REMBULAN bersinar penuh di atas Desa Gomarankadawela, Sri Lanka. Malam itu memang Waisak, hari kelahiran Sang Budha. Sebelas orang suku Sinhala berbaris dengan pasrah menuju pinggir parit. Mereka disuruh berlutut dan menunduk. Beberapa saat kemudian satu per satu kepala mereka ditembak dalam jarak dekat dan setelah selesai, mayatnya dibiarkan berserakan begitu saja. Pembantaian sadistis yang terjadi Sabtu pekan lalu itu dilakukan kaum separatis Tamil di tiga desa yang terletak di kawasan Trincomalee, Sri Lanka, yang mayoritas dihuni petani miskin kaum Sinhala. Dengan senapan mesin, orang-orang Tamil itu memberondong penduduk yang bersiap-siap merayakan hari lahirnya Sang Budha itu. "Setelah penembakan itu, dua orang Tamil mengambil obor dan membakar gubuk kami," ujar Indra Kumari, 10, seorang bocah yang lolos dari maut. Beberapa wartawan yang diantar oleh Ravi, anak laki-laki Presiden Junius Jayewardene, melihat kejadian di Seruvila dan Desa Kallar menyatakan, hampir seluruh tubuh korban penuh dengan lubang peluru. Seorang mayat anak perempuan terlihat pecah kepalanya karena dikapak. "Dia anak saya, yang berusia 8 tahun. Adiknya mati dalam dekapan ibunya, ketika diberondong senapan mesin," ujar W.E. Jayabac seorang saksi mata peristiwa yang menewaskan 32 korban jiwa. Pejabat militer Distrik Trincomalee, Brigjen Harsha Gunaratne, mengatakan, penyerbuan gerilyawan Tamil kali ini "mungkin untuk menakut-nakuti kaum Sinhala yang akan mukim kembali ke daerah itu." Di samping, tentu saja, pembalasan kaum Tamil atas penyerbuan tentara Sri Lanka terhadap Kota Jaffna, yang dianggap kubu mereka, seminggu sebelumnya. Memang, kawasan Trincomalee, yang terletak di pantai timur Sri Lanka, adalah kawasan permukiman kembali warga Sinhala, sejak daerah itu diserbu kaum Tamil setahun lalu. Kini daerah berpenduduk 15.000 jiwa itu baru dihuni sekitar 500 orang Sinhala yang diungsikan tiga minggu lalu. Kaum Tamil mengklaim Trincomalee, yang merupakan salah satu pesisir paling indah di dunia itu, merupakan bagian daerah otonomi yang diperjuangkannya selama ini. Tampaknya kelompok Sinhala yang beragama Budha itu tak bisa akur dengan Tamil yang Hindu, sejak dulu. Tiga ribu tahun yang lalu, ketika kaum Sinhala baru tiba dari India Utara dan membangun kerajaannya di sisi selatan Sri Lanka, menganggap kelompoknya dipilih menjaga Sri Lanka sebagai tanah suci Budha. Sementara itu, orang Tamil yang beragama Hindu - 18% dari 17 juta penduduk - dianggap penyembah berhala yang kotor dan hina. Semua ini menambah frustrasi, setelah kaum Tamil terbentur oleh kekuasaan mayoritas Sinhala yang semakin kukuh. Tamil, yang yakin akan sanggup mendirikan sebuah negara tersendiri yang dinamai Tamil Eelam, bermaksud menjadikan Trincomalee sebagai kota pelabuhan yang akan dijadikan ibu negeri. Dari sanalah padi, kurma, dan biji jambu mete akan diekspor, sebagai penghasil devisa negaranya. Apalagi, hal ini mendapat dukungan moril dari saudara mereka sesama kaum Dravidia di India yang membantu perlengkapan senjata dan membentuk kelompok separatis, salah satu di antaranya terkenal dengan nama Macan-macan Tamil Eelam (LTTE). Kini Presiden Jayewardene semakin pusing menghadapi kenyataan ini. Tak kurang dari 500 jiwa telah melayang, akibat kerusuhan etnis selama ini. Arus wisatawan asing ke Sri Lanka juga anjlok karena kerusuhan yang berkepanjangan ini. Dan hubungan dengan pemerintah India, yang berperan sebagai penghubung dengan kelompok Tamil, makin mengganjal. India sejak dulu menentang penggunaan kekerasan dalam penyelesaian masalah Tamil ini. "Bagaimana bisa terus sebagai mediator, kalau konflik terus berjalan?" kata Dubes India di Kolombo, Jyotindra Nath Dixit, seusai bertemu dengan Presiden Jayewardene sehari sebelum peristiwa pembantaian di Trincomalee. Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini