DALAM beberapa hal, Jerman Timur seolah negeri yang kalah perang. Setidaknya bila itu berkenaan dengan nasib sejumlah warga Jerman Timur yang dahulu dianggap alat pemerintah komunis untuk menindas rakyat. Yakni nasib para bekas anggota Stasi, dinas intelijen Jerman Timur. Hari-hari ini nasib mereka diperdebatkan di Jerman (yang sudah bersatu). Ada yang setuju memberikan amnesti pada mereka. Dengan syarat, mereka membeberkan semua yang tersangkut jaringan intelijen ini komplet dengan segala kegiatannya. Sesuatu yang tak mungkin disetujui oleh pemerintah Jerman karena, begitu nama-nama dan kegiatan mereka dulu diumumkan, suatu pengejaran dan pembunuhan sulit dicegah. Diperkirakan ada enam juta perkara dalam berkas Stasi, mulai dari hal yang bersifat kriminal biasa, seperti kejahatan seks, sampai yang menyangkut spionase internasional. Bayangkan apa yang akan dilakukan oleh para tertuduh atau yang sudah sempat dihukum oleh Stasi, yang kemudian tahu siapa yang membuat nasib mereka sengsara. Tak jelas, berapa banyak dari 85.000 anggota Stasi, polisi rahasia yang selama 40 tahun mengontrol Republik Demokrasi Jerman, yang sudah berani mencoba mencari pekerjaan baru. Selama masyarakat tak tahu siapa mereka, dan mereka mau bekerja apa saja, tampaknya tak ada masalah. Beberapa hari yang lalu beberapa iklan di koran-koran Jerman mencari tenaga kerja. Tapi untuk sejumlah orang tertentu keterkaitannya dengan Stasi bisa mendatangkan nasib buruk. Werner Fischer, pejabat Jerman Timur yang dulu punya kaitan dengan Stasi, telah membeberkan siapa-siapa Stasi. Antara lain, menurut dia, 50-an anggota parlemen Jerman Timur adalah anggota Stasi. Juga, sejumlah menteri Jerman Timur. Ada juga pengakuan yang sampai kini tak disiarkan, yakni dari sejumlah anggota Stasi yang membangkang ke Barat beberapa bulan lalu. Di antaranya seorang pejabat tinggi dinas intel ini, yang membeberkan operasi Stasi secara rinci. Pihak Jerman Barat menganggap sang pejabat sebagai salah satu agen intel Blok Timur paling penting dalam sejarah pembangkangan Timur ke Barat. Yang dibeberkan pada pers hanyalah pengakuan pembangkang itu tentang kegiatan Stasi yang berhubungan dengan spionase internasional. Yakni, selama bertahun-tahun, Jerman Timur ternyata menjadi basis gerakan terorisme internasional. Selain melatih dan melindungi kelompok teroris Tentara Merah, yang umumnya beroperasi di Jerman Barat, rezim Komunis Jerman Timur juga menjadi kamp latihan bagi para teroris dan calon teroris sejumlah negara lain. Misalnya kelompok "Sandinista" dari Nikaragua dan para "pembangkang" Cili. Selain itu, pemerintah Berlin Timur juga kerap menjadi tuan rumah bagi sejumlah gembong teroris macam Carlos dan Abu Nidal. Nama terakhir itu tak asing lagi. Dialah pemimpin salah satu faksi radikal PLO, dan banyak aksi teror internasional yang dikaitkan dengan namanya. Misalnya peledakan pesawat Panam di Lockerbie yang menewaskan semua penumpangnya itu. Yang dianggap pengungkapan hal baru dari anggota Stasi yang "bernyanyi" itu adalah bagaimana hubungan antara Stasi dan KGB, dinas intelijen Uni Soviet. Dan bagaimana KGB memerintahkan Stasi untuk menggulingkan pemimpin Jerman Timur yang masih menganut komunisme ortodoks, misalnya Erich Honecker. Kata pembangkang itu, seluruh data operasi dinas intelijen di negara-negara satelit Soviet di Eropa Timur disimpan di Moskow. Tugas utama kerja sama dinas intelijen negara Eropa Timur, termasuk Stasi, dengan KGB adalah melawan dinasdinas intel Barat, "terutama CIA dan Mossad". Dalam hal ini, meski dikatakan Stasi dan KGB sejajar, misalnya, tetap saja ada semacam hierarki tak resmi yang menjadikan mereka bos. Hubungan KGB dengan Stasi berubah begitu Gorbachev naik panggung, pada 1985. Hubungan orang nomor satu Kremlin itu dengan pemimpin Jerman Timur Eric Honecker tegang, dan menurut sang pembangkang kegiatan Stasi mulai bertentangan dengan KGB, yang mulai bersikap lain. "Kami merasa Honecker lebih superior ketimbang pemimpin Soviet," kata orang Stasi itu. Karena itu, glasnost dan perestroika tak banyak mempengaruhi operasi Stasi. Tapi, karena adanya hierarki tak resmi itu, Kremlin tetap menentukan. Maka, datanglah perintah, agar Erich Mielke, kepala Stasi waktu itu, menyingkirkan Honecker, dan menetapkan Egon Krenz -- tokoh yang lebih moderat, yang setelah berkuasa mengumumkan pembukaan Tembok Berlin -- sebagai calon pengganti. Dalam suatu pertemuan rahasia Mielke memutuskan menggunakan kekerasan jika pengalihan kekuasaan secara damai gagal. Yakni dengan merencanakan penahanan sejumlah nama yang sudah ada dalam daftar. Rencana ini dijegal Kremlin, yang tak mau menggunakan kekerasan. Mielke ternyata berhasil. Tapi Krenz pun rupanya tak bisa diterima oleh Moskow. Kekuasaannya cuma seumur jagung. Rapat di kedubes Soviet di Berlin Timur yang merancang kejatuhan Krenz. Diputuskan Hans Modrow, yang punya hubungan erat ke Moskow, sebagai pengganti Krenz. Hal yang terakhir itulah yang menyebabkan sejumlah pejabat Jerman (Barat) bisa menerima pemberian amnesti pada sejumlah anggota Stasi. Masalahnya, bisakah rakyat Jerman yang dulunya warga Jerman Timur menerimanya. Bisakah mereka yang dulu gagal melewati Tembok Berlin dan harus meringkuk di penjara dipisahkan dengan anak (TEMPO, Nukilan, 6 Oktober), hingga mereka tak pernah bertemu hingga kini, menerima amnesti itu? FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini