SELASA, 8 Desember 1987. Di dekat sebuah permukiman di Jalur Gaza, ~sebuah truk Israel meluncur kencang dan langsung menabrak dua mobil penuh orang Palestina. Segera diketahui 3 orang meninggal dan 9 luka parah. Hari itu juga, setelah korban dibawa ke rumah sakit, diadakan pemakaman. Di luar dugaan, insiden ini menyulut kemarahan besar: prosesi jenazah diikuti, konon, 5.000 pelayat. Rombongan inilah, setelah jenazah dimakamkan, yang berubah jadi demonstran. Mereka menyerang serdadu Israel dengan batu. Inilah hari pertama perlawanan dengan batu, yang seminggu kemudian diresmikan sebagai awal intifadah. Ahad, 9 Desember 1990, sebuah bom meledak. Seorang serdadu Israel tewas. Seorang Palestina ditembak mati oleh polisi Israel. Inilah hari pertama tahun keempat intifadah. Perlawanan yang dulu dianggap bisa dipatahkan dalam dua bulan ternyata terus hidup melewati tiga tahun. Memang, perlawanan ini belakangan agak kalah oleh berita-berita krisis Teluk. Padahal, seperti digariskan semula, selain batu, berita di media massa dianggap pula sebagai senjata. Dan sesungguhnya di tahun keempat intifadah ini, perlawanan tak cuma dengan batu. Ketika Oktober lalu terjadi insiden di Masjidil Aqsa Yerusalem Timur, dan sekitar 20 Palestina tewas, sudah ada ajakan meningkatkan perlawanan dengan senjata. Tampaknya, ajakan itu belum mendapat sambutan bulat. Ahad pekan lalu, selebaran beredar di Tepi Barat. Sekali lagi, lewat selebaran itu, para pejuang Palestina di tanah pendudukan diminta meningkatkan perjuangan "dengan segala cara". Kali itu pun imbauan belum mempan. Meskipun antara Oktober dan awal Desember terjadi insiden di mana-mana, seolah memberi contoh pada warga tanah pendudukan bagaimana mestinya intifadah ditingkatkan. Misalnya, November, Meir Kahane, rabi Israel yang dituduh mengotaki pengusiram orang Palestina, ditembak mati di New York. Di bulan itu juga seorang serdadu Mesir di perbatasan Sinai menembaki bis turis penuh orang Isarel. Lalu di Libanon, seorang gadis dan tiga lelaki, dengan menggendong bahan peledak, melemparkan diri ke serdadu Israel. Mereka tewas, bersama sejumlah tentara Israel. Tampaknya, seperti yang terjadi di Ahad kemarin, perlawanan memang berubah. Tapi batu tak diganti peluru. Yang terjadi, batu tetap dipakai, ditambah bom api dan pisau. Sebenarnya pisau, atau disebut-sebut sebagai "senjata putih" - mungkin karena kilaunya - sudah dipakai Oktober lalu. Pada bulan itu, setelah peristiwa Masjidil Aqsa, tiga serdadu Israel tewas ditikam pisau. Tampaknya, darah akan makin banyak mengucur di Gaza dan Tepi Barat, menambah jumlah korban. Sampai Senin pekan ini, dalam catatan Reuters sudah 743 korban tewas di pihak Palestina. Di pihak Israel, 56 orang kehilangan nyawa, termasuk 10 orang serdadu. Ini masih ditambah 287 orang Palestina yang dihabisi oleh aktivis intifadah, karena dituduh berkolaborasi dengan Israel. Tapi efektifkah peningkatan intifadah kini? Yang semula merupakan bentuk perjuangan otentik, yang dalam ulang tahun kedua tahun lalu dipuji oleh Menteri Negara Urusan Luar Negeri Inggris sama efeknya dengan perjuangan Palestina selama 20 tahun tapi dengan cara lain? Waktu itu opini memang memihak Palestina, lebih dari sebelumnya, termasuk di Amerika. Tampaknya, sejauh senjata perang modern tak dipakai, dengan hanya batu atau ditambah bom api dan pisau, efek intifadah masih akan sama. Masalahnya kini, adakah berita -- yang ternyata merupakan senjata intifadah terampuh - lain yang bisa menenggelamkan berita intifadah?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini