AKHIRNYA orang yang mengharamkan PLO itu berubah. Kamis pekan lalu, seusai bertemu Presiden AS George Bush di Washington, kata Yitzhak Shamir, Perdana Menteri Israel, "PLO bisa mempengaruhi rakyat Palestina di wilayah pendudukan, untuk memilih jalan perundingan." Tak cuma itu, Shamir juga mengajak damai negara-negara Arab. Dan gayung pun bersambut. Pekan lalu, Presiden Husni Mubarak -- yang menemui Bush sehari lebih dulu dari Shamir -- menyatakan tak keberatan menjadi perantara, apa un risikonya. "Bagaimanapun, perundingan jauh lebih berharga daripada konflik terus menerus," kata Husni Mubarak, Presiden Mesir -- negeri yang dikucilkan oleh Liga Arab gara-gara perundingan Kamp David, 1978. Tapi benarkah Israel berniat berdamai ataukah sekadar bermaksud mencari simpati dunia? Tampaknya itu mesti dilihat dari langkah Israel menghadapi perjuangan bangsa Palestina. Soalnya, sumber utama konflik Arab-Israel adalah penjajahan Israel terhadap Jalur Gaza dan Tepi Barat. Yang sangat menarik, seusai bertemu dengan Shamir, Bush menyatakan agar Israel bersedia meninggalkan kedua wilayah itu. Tentunya orang Palestina senang, sekaligus puyeng. Pasalnya, pernyataan Shamir dan Bush sama sekali tak menyinggung soal hak politik bangsa Palestia. Pemilu di Jalur Gaza dan Tepi Barat -- dikehendak. Israel dan didukung oleh AS -- hanya untuk memilih wakil-wakil bangsa Palestina yang berhak berunding dengan Israel. Bukan sebagai persiapan untuk membentuk sebuah pemerintahan. Pada dasarnya Shamir dan Bush masih mengkhawatirkan kelahiran negara Palestina akan mengancam keberadaan Israel. Sumber kekhawatiran itu, bila negara Palestina terealisasikan, berjuta-juta orang Palestina -- yang tersebar di berbagai kamp pengungsi di negara Arab -- segera hijrah ke Tepi Barat dan Jalur Gaza. Potensi konflik dengan demikian jadi lebih besar. Maka Shamir mengimbau agar dibentuk sebuah usaha multinasional di bawah pimpinan AS untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat Palestina di semua kamp pengungsi. Ini akan mencegah mereka pindah ke negeri baru. Menurut Shamir, kehidupan orang Palestina di kamp pengungsian sangat memprihatinkan. Menurut Bush, Shamir telah memberikan jaminan bahwa Israel akan benar-benar berupaya untuk mencapai suatu penyelesaian yang bisa memuaskan semua pihak. Dalam waktu dekat, perundingan yang harus dituntaskan adalah soal Pemilu di kedua wilayah pendudukan. PLO mengusulkan agar Pemilu diawasi oleh sebuah tim pengawas internasional. Shamir keberatan. Menurut Imad Syukur, penasihat Ketua PLO Yaser Aratat khusus dalam masalah-masalah Israel, "Pemilu itu cuma untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Israel juga punya inisiatif perdamaiaan." Kecuali, tentu, kalau Shamir mau menerima PLO dalam kepanitiaan. Kabarnya, Shamir tak keberatan, tapi dengan syarat. Keterlibatan langsung PLO dalam remilu itu memang tak terhindarkan. Bahkan koran-koran terkemuka di Israel, secara tak langsung, mengendaki agar pemerintah segera berunding dengan PLO. Sebab, kata tajuk rencana Haaretz, "Para penutukung PLO bisa mensahkan atau membunuh semua perjanjian Israel --Amerika, hanya dengan satu kata." Sedikit berubahnya sikap AS, mungkin karena negeri superkuat ini tak mau lagi jadi kuda tunggang Israel. Bayangkan, setiap tahun AS nenyumbang US$ 3 milyar kepada Israel. Padahal, pada 1992 mendatang AS harus menghadapi sebuah kekuatan ekonomi superkuat baru, yakni pasar bersama Eropa. Belum lagi persaingan dagang yang makin ketat dengan negara-negara industri baru. Tentu Israel menyadari hal itu. Itulah sebabnya negeri ini mengibarkan bendera perdamaian kepada negara-negara Arab, sumber keuangan baru yang lebih dekat. Cuma, ganjalannya memang cukup berat: maukah Israel (baca: Shamir) mengakui negara Palestina?Prg & Yusril Djalinus (AS)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini