PERJUANGAN kubu oposisi memasuki tahap baru. Sebanyak 21 pemuda militan menyerbu Pusat Kebudayaan Amerika di Kota Pusan, Rabu pekan lalu. Mereka kembali meneriakkan slogan-slogan anti-AS, seperti "Enyahlah imperialis Amerika" dan "Hentikan dukungan untuk diktator militer". Sikap mahasiswa dan pemuda ini dikhawatirkan justru menguntungkan pemerintah, paling tidak karena kelompok moderat dalam kubu oposisi terpaksa membuat jarak dengan mereka. Tokoh oposisi terkenal Kim Dae-Jung, misalnya, sudah memperingatkan bahwa "kekerasan pada akhirnya hanya memancing kekerasan". Kim Yeung-Hwan, seorang profesor pada Universitas Georgetown, AS, khawatir, aksi-aksi kekerasan justru mengundang mara bahaya. "Jika situasi tiba-tiba memburuk pihak militer tentu tidak akan berdiam diri." Kalau sudah begini, militer punya peluang untuk mengencangkan cengkeraman mereka hingga harapan akan demokrasi kian sayup saja. Tapi teori-teori semacam itu rupanya tidak mempan bagi kelompok militan. Mereka yang merupakan koalisi mahasiswa, buruh, dan pemuda justru kian curiga pada pihak moderat yang "diracuni" pikiran oportunistis. Sebagai peringatan, mereka sengaja membakar sebuah mobil milik seorang tokoh partai oposisi NKDP (Partai Demokratik Korea Baru). Kebencian kaum radikal memuncak ketika dua pemuka oposisi, Kim Dae-Jung dan Kim Young-Sam, menyatakan terus terang bahwa mereka tidak bisa lagi menyokong aksi-aksi anti-AS dan antinuklir yang bersemangat pro-komunis. Tak pelak lagi, kubu oposisi pecah sudah. Manakala kelompok moderat semakin condong pada aksi-aksi antikekerasan, pihak radikal sebaliknya mengumbar kemarahan dan antipati. Seorang mahasiswa yang berusia 23 tahun, Selasa pekan silam, nekat terjun dari atap gedung Universitas Seoul cuma sebagai protes terhadap kehadiran tentara AS di Korea Selatan. Aksi bunuh diri ini tercatat sebagai yang kedua dan dikhawatirkan bentrok dengan polisi diperkirakan sewaktu-waktu bisa saja terjadi karena sentimen sudah membakar suasana. Kedutaan Amerika sampai merasa perlu membantah desas-desus tentang sejumlah tentara AS yang konon terlibat dalam perang geng dan memperkosa dua wanita pribumi. Menurut pihak Kedutaan, berita bohong itu merupakan bagian dari serangkaian "propaganda hitam" yang sengaja disiarkan lewat selebaran, khusus untuk menyerang Washington. Tapi pemerintah Chun Doo-Hwan tampak lebih lihai, khususnya dalam menonjok oposisi radikal. Menurut mereka, slogan yang mengajak massa untuk membentuk "daerah-daerah bebas" jelas terarah pada revolusi keras gaya komunis. Dengan dilontarkannya tuduhan ini, gerakan militan bisa terdesak. Kalau tidak berhati-hati, mereka bisa kehilangan simpati rakyat yang sangat antikomunis. Sementara itu, Chun mengorbitkan seorang tokoh, Roh Tae-Woo. Sebagai Ketua Partai Keadilan Demokratik, partai yang berkuasa sekarang, dia tidak asing lagi bagi kalangan atas. Sehari sesudah penyerbuan Pusan, ia angkat bicara. "Kami kira dalam sebuah masyarakat majemuk, basis yang tepat untuk percaturan politik adalah kompromi dan negosiasi," ujarnya di hadapan wartawan asing. "Jadi, kami berusaha mencari pendekatan bertahap ke arah demokrasi dengan mempertimbangkan hasrat rakyat pada perubahan dan stabilitas." Isyarat Roh itu bisa ditafsirkan sebagai ajakan baru kepada oposisi - yang moderat tentu saja - untuk membahas kembali nasib demokrasi di negeri itu, sesudah formula jamuan makan Chun mengalami kegagalan. Belum diketahui bagaimana reaksi kelompok moderat yang sejak pertengahan Mei berselang diperkuat oleh 152 pendeta, yang mewakili 13 juta lebih umat Budha di negeri itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini