemen. Kemenangan besar yang mengejutkan, bahkan bagi kalangan Aliansi Demokratik sendiri. Sebelumnya banyak yang meramalkan kedua kelompok partai itu bakal meraih suara berimbang. Hanya di Larkana, yang memang basis tradisional keluarga Bhutto, Partai Rakyat tetap unggul. Banyak pendapat muncul tentang penyebab kekalahan Benazir. Mulai dari dugaan adanya campur tangan pihak militer (dengan melakukan intimidasi) sampai masalah korupsi yang dituduhkan pada kubu dan diri Benazir. Ia sendiri menuduh ada kecurangan dalam pelaksanaan pemilu. Tapi pengamat internasional tenang-tenang saja, dan Jumat pekan lalu menyatakan tak ada bukti untuk mengusut klaim Benazir. Memang berat bagi tokoh yang dituduh ini untuk mencoba mengelak. Bahkan pers tiap hari membeberkan soal tuduhan korupsi pemerintahan Benazir. Apalagi kenyataannya Benazir dan suaminya Asif Ali Zardari harus menghadap pengadilan atas tuduhan-tuduhan tersebut -- hal yang sangat menguntungkan bagi lawannya. Apalagi pemerintah PM (sementara) Mustafa Jatoi yang merealisasikan bantuan pada sejumlah daerah dan proyek -- bantuan itu pernah dijanjikan pemerintahan Benazir, tapi tak kunjung diwujudkan -- tampaknya memang direncanakan untuk memukul Benazir. Itu memperkuat tuduhan korupsi dalam pemerintahan Benazir. Dalam suasana seperti itu, datangnya pernyataan dari Washington menambah lemah kedudukan Benazir. Sepekan sebelum pemilu Gedung Putih memperingatkan, bila pemilu dimanipulasi, bantuan ekonomi akan dihentikan. Menurut kolomnis terkenal Pakistan, Mushahid Hussain, pernyataan dari Amerika yang sebenarnya netral (tak menuduh pihak mana pun) itu oleh umum ditafsirkan bahwa Amerika mencium niat Aliansi Demokratik Rakyat (yakni Benazir) akan bermain curang. Desas-desus menyebut Benazir menyurati kawan-kawannya di Kongres AS untuk mendukung kampanye politiknya. Isu ini jelas dibantah oleh Benazir. Tampaknya, analisa yang mendekati kenyataan adalah, Benazir kurang menyadari bahwa rakyat Pakistan kini sudah lebih matang berpolitik. "Rakyat sulit dikibuli lagi. Kesadaran tentang masalah korupsi dan rasa nasionalisme kini jadi faktor penting," kata Zaffar Abbas dari mingguan politik The Herald, salah satu media prestisius di Pakistan. Selain itu, ada dua pihak yang cukup menentukan yang sulit dilawan oleh Aliansi Demokratik Rakyat Demokratik. Pertama, pihak militer yang tampaknya menolak kembalinya Benazir. Kedua, kelompok mullah yang kecewa karena Benazir tak kunjung menyetujui diberlakukannya syariat Islam dalam hukum di Pakistan, meski sebenarnya keterlambatan itu bukan menjadi tanggung jawab Bepazir. Menurut Benazir, masalah itu sudah dibatalkan sebelum masuk parlemen. Yang mesti dipuji dari Singa Betina dari Larkana ini, semangatnya tak pernah kendur. Sabtu pekan ini, Benazir masih mencoba dengan pemilu tingkat provinsi. Bila saja ia menang, perannya sebagai pemimpin oposisi dalam parlemen Pakistan tentu tak boleh diremehkan. Sebenarnya, sebagai pemimpin oposisi, Benazir tinggal duduk tenang, mengamati repotnya pihak pemenang pemilu. Soalnya, perebutan kekuasaan di kubu Aliansi Demokratik bakal segera dimulai. Yakni memperebutkan siapa yang akan memimpin pemeriritahan. Dahulu, presiden berhak menunjuk perdana menteri, kali ini parlemenlah yang akan berperan. Diduga, setelah perdana menteri terpilih, Aliansi Demokratik Islam masih akan terus panas di dalam, kedelapan partai berebut pengaruh. Disebut-sebut nama Ghulam Mustafa Jatoi, perdana menteri sementara sekarang yang berasal dari Provinsi Sind, sebagai calon kuat. Konon, ia didukung militer. Sebagai orang Sind diharapkan ia bisa meredam gejolak Sind yang cemburu terhadap dominasi mayoritas Punyab yang masuk di hampir semua sektor sosial, budaya, dan politik Pakistan. Namun, partai Jatoi, Partai Rakyat Nasional, tak begitu besar meraup suara dalam pemilu kali ini. Calon lainnya, pemimpin Partai Liga Muslim, Muhammmad Khan Junejo, perdana menteri di bawah Presiden Zia Ul Haq. Jabatan lamanya itu bisa mengurangi kredibiltasnya. Nama Zia Ul Haq oleh sebagian rakyat Pakistan tetap dikenang sebagai diktator militer yang tak menyenangkan. Nama lain yang paling santer disebut yakni tokoh politik muda Nawaz Sharif, 41 tahun. Bekas pengusaha sukses dan bekas Menteri Utama Provinsi Punjab inilah kabarnya yang menyebabkan Aliansi Demokratik Islam menang. Tapi, siapa pun yang naik ke kursi perdana menteri, tetap saja militer dan Presiden Ghulam Ishaq Khan sudah jauh dari Benazir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini